Menulis itu Berlatih Rendah Hati.
Semenjak kuliah
saya punya kebiasaan buruk. Pergi ke rental buku dan meminjam banyak novel.
Jika saya sedang kaya bulan itu, dalam seminggu saya bisa menghabiskan tujuh
novel, atau minimal satu lah. Jika dalam seminggu saya bisa membaca tujuh
novel. Bayangkan, dalam sebulan berapa novel yang telah saya lahap. Tapi ingat,
itu tidak terjadi setiap bulan. Hanya bulan-bulan liburan dan jadwal yang
kosong. Selebihnya saya ganti novel dengan buku yang lain.
Inti dari kalimat
paragraf diatas bukan pada ‘betapa candunya saya terhadap fiksi’ tapi ‘betapa
mudahnya buku fiksi itu dihabiskan dalam waktu yang singkat’.
(dan.......Mohon
maaf saya menulis loncat-loncat, saya sedang tidak peduli dengan kaidah ‘satu
paragraf ke paragraf lainnya harus
berkesinambungan’ atau ‘kalimat penjelas harus mendukung ide pokok’ atau (lagi)
‘paragraf pertama adalah pengantar, terakhir itu penutup) serta seluruh kaidah
penulisan EYD atau apalah itu. Yang saya tahu, saya sedang menulis saja. Dan
juga, mohon maaf kepada seluruh guru bahasa Indonesia yang pernah mengajar saya
karena saya sedang tidak menggunakan ilmu yang telah diajarkan).
Hop....Kembali kepada how damn saya kecanduan sama novel (yang sering kali bikin saya autis dan sampai ibu saya bela-belain ambil S3 Psikologi anak demi mengobati saya –hah, apa iya? Enggak ding emang sebelum saya lahir si Ibu sudah jadi mahasiswi Psikologi dan sekarang dosen –nah, ngelantur lagi-.) saya selalu punya mimpi untuk jadi penulis seribu buku. Dengan passion fiksi.
Hobi dan
cita-cita nyambung banget. Hobi baca buku dan pengen jadi penulis. Maka
mulailah saya dari kecil, menulis berbagai hal berbau fiksi. Wow, Hebat? Saya merasa malah nggak hebat
sama sekali. Karena sudah segede ini tulisan saya masih nggak mutu. Dan belum
nerbitin satu buku pun. See? Mengenaskan
banget ga sih?
Sebenernya saya sudah, emm... (biarkan saya menghitung dengan tangan) satu ?Ah, sepertinya tiga, empat, entah berapa... lupakan. Mungkin saya emang menyedihkan.
Saya punya empat
sampai lima proyek menulis. Kelemahan saya juga (yang sa ya sangat sadar)
adalah terlalu banyak proyek dan tidak fokus. Selalu tergoda dengan ide baru.
Sebenernya (lagi-lagi) saya juga tidak sedang ingin menuliskan betapa tragic, pathetic-nya saya. Yah, walaupun masih berhubungan. Setidaknya saya sudah menggarap dua novel fiksi serius saya (dan masih anteng di laptop saya) dan sekarang yang ketiga. Waktu menggarapnya bervariasi. Dengan kesibukan saya sebagai murid yang baik (aih) dan organisatoris yang rajin (jiah) serta anak yang berbakti (?) saya jadi mudah lelah dan tidak menyelesaikan mereka dalam waktu yang stabil (maksudnya apa lagi ini? Stabil?).
Karya saya (dengan sepenuh hati dan melek diri) sangat masih kacangan, sekacang-kacangnya kacang goreng, kacang bogor, yang direndem air sampai benyek keriput. Saya sekarang juga mual sendiri bacanya dengan ketidak mutuannya, untuk memperbaikinya saja saya sering kali didera frustasi (oke disini saya jujur), frustasi yang sering kali berakhir dengan muntah dan tidur, lalu, saya biarkan teronggok di laptop saya karena pas dilihat berkali-kali dan diedit berkali-kali kok tetep aja bikin muntah. But, guys, meskipun begitu saya juga merasa agak emm sorry merasa bodoh kenapa tetep aja dilanjutin. Jadi, satu karya kira-kira (dengan tingkat keseriusan saya yang lumayan) bisa menghabiskan waktu satu tahun. Ya ampunn... untuk bikin novel aja satu tahun bahkan bisa lebih.
Dalam proses
menulis dan kegilaan saya membaca fiksi, kemudian saya mulai mengerti. Bahwa...
Menulis itu sebuah proses menjadi rendah hati.
Khususnya menulis fiksi. Kenapa? Karena novel fiksi itu sering dianggap sesuatu yang menurut orang gampang bikinnya. Nggak penting dan nggak usah dipikirin. Bisa dilahap dua sampai tiga jam aja. Tapi, menurut saya, yang nyoba nulis fiksi, ga segampang itu. Saya butuh waktu untuk riset (setting, alur, tempat) juga bikin alurnya, tokohnya riset lagi, lalu membuat paragrap demi paragrapnya renyah, dan butuh keseriusan lainnya serta well, may I bold? Sacrifice alias PENGORBANAN.
Dalam semua etape kehidupan kita, kerja keras dan pengorbanan itu harga mutlak untuk berkarya maksimal. Pun selama proses menulisnya, meski kacangan, saya tertampar bahwa menulis itu bukan hal sepele. Seperti disiplin ilmu lainnya, aktivitas ini butuh ilmu dan kerja keras serta keberuntungan.
Selama menulis novel, saya selalu merasa ada yang salah dengan gaya bahasa saya yang kaku. Lalu, saya mulai pergi ke rental (lagi-lagi) memborong banyak novel untuk dipinjam dan mulai membandingkan untuk belajar ke novel-novel itu. Saya (ini sedikit curhat, lha emang dari awal tulisan ini bukan curhat,buk? Hehehe iya, maaf...) seringkali membaca novel layaknya buku pelajaran. Saya ambil pena dan kertas dan menganalisis. Gimana ya novel ini kok bagus? Ternyata deskripsinya bagus. Kok bisa sih percakapannya nggak monoton meski berat topiknya? Ternyata begini dan begitu... Atau kok bahasanya ga bosenin ya, kata sambung apa yang cocok dipakai, kata penjelas apa. apa lantas novel saya bagus dengan aktivitas saya itu, hahaha kayaknya tetep nggak ngaruh, hiks.
Ya! Menulis itu sebuah proses menjadi rendah hati dan menghargai.
Dari menulis saya mulai menghargai credit title film (nulisnya salah ya? Biarin deh, toleransi dikit dong...) disitu saya menghargai kru film yang bertugas, yang jejaknya hanya terbaca di kredit title, makanya saya termasuk orang yang suka marah jika ada film yang tayang di televisi kredit titlenya dipotong. Menurut saya, mereka nggak menghargai proses, meski mungkin pertimbang durasi juga.
Saya juga mulai menghargai se nggak mutu apapun novel yang saya temui (merasa senasib ceritanya), saya yakin itu juga menghabiskan waktu yang nggak sedikit, mungkin paling cepat sebulan. Karena saya menghargai prosesnya, menghargai proses semakin membuat kita tidak sombong dan rendah hati terhadap segala karya. Membuat kita menghormati apapun karyanya.
Saya mulai sangat menghargai tulisan-tulisan opini di koran-koran. Karena saat saya mencoba membuat opini yang bermutu (walau lagi-lagi ga mutu), saya harus membaca dulu, riset, dan analisis untuk menopang tulisan saya.
Apalagi menulis yang tidak fiksi. Wih, saya bener-bener sangat menghargai sependek apapun tulisan itu. Menjadi rendah hati karena menulis fiksi yang dianggapp gampang ternyata cukup sulit, rendah hati juga dalam proses, dan harus berbesar hati untuk terus belajar dan berproses. Subhanallah....
Proses menjadikan tulisan kita baik itu nggak mudah, butuh ketekunan, semangat, kemauan untuk terus berkembang, terbuka menerima kritik dan saran, harus siap berkorban waktu yang belum tentu terbayar, belum lagi revisi-revisi dan banyak lainnya.
Terakhir, fiksi dalam islam ada hukumnya. Hukumnya mubah dan makruh. Jumhur ulama’ mengatakan mubah selama mendukung aktivitas kebaikan. Seperti dongeng tentang Burung dara dan semut. Yang notabene bercerita tentang moral. Bisa jadi hukumnya makruh jika melalaikan.
Semoga saya bukan termasuk orang-orang yang lalai.. pun Anda. Amin.
Ps : saya terbuka menerima kritik dan saran untuk setiap tulisan-tulisan saya.
Comments
Post a Comment