Kaca Diri dan Tanggung Jawab
Saya dulu tak pernah terpikir sama sekali untuk menceburkan diri dalam untaian kata berdendang Islami. Saya larut dalam hiruk pikuk tulisan-tulisan fiksi non fiksi populer dengan balutan hedonisme dunia. Malah, dulu, pada suatu hari, ketika saya tengah asyik menulis halaman ratus kesekian draft novel saya ('The Saturnus' sudah saya buang ke recycle bin, karena muatannya naudzubillah), seorang guru saya menegur, "Kak, mbok, nulisnya, yang Islami," Saya dengan bersungut-sungut menjawab, "Emang kenapa harus Islami? Yang Islami itu kayak apa? Nggak laris nanti di pasaran. Pangsanya terbatas,". Padahal, saya posisinya sudah mengenyam tahun ke empat di sebuah pesantren. (Jika mengingat itu, saya beristighfar kembali). Dari potongan fragmen diatas, saya merenung, apa yang salah dengan diri saya saat itu? Apa yang membuat Islam tidak terinternalisasi pada diri saya yang sudah cukup lama merasakan pesantren? Ada apa? Bertahun-tahun kemudian, saya paham, bahwa ya...