Kaca Diri dan Tanggung Jawab

Saya dulu tak pernah terpikir sama sekali untuk menceburkan diri dalam untaian kata berdendang Islami. Saya larut dalam hiruk pikuk tulisan-tulisan fiksi non fiksi populer dengan balutan hedonisme dunia.

Malah, dulu, pada suatu hari, ketika saya tengah asyik menulis halaman ratus kesekian draft novel saya ('The Saturnus' sudah saya buang ke recycle bin, karena muatannya naudzubillah), seorang guru saya menegur, "Kak, mbok, nulisnya, yang Islami,"
Saya dengan bersungut-sungut menjawab, "Emang kenapa harus Islami? Yang Islami itu kayak apa? Nggak laris nanti di pasaran. Pangsanya terbatas,".
Padahal, saya posisinya sudah mengenyam tahun ke empat di sebuah pesantren. (Jika mengingat itu, saya beristighfar kembali).

Dari potongan fragmen diatas, saya merenung, apa yang salah dengan diri saya saat itu? Apa yang membuat Islam tidak terinternalisasi pada diri saya yang sudah cukup lama merasakan pesantren? Ada apa?

Bertahun-tahun kemudian, saya paham, bahwa yang hilang dari saya adalah sebuah gelombang kesadaran, "mengapa saya seorang muslim hari ini. Mengapa Islam, bukan yang lain? Mengapa Islam yang benar, bukan agama yang lain?"

Lantas, tertatih-tatih, merangkah saya mengais2 remah-remah kesadaran, mengumpulkannya menjadi potongan keimananan utuh yang prosesnya saya rasa tak akan pernah selesai. Dan saya terus menerus belajar.

Kembali ke topik tulisan. Diatas sempat saya ceritakan bagaimana saat saya tidak disentuh gelombang kesadaran itu, tulisan-tulisan saya bernapaskan pemisahan agama dari desah kehidupan. Lantas, saat saya berkenalan dengan pemahaman indah mengapa saya seorang muslim. Ada dorongan kuat untuk berbagi hikmah melalui tulisan.

Namun, sebuah bisik yang meresahkan hadir, "saya mau nulis artikel Islam? yang isinya dakwah? Atau ngajak orang lain biar baik? Emang saya sudah baik? ngaca dulu lah, saya masih kayak gitu, banyak salah, banyak dosa, banyak maksiat, udah benerin aja diri saya sendiri, baru benerin orang lain, berkacalah!"

Terus terus terus perkataan itu berdengung bak lebah.
Mematikan bara api yang perciknya baru saja disulut. Bahkan hingga detik ini, saat anda membaca tulisan ini, saat saya menulis tulisan ini, bisik itu menyelimuti, meresahkan hati.

Apakah hanya saya saja? Ataukah dari teman-teman ada yang pernah merasakan bisik yang sama? Atau sedang?

Sepertinya Allah, menjawab kegundahan saya melalui buku yang mampir ke pangkuan saya, yang sejatinya sudah pernah dibaca, namun, entah saya tergerak untuk membacanya kembali.

'Agar Bidadari Cemburu Padamu', karya Salim A.Fillah, agaknya menjadi perantara jawaban itu. Mungkin diantara teman-teman semua, ada yang sudah berkali-kali membacanya. Ah, tak apa. Biar saya kutip, untuk pengingat saya pribadi, yang sungguh inspirasi ini terlalu egois jika saya simpan sendiri.

".... Lagi-lagi, saya harus berpikir lama ketika diminta untuk menulis buku ini. Pantaskah?
Ini bukan soal pantas tidak pantas, kata seorang rekan menasehati. Ini soal tanggungjawab di hadapan Allah atas terbingungkannya masyarakat oleh berbagai bacaan, buku, maupun guliran wacana yang marak bertebaran. Ya, logika berpikir massa rusak, pandangannya tentang nilai kacau, opini-opininya rancu, dan cara menyikapi realita tak lagi sehat. Hanya karena tulisan. Tulisan yang mengatasnamakan 'fakta berbicara', 'inilah kenyataan di lapangan', 'apa mau dikata beginilah realitanya' dan 'jangan bawa-bawa agama,' sekadar untuk menjaja kemurkaan Allah.

Lebih lanjut, tulis beliau, "Masih banyak orang shalih, lanjut beliau. Tapi, tak banyak di antara mereka yang memperjuangkan agar keshalihan menjadi jamak. Banyak yang sekedar mencukupkan diri bershalih ria di dalam mihrabnya dan tak merasa mengganggu dan terganggu atas polah orang lain. Lalu siapa siapa yang akan menjadi golongan terselamatkan?"

"Jadi? Sederhana. Tetaplah menulis tentang keagungan dan kemuliaan Islam, yang mungkin, oleh mata-mata putus asa dipandang sebagai idealisme tanpa bukti.

Sulit mungkin bagi yang bermental ayam negri untuk bisa hidup dengan standar-standar mereka. Tetapi, saya akan tetap menuliskannya. Karena, demi Allah, masih banyak akal-akal sehat yang siap menerima kebenaran. Karena, demi Allah, saya tahu pasti: dalam renung kejujuran yang paling dalam, semua manusia merindukannya."

Begitulah, sepenggal kutipan pembuka buku ABCP, yang menguar aroma hikmah bahkan pada kata pengantarnya (Mohon maaf jika terkesan, endorse, tak ada maksud utama seperti itu).

Sekali lagi, seorang guru pernah berkata pada saya, "tulislah, kerjakanlah, sampaikanlah sesuatu yang baik. Karena sekali-kali bukan, bukan karena kita sudah bersih dari noda, bukan karena kita telah sempurna tanpa cacat dunia, bukan, bukan karena kita sudah paling mumpuni diantara yang lainnya. Malah karena kita ini penuh dosa, cacat, dan hina, sehingga kita butuh mekanisme saling mengingatkan. Saling mengasihi dalam tutur nasihat."

Banyak menerima nasihat, belum tentu banyak salah. Bukankah demikian?

Ah betapa indahnya Islam, ia melawan logika-logika ilmuwan sosial barat yang menghujat iklim evaluatif yang digadang-gadang menghambat aktualisasi diri dan hak asasi manusia, "selama tidak mengganggu yang lain, biarkanlah dia berperilaku demikian,". Mereka bingung, bagaimana iklim evaluatif dalam bingkai saling menasehati dalam kebenaran, adalah bukti cinta seorang muslim kepada saudaranya. Tentu,  evaluatif konstruktif yang tatacaranya dibimbing wahyu. Dalam rima hikmah dan mauidhoh hasanah.

Maka, dari semua refleksi diatas, " Tak perlu tunggu hebat, untuk berani memulai apa yang kau impikan," kata CJR. Tak perlu tunggu sempurna untuk mulai saling menasehati dalam kebenaran dalam bentuk apapun baik itu lisan, tulisan, dan berbagai cara lainnya. Tentu, diiringi memperbaiki diri sendiri (yang juga saya yakin merupakan proses yang tak pernah usai), karena sampaikanlah walau satu ayat.

Aljaahilah.
Fakhirah Inayaturrobbani.
27 Desember 2015 / 15 Rabiul Awal1437 H

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...