SEPANJANG KASIH BUNDA


Idul Fitri 2010
Gundukan tanah dihadapanku masih merah. Wangi kembang kamboja samar tercium dibawa desau angin. Nisan putih baru tertegak lalu. Betapa sedu hatiku saat ini. Menunduk layu menahan deru penyesalan dan kesedihan. Nisan putih dihadapan seakan menertawai kesedihanku. Diam, dingin tapi penuh dengan makna. Seseorang menepuk pundakku, aku bergeming.
” Kak, mari kita pulang,” suara itu bergetar, aku tahu, aku sangat tahu bahwa ia sepertiku. Dinaungi selaksa penyesalan yang teramat sangat.
”Pulanglah dulu, kakak masih mau disini,” tolakku halus tanpa mengalihkan pandanganku dari nisan putih di hadapanku. Disitu terukir nama ibu.
Bayangan sosok di belakangku tampak menggeleng pada pantulannya,
”Nggak, kak… kita pulang bersama,” serunya lirih namun kukuh mengajakku untuk beranjak pergai. ”Sudahlah, kak... Mau sampai kapan disini? Sudah dua jam lalu. Doakan saja mendiang ibu dari jauh kak, penyesalan memang selalu datang pada akhirnya, tapi tak sepatutnya kita terlarut terlampau dalam, biarkan itu menjadi sebuah pelajaran. Fana juga sedih dan dipenuhi penyesalan, tapi bukan berarti kita harus terus menerus terhanyut, Fana yakin mendiang ibu juga tidak suka kak seperti ini,”
Pada akhirnya setelah berkata seperti itu, Fana, adikku satu-satunya beranjak perlahan meninggalkanku di antara puluhan nisan yang sama. Aku memejamkan mata pedih, benar kata Fana, ini adalah sebuah pelajaran.  Kupandangi sekali lagi nisan putih bertulis nama Ibuku.
”Ibu, maafkan aku, atas semua kelalaianku....”
***
Jakarta,  Romadlon 2010
Drrrt....drrt...drrt... Tit...tit....Drrt...Drrt...
Hapeku bergetar hebat diatas meja. Aku berhenti sejenak dari kesibukan menekuri file-file foto yang harus diselesaikan sore ini. Begitu banyak sampai aku begitu malas untuk beralih sekejap menggapai hpku yang bergetar. Bahkan untuk bergeser sejengkal dari kursi putarku sungguh malas. Apalagi mengambil hape yang berjarak lima langkah dariku. Akhirnya kuputuskan untuk mengabaikan benda kecil yang kini sedang bergetar-getar hebat menuntut ditindaklanjuti.
”Hoe, hapenya bunyi, tuh!,” seru partnerku yang merasa terganggu. Aku menggeleng, ” Biarin aja, palingan dari Fana, nanti kalau butuh juga telpon lagi,”. Iwan hanya mengangguk-angguk mendengarku, lalu kita berdua kembali menekuri pekerjaan masing-masing. Seharian itupun aku lupa untuk mengecek hape. Keesokannya, ketika kuperiksa semua sms dan panggilan yang masuk, ternyata yang saat itu aku abaikan salah satu diantaranya adalah dari ibuku.
Aku memutuskan untuk memanggil kembali nomor ibuku, ” Assalamualaikum, ibu... ada apa ya?”
” Farras! Dipanggil bos!” seru Iwan dari kubikelnya dengan muka pucat, aku tahu ada firasat buruk. Segera kusudahi sambungan dengan ibu, padahal baru saja aku mengucap salam.
” Halo, ibu... Nanti Farras telpon lagi yah, ini Farras baru dipanggil atasan, Assalamualaikum,”  Akhirnya aku berniat untuk menelpon ulang jika ada  waktu senggang nanti, yah jika ada, pasalnya akhir-akhir ini tuntutan perusahaan begitu tinggi hingga akhirnya aku juga ikut lembur sebagai Fotografer sekaligus editor sebuah majalah remaja. Sehari ini begitu sibuk, keesokannya lebih sibuk lagi, begitu seterusnya hingga akhir pekan. Kemudian, niat itu, niat untuk menelpon ulang ibu terlupa seiring berjalannya kesibukannku.

Bogor, Ramadlan 2010
Air hujan menggelinding pelan, aku menikmati tetesan-tetesannya dari angkutan kota. Lelah, seharian berkutat dengan skripsi dan diktat membuatku penat, ditambah lagi kewajiban puasa yang sedang aku jalani membuat fisikku melemah. Kuliah kedokteranku akhirnya akan selesai juga.
Deringan halus mengusikku, aku bergerak menggeledah tas Luis Vitton imitasi putih ini.
”Halo, waalaikum salam, Ibu...”
“Fana sedang sibuk sekali mengerjakan skripsi, Bu… Mungkin Fana pulang beberapa hari setelah Idul Fitri...”
Tanpa sadar aku mendengus pelan, ketika ibu memintaku untuk datang cepat di minggu ini. Ya, ampun... satu minggu lagi aku akan maju untuk sidang, bagaimana bisa pulang?
” Nggak bisa, bu! Fana nggak bisa balik ke  Banyuwangi minggu ini... Ibu tolong jangan seperti anak kecil, ibu harusnya mendoakan Fana agar minggu depan Fana sukses ujiannya. Pokoknya Fana pulang setelah Idul Fitri,” kesal, karena betapa ibu tidak pengertiannya terhadapku.  Akhir-akhir ini, selalu merengek agar kita pulang. Padahal, masih banyak yang harus dikerjakan pada akhir Ramadlan ini.
” Ya, sudahlah nak...ibu mengerti,” dari seberang terdengar nada sedih yang menggantung, aku tersenyum gamang. ”Semoga ibu mengerti,” bisikku lirih setelah sambungan dua arah ini terputus. Aku tahu ibu kecewa, tapi aku tahu ibu pasti mengerti.
***
Banyuwangi, akhir Ramadlan 2010
Suara gebukan gendang bersahut-sahutan. Takbir riang juga begitu menggema ke seluruh pelosok kampung. Keriangan khas menyambut Idul Fitri tergambar jelas di langgar-langgar. Tua muda menyambut Hari Raya penuh semangat, berkeliling kampung membawa obor seraya bertakbir.  Sedangkan, Ibu-ibu sibuk menyiapkan kue-kue dalam toples beraneka rupa, membersihkan kolong-kolong yang hanya tersentuh ketika menjelang hari raya. Anak-anakpun begitu sibuk berceloteh tentang baju baru yang akan mereka kenakan besok.
Ternyata dibalik suasana itu, penduduk kampung baru saja berduka cita atas kematian salah satu warganya, Bu Zahra.
”Dihubungi saja dua anaknya,” desak Bu Hanbali kepada suaminya. Mereka berdua adalah tetangga samping rumah Bu Zahra. Pak Hanbali menggeleng, “ Dalam pesan terakhirnya, ia berkata untuk tidak menghubungi dua anaknya di kota apapun yang terjadi, sampai anaknya sendiri yang kesini,”
“ Kemarin saat Bu Zahra sakit parah diambang kematian, kita  masih bisa bertahan untuk tidak menelpon kedua anaknya. Masihkah kita harus tetap kukuh tidak menelpon mereka untuk mengabari bahwa Ibundanya telah berpulang ke sisi Allah? Betapa Ibu nggak sanggup, pak…” kata Bu Hanbali miris mengingat tetangganya.
“ Sudahlah, bu! Amanah itu kita jaga saja,” Pak Hanbali menggenggam tangan istrinya untuk meneguhkan supaya menjaga amanah sampai kapanpun.
“ Bapak! Ibu nggak tega!,” perempuan paruh baya itu meninggalkan suaminya dengan penuh rasa sedih.
” Sama, bu.... sama....” Pak Hanbali bergetar mengucapkannnya… jauh setelah istrinya berlalu.
Bu Zahra, tetangga mereka yang kesepian. Suaminya meninggal ketika anak-anaknya masih sangat kecil. Dengan penuh perjuangan ia membesarkan dua orang anak yang dikasihinya sendiri. Seorang putra sulung dan putri bungsu. Sekarang ketika anaknya telah berhasil hidup di kota besar. Ia semakin kesepian. Hanya sesekali dalam setahun anaknya datang bergantian. Jarang sekali datang meski sekadar untuk menemaninya dalam waktu lama. Mereka hanya datang, tak sampai menginap pula.
Wanita tua yang pengasih ini sejatinya tak ingin menganggu pekerjaan dua anak kebanggannya. Hingga, pada  saat terakhirpun ia tak mau mengatakan kepada anak-anaknya, bahwa dirinya sedang menderita sakit parah. Bu Hanbali tetangga yang paling dekatlah yang sering mengunjunginya. Berkali-kali Bu Hanbali memaksa untuk menghubungi kedua anak tetangganya ini. Tapi, dengan tersenyum sangat lembut Bu Zahra menggeleng. Bu Hanbali tidak habis pikir, begitu sayangnya Bu Zahra terhadap anak-anaknya hingga ia tak sampai hati mengganggu kesibukan kedua buah hatinya. Kini tepat satu minggu telah berlalu sejak kematian Bu Zahra, sedangkan kedua buah hatinya belum satupun yang pulang. Sungguh miris hati penduduk kampung terutama Bu Hanbali.
***
Tatapan teduh ini, menatapku penuh makna yang tak bisa kuartikan. Gemetar Bu Hanbali-tetanggaku yang sudah kuanggap sebagai Ibu keduaku- menyerahkan secarik kertas lusuh kepadaku. Aku menatap pemberiannya itu dengan rasa campur aduk luar biasa.
”Bacalah, nak!” katanya seakan mengerti kegelisahanku sambil mengambil Fana dalam pelukannya.
Aku gemetar begitu membaca bait pertama,

Teruntuk kedua anakku tersayang...
Tak terasa kini kalian telah beranjak dewasa. Betapa waktu telah mengantarkan kalian dari anak-anak ibu yang begitu lucu dan manja menjadi sosok mandiri. Menjadi sosok yang tak kekakanakan lagi.
Ibu ingat sewaktu kalian kecil. Kak Farras senang sekali menggambar. Kala itu, Farras menggambar keluarga kita, seorang ibu dengan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Ingatkah kau Farras ketika engkau merajuk dan mengatakan gambaranmu jelek? Ibu malah merasa lukisan Farras adalah yang terbaik bagi ibu. Tak ada yang lebih bagus bagi Ibu daripada lukisan itu nak. Dan masih ingatkah dalam memorimu, ketika engkaupun berkata ingin menjadi seorang fotografer terkenal supaya bisa mengambil foto kita sekeluarga? Ibu sungguh mendoakan impianmu tercapai nak. Setiap Ibu pasti mendoakan anak-anaknya agar dapat menggapai cita-citanya. Namun, sedih ibu merasa, ketika lukisan belasan tahun yang lalu tak kunjung berganti dengan sebuah foto. Tapi, nak, tenang saja lukisan itu akan tetap ibu rawat sampai kapanpun. Jangan khawatir, kau tak perlu buru-buru karena Ibu tahu kesibukanmu yang padat.
Fana, anak bungsuku tersayang. Bagaimana dengan kuliahmu nak? Ibu bangga kepadamu putri kecilku. Karena kelak Ibu tahu, engkau akan menjadi seorang dokter yang baik. Sewaktu Fana kecil, Fana sering bermain dokter-dokteran dengan corong ibu. Ibu masih menyimpannya, sayang. Dulu saat Fana jatuh dan terluka, Ibulah yang merawat Fana. Hingga Fana pun berkata ingin menjadi dokter agar kelak dapat merawat Ibu. Sungguh saat itu Ibu sangat terharu membayangkan betapa mulia impianmu, nak. Doapun ibu sematkan agar engkau selalu dilimpahi kemudahan. Tapi...Maafkan ibu yang sering memintamu segera kembali ke rumah. Tidak tega sebenarnya Ibu mengganggu kuliahmu yang padat. Namun, ibu merasa penyakit Ibu sudah cukup parah. Ibu tidaklah terlalu butuh pengobatan medis. Ibu hanya ingin melihatmu dan kakakmu, barang sejenak diantara kesibukan kalian.
Pada akhirnya, Ibu ternyata tidak tega untuk mengusik kalian kembali. Maafkan ibu, jika Ibu banyak sekali mengganggu kalian selama ini. Maafkan Ibu yang kadang sering merajuk meminta kalian pulang. Maafkan semua kesalahan Ibu, karena Ibu tak dapat memberikan kasih sayang yang sempurna. Mungkin ini kata-kata terakhir Ibu untuk kalian. Ingatlah satu hal, Ibu tidak pernah merasa tersakiti oleh sikap kalian, bagaimanapun kalian adalah anak kebanggan Ibu yang paling Ibu cintai. Tak lupa Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik buat kalian. Yang terbaik......

Salam sayang
IBU

 Airmataku menggenang di pelupuk mata, tanganku bergetar memegang secarik kertas sederhana berwarna putih  ini. Hatiku begitu menyesal. Tak adakah waktu untuk ibuku? Tak adakah waktu untuk wanita yang merawatnya penuh cinta ini? Kemana saja aku?
Fana sudah jauh terisak jauh sebelum aku belum memulai membaca. Kini ia sedang ditenangkan oleh Bu Hanbali, yang diam-diam ikut terisak walau pelan. Fana menatapku dalam penuh dengan keterlukaan dan penyesalan yang tak tergambarkan. Bola matanya menerobos sukmaku yang sedang berduka pula. Diam-diam lewat bahasa mata kita sepakat tentang satu hal, suatu penyesalan yang terlambat.

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...