How do you respond your problems?


Kemarin, setelah makan siang di food court kampus, saya diserang pusing yang tak tertahankan. Bagaikan migrain, tapi di kedua sisi. Saya sesegera mungkin mengayuh sepeda saya untuk pulang ke kos (saya pencinta lingkungan jadi hampir setiap hari menggunakan sepeda). Yang ada di pikiran saya hanya satu, yaitu istirahat. Sesampainya di kos, saya segera berbaring dan menidurkan diri.
Malang, setelah sempat tertidur satu jam, pusing saya malah bertambah dan diiringi demam tinggi namun kaki saya menggigil. Intinya, saya tidak kuat untuk bangun dari tidur. Kepala saya serasa pecah, tubuh saya remuk, dan perut saya mual.

Hal pertama yang saya lakukan setelah mencoba memahami dengan baik apa yang tubuh saya rasakan adalah menghubungi teman-teman saya. Saya mencoba untuk meminta tolong pada mereka untuk membantu saya membeli makanan dan obat penurun panas. Saat menjelang maghrib tiba, mereka datang dan menjenguk saya bergantian. Saya juga meminta tolong mereka untuk membawa saya ke dokter besok pagi jika masih demam tinggi.

Nah, sekilas itu perjalanan saya kemarin. Bagaimana saya menghadapi sakit yang saya hadapi.
Sejujurnya, saya kurang setuju dengan berbagai adegan sinetron yang memperlihatkan bagaimana tokoh utama menyikapi sakitnya dengan menyembunyikannya dan bersikap baik-baik saja di hadapan teman-teman dan orang terkasih lainnya. Menurut saya, tindakan tersebut kurang tepat.

Mengapa?

Nah, ada beberapa hal yang harus dipahami saat merespon suatu tekanan atau stressor. Entah itu berupa kejadian tidak menyenangkan, kehilangan, sakit dan berbagai peristiwa yang menyakitkan. Ada 3 jenis respon penyelesaian masalah (atau dalam dunia psikologi disebut coping ) yang sering dilakukan oleh manusia. Problem focused-coping, emotion focused-coping, dan avoidance focused-coping.

Problem focused-coping, merupakan suatu respon terhadap tekanan negatif yang fokus terhadap penyelesaian masalah tersebut. Pencarian solusi langsung dilakukan ketika menghadapi suatu hal yang menyakitkan, tidak menyenangkan, termasuk sakit.

Yang kedua, adalah emotion focused-coping, bagaimana seseorang itu secara tidak sadar lebih mendahulukan luapan emosi saat menghadapi suatu masalah. Dia fokus pada pencurahan emosi dan melupakan aspek rasionalitas. Sebelumnya, saya sempat menyinggung tentang tokoh utama yang menyikapi sakit dengan menyembunyikannya. Dalam pertimbangan saya, sikap tersebut adalah respon emosional.

Terakhir adalah avoidance focused-coping, seringkali kita menyangkal dan menolak untuk mengakui bahwa kita tertimpa masalah itu. Dalam kasus seseorang yang mendapat musibah sakit parah, kita malah menolak untuk mengakuinya, menyangkal bahwa menderita penyakit tersebut dan mencoba untuk menghindari kenyataan. Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh Epping-Jordan et al (1994) bahwa penderita kanker yang mengingkari menderita penyakit tersebut seperti mengatakan, “No, it’s impossible,” dan menyangkal bahwa mereka merasa sangat sakit, diketahui lebih mudah memburuk kondisi tubuhnya dibandingkan mereka yang memilih untuk menerima dan menghadapinya.

Seperti yang saya lakukan, saya mungkin bisa memilih untuk menyelesaikan sakit saya seorang diri. Dengan terbaring diatas kasur kamar kos saya sendirian dan menunggu seseorang yang respek menyadari absennya keberadaan saya, sebab tiga hari saya tidak kelihatan. Saya lebih memilih untuk mengabari teman saya dan meminta tolong beberapa hal.

Saya merasa sikap menyembunyikan kondisi terburuk kita tidak selalu baik. Kita bisa tetap menceritakannya, tapi tetap bukan dalam rangka memohon belas kasihan pada orang lain. Menceritakan masalah tidak selalu indikasi Kita bukan orang yang kuat. Seringkali, saya malah melihat, teman-teman yang dengan mudah menceritakan masalah terberat dalam hidupnya adalah orang yang telah berhasil menerima kenyataan dan bangkit. Sehingga mereka fokus pada pemecahan masalah.

Mungkin, yang perlu diketahui adalah dunia ini bukan hanya berfokus pada diri kita dan apapun yang terjadi pada diri kita, orang lain harus tahu tanpa kita berusaha untuk membuka informasi tentang diri kita. Cobalah untuk mencoba mencari bantuan  jika kita benar-benar dalam kepayahan. Namun, juga jangan terlalu memanjakan diri kita yang mudah mencari bantuan untuk hal-hal sepele.

Memang, efektivitas penggunaan respon terhadap stressor (sebut saja coping) itu tergantung jenis tekanan yang menghadapi, karakater individu, dan dinamika permasalahan tersebut. Seringkali, emotion focuse- problem kurang efektif dibandingkan problem focused-coping untuk menyelesaikan masalah.

Saya tidak melarang menggunakan keduanya, terkadang pencurahan emosi penting untuk sebagian orang guna meringankan perasaan. Namun, jangan berlarut-larut,  segera beralih kepada penyelesaian masalah secara rasional. Hal ini juga berlaku untuk berbagai masalah dalam hidup kita.

Semoga bermanfaat dan selamat beraktivitas.

Bahan bacaan
Epping-Jordan, J. A., Compas, B. E., & Howell, D. C. (1994). Predictors of cancer progression in young adult men and women: Avoidance, intrusive thoughts, and psychological symptoms. Health Psychology, 13: 539-547.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress,appraisal, and coping. New York: Springer.



Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...