Leadership dan Ngalor Ngidul Percakapan
Perlahan saya mengumpulkan keping-keping puzzle tentang apa itu leadership. Tentang bagaimana memaknainya dan menjalaninya. Bagi beberapa diantara kita mungkin tema basi. Tapi, memaknainya selalu butuh pengait-pengait baru. Bak ikan yang sama. Namun, cara memancingnya beragam, kaitnya beragam, tergantung ikan yang ingin kita pancing. Pun, leadership bagi saya tema yang basi. Tapi, saya terkejut bagaimana pengalaman-pengalaman baru membuat saya semakin berdialektika tentang apa itu kepemimpinan.
*
Kali ini saya belajar dari percakapan Aruna dan Bono. Aruna Ahli Wabah dan Bono adalah seorang Chef.“Terus terang,” kata Bono, dengan mata menerawang. “Semua chef, yang terbaik pun, bisa belajar banyak dari timnya. Bukan hanya dari sous chef mereka, tapi juga dari yang lainnya. Selalu ada tradisi makanan yang tidak diketahui orang lain,”
“Jadi, apa masalahnya?” tanyaku. Sejenak, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Salah satu tugas utama seorang sahabat adalah tetap mencintai dan juga menasehati sahabatnya, sebesar apapun egonya. Sebesar apapun.
Mungkin Bono butuh pasangan hidup, kata Aruna. Tapi, aku berpikir ulang, sebagai seorang koki. Siapa pula yang bisa tahan dengan jam kerjanya yang tak manusiawi, otaknya yang obsesi terhadap makanan, sikapnya yang tak manusiawi, dan meledak-ledak, serta beban yang dipikulnya pagi, siang, malam, bahwa setiap piring yang keluar dari dapurnya, tak peduli dari tangannya apa tidak, adalah sebuah karya seni dengan mutu yang singular (sama) dan tak tergantikan, sesutau yang bisa mengukukan tapi juga bisa menghancurkan?
“Di New York,” katanya lagi, “seorang juru masak hebat dengan jam terbang dan pengalaman bekerja untuk chef-chef terbaik di dunia belum tentu bisa jadi chef restorannya sendiri. Dan ia biasanya sadar itu. Ia boleh saja tahu teknik memasak, dari asin ke manis, cara mengurap dan memanggang, seni membikin saus, membubui, tekstur, kontras, cita rasa; ia boleh saja mengikuti perkembangan gaya chef-chef kontemporer dunia, ia boleh saja tahu cara menawarkan diri. Tapi, semua itu tak akan berarti kalau orang itu tidak tahu bagaimana memimpin dan bekerja sama dalam waktu dan ruang yang terbatas serta panas, di bawah tekanan suhu dan waktu, bagaimana menginspirasi seorang anggota...”
Dan akhirnya saya belajar bahwa seorang koki terbaikpun membutuhkan koki lainnya. Bukan karena tak bisa, tapi selalu ada ruas-ruas tradisi makan yang tidak ketahui. Bukankah kehidupan juga demikian, bukan karena kita tak bisa, tapi orang lain dapat menyediakan kita jendela baru tentang sesuatu. Kita kadang bekerja sama dengan orang lain dalam waktu dan ruang yang terbatas. Semua membutuhkan kebesaran sikap untuk berinteraksi dengan orang lain. Saya pikir saya banyak melakukan kesalahan, tapi saya pun selalu semangat memaknai perjalanan belajar itu.
Lalu, saya beranjak masuk ke dimensi memori saya di suatu kelas Intervensi Organisasi.
Saat itu saya berada di salah satu bangku-bangku mahasiswa akhir yang bosan mendengar ceramah dosen. Tapi, ada satu hal yang saya ingat saat itu.
“Pemimpin itu beda sama manager. Punya fungsi manager tapi jauh lebih dari itu. Pemimpin itu menginspirasi, memberi ruang berkarya bagi anggotanya, bukan ia yang checklits to do or dont, mencatat pelanggaran-pelanggaran, bukan itu, sadarkah anak-anakku semakin tinggi suatu posisi kepempimpinan semakin ia harus berdinamika dengan manusia, jadi semakin tinggi posisi seseorang semakin membutuhkan skill berhadapan dengan manusia.”
Pelan-pelan dalam sanubari saya meberi catatan pada diri saya. Pemimpin itu menginpirasi dan memberi ruang kreasi bagi anggotanya.
Lalu Aruna menceracau lagi, “ Kamu sadar nggak sih kamu kecapekan? Kalau kamu benar-benar percaya sama orang lain, kamu akan biarkan Arya mengambil alih pekerjaan-pekerjaanmu supaya kamu bisa istirahat. Itu tugas dia: meneruskan. Meneruskan bukan berarti memperkenalkan sesuatu yang baru, tapi meneruskan artinya mengembangkan dari apa yang sudah ada,”
Kemudian lagi, imaji saya secara metafisik kembali ke kelas Kognitif. Saat kita berpikir tentang pikirang orang lain namanya metakognitif. Abaikan. Di kelas itu, yang baru saja saya alami, sedang terjadi selisih pendapat antara kami, mahasiswa, dengan dosen kognitif. Saya tentu saja salah satu mahasiswa yang tidak segan mengutarakan pendapat.
“Ibu, kami merasa diperalat, kami dijadikan subyek penelitian dengan terpaksa, padahal di salah satu lembar persetujuan responden, kesediaan ataupun ketidaksediaan kami, tidak akan berdampak apapun pada nilai kami, tapi itu semua hanya bercandaan. Pada faktanya, kami terpaksa menjadi subjek penelitian sebab penelitian tersebut dijadikan praktikum wajib bagi mahasiswa.” Kata teman kami yang bertubuh kecil namun lantang nyalinya.
Itu kelas gabungan, ada teman-teman 2014 dan sebagian besarnya 2016. Tentu saja secara nyali yang 2014 lebih sangar. Mungkin sudah merasa cukup tua untuk berpendapat.
Secara pendek, terjadi sharing pendapat, sharing emosi, sharing kognisi, dan opsi-opsi lain yang mungkin bisa muncul. Singkat cerita, hasil tidak menyenangkan. Rasanya kami tetap menjadi pihak yang terasa kurang benar. Tapi, tetap akan ada evaluasi di kalangan dosen. Begitulah.
Apa yang saya ingat dari proses itu adalah perkataan dosen saya, “Ayo semangat belajar, diskusi tadi disingkarkan dulu, begitulah efek samping komunikasi, selalu ada hal-hal yang tidak mengenakkan tapi lebih baik daripada dipendam. Ayo kita kembali ke materi,” dengan nada keibuan. Saya mencatat baik-baik, proses rekonsiliasi dan komunikasi, pasti menimbulkan efek samping. Tapi itu jauh lebih baik dari tidak sama sekali.
“Saya itu leader yang kayak apa ya?” menjadi proses panjang saya untuk mencari jawaban. Leader apa manager? Demikianlah, sekilas percakapan dengan mereka dan dengan diri saya sendiri.
_
Noon with Aruna, Bono, dan dosen-dosen di kampus.
Dalam deadline kerja yang belum tahu ujung kumparannya dimana.
Comments
Post a Comment