MEMBINGKAI NARASI 4 NOVEMBER 2016 (Bagian 1)

Selepas shubuh tadi, saya dan teman-teman melingkar untuk membicarakan aksi hari ini. Diskusi berjalan panas, apalagi kami berasal dari berbagai disiplin ilmu yang saling melengkapi antar analisis.

Memang, pemantauan pergerakan massa telah beberapa hari dilakukan oleh teman-teman, sehari-hari kami saling mengeluarkan informasi dari berbagai daerah sejak beberapa hari yang lalu.

Banyak sekali warna dan ibrah yang saya dapat pagi ini. Diantaranya terkait betapa deg-degannya kami melihat jenis massa 4 November (yang saya tulis dalam tulisan kali ini), kemana arah opini public akan digiring, isu branding media terhadap aksi damai 4 November, keseksian isu dalam kancah nasional, global dan refleksinya terhadap persatuan ummat (Ukh, ini baru segelintir ummat bersatu, betapa persatuan ummat adalah keniscayaan kata teman saya), dan tak luput pula membahas manajemen aksi (kali ini juga dituangkan), isu psikologi massa juga digodok, ada pula yang menambahkan berita dukungan dari muslim global yang mendukung aksi 4 november serta kegelisahan bagaimana berjalannya aksi. Lalu, diakhir forum, kita bersepakat untuk terus menerus mengawal isu 4 November dalam koridor persatuan ummat.

Siapa kami? Itu tidak penting. Namun apa yang kami bicarakan agaknya penting untuk dibagi. Yang kemudian akan saya jadikan dalam beberapa tulisan pendek (insha Allah) ke depannya.
Aksi damai 4 November ini, bagi saya pribadi memuat berbagai macam warna analisis. Yang tentu tidak mungkin saya tuangkan semua dalam satu badan tulisan ala sosial media (saking banyaknya hal yang ingin saya sampaikan). Maka, saya akan memulai dari perkara yang paling teknis.

*Segelintir Manajemen Aksi Damai dalam Islam*

Jika aksi ini mengatasnamakan Islam maka layak kita lihat bagaimana sedikitnya Islam menuntun.

*Luruskan niat*

Sungguh peluh keringat, usaha, uang, waktu dan berbagai pengorbanan lainnya tidak berharga didahapan Allah jika coreng niat kita. Bukan hanya sebelum, tetapi saat dan sesudah perlu dijaga keikhlasannya.

*Bukan karena lapar dan marah*

Saya teringat fragmen Ali bin Abi Thalib dengan Amru bin Abdul Wad saat perang Khandaq. Saat itu Amru bin Abdul Wad sudah kalah dengan leher diujung pedang Ali. Lalu, ia meludahi Ali, Ali malah menghentikan sabetannya. Saat ia ditanya mengapa lantas ia menjawab, sungguh saat itu ia sedang marah, dan ia takut niatnya akan terbelokkan. Bukan karena Islam, tetapi karena ia merasa harga dirinya terluka. Maka, mengevaluasi butir-butir niat menjadi sangat-sangat krusial.

Kemudian karena saya berasal dari ilmu psikologi, saya akan menambah beberapa analisis saya disini:

*1. Hati-hati sifat massa 4 November*

Sejujurnya, sebagai mahasiswa yang belajar tentang fenomena sosial. Saya sedikit khawatir akan jenis massa ini, sebab massa ini agaknya bersifat crowd, terbuka dan semiterstruktur.

Massa ini, memiliki banyak potensi, resiko dan tantangan dalam mengelolanya daripada massa terstuktrur dan tertutup. Potensi positifnya karena bersifat terbuka ia dapat menghimpun kekuatan massa yang lebih besar dengan mudah.

Resikonya adalah riskan mengelola dalam mengelola anonimitas dalam kelompok.  Anonimitas adalah nir-nama dan nir-identitas dalam kelompok. Dalam teori identitas sosial, dalam massa atau kelompok identitas personal akan lebur dan tertutupi oleh identitas kelompok. Hal ini sekali lagi (dulu saya sudah pernah menulis pada aksi 2 Mei Rektorat UGM), bahwa koordinasi perlu sekali dilakukan.

*2. Anonimitas dan Amir*
Sungguh, benarlah Alquran dan segala isi yang dikandungnya. Bahkan diantara dua orang yang tidak anonim, jika mereka berjalan bersama,  maka salah satu diantaranya harus menjadi pemimpin. Dan sebagian lainnya harus mematuhi amirnya.

Maka, dalam aksi damai dengan sifat massa seperti ini, mematuhi Amir adalah hal krusial. Selain itu, saling mengetahui rombongan masing-masing juga perlu. Sudah maklumat umum aksi lapangan. Potensi penyusup pasti ada. Sehingga biasanya dalam aksi massa seperti ini (sedikit dari pengalaman saya) masing-masing diminta menggunakan atribut pengenal. Namun, coba kita lihat bagaimana aksi dan koordinasi di lapangan nanti. Hal yang bisa saya ajukan adalah menekan anonomitas dengan penggunaan identitas spesifik pada setiap rombongan. Ingat tidak semua orang berpengalaman dalam melakukan aksi. Sehingga edukasi kelompok perlu senantiasa dilakukan.

Selain itu, anonimitas juga dapat meningkatkan peluang provokasi, keberanian bertindak diluar SOP, dan tindakan-tindakan lainnya. Sebab, dalam kelompok identitas pribadi susah diidentifikasi.

*3. Rentan Dibajak dan Juru Bicara*
Mengapa saya bilang demikian?
Dalam massa ini, banyak kepala, banyak orang, dan sudah diketahui bersama berbagai kepentingan dapat dengan mudah menyusup.

Sehingga, perlunya dilakukan framing terus menerus terkait tujuan aksi damai ini, sehingga tingkah massa bisa dikendalikan. Dalam beberapa kesempatan lapangan, saya pernah menemui manajemen aksi yang berstrategi dengan cara wartawan atau media hanya boleh mewawancarai juru bicaranya saja. Pernyataan resmi harus dari atas karena massa dibawah cenderung terdistorsi jika tidak dilakukan edukasi intensif terlebih dahulu.

*4. Konformitas*
Apa itu konformitas? Konformitas adalah sikap ikut-ikutan. Seperti sat seseorang secara sukarela melakukan suatu perbuatan karena orang lain melakukan perbuatan itu.  Nah, pada bagian ini saya kembali mewanti-wanti, anonimitas identitas dalam kelompok dapat membuat situasi ambigu. Dalam situasi yang ambigu kita cenderung bertindak mengikuti apa yang dilakukan orang banyak (cek eksperimen Solomon Asch). Maka, hati-hati provokasi.  Sekali lagi, kenali dan kenali lagi stimulus yang menggerakkan massa dan lakukan seleksi. Perlukah diikuti atau tidak? Apakah itu perintah amir, atau itu seorang provokator yang tidak dikenal?

*5. Checking*
Bertambah atau berkurang? 
Sangat teknis tetapi penting. Masing-masing Amir sejatinya harus memantau total rombongan.  Atau jika anda dalam posisi anggota maka ingatkanlah amirnya jika ia lengah.  Misal saat terjadi moving dari satu tempat ke tempat lainnya, anggota harus selalu melapor, bahkan saat akan ke kamar mandi dan memisahkan diri untuk duduk.

Dulu saya pernah punya pengalaman aksi di monas pada tanggal 17 Agustus. Lucunya, sampai disana ternyata sudah ada tiga massa aksi lainnya. Berwarna merah, hijau, dan lainnya. Massa aksi menyuarakan poin aksi yang berbeda dan diikuti oleh berbagai macam jenis orang. Segera korlap saya meminta mengecek kanan kiri apakah semua orang dikenal dan segera membagikan identitas spesifik.  Lalu ia menghubungi korlap aksi kubu lainnya, dan segera berkoordinasi melakukan hal yang sama, lalu meminta masing-masing massa memahami jika terjadi provokasi (seperti lempar botol dll), maka hal itu adalah provokator dan bukan dari kelompok masing-masing. Alhamdulillah, aksi berjalan lancar.

*6. Kesadaran*
Apakah kamu tidak berpikir? Afalaa tafakkaruun, afalaa tadabbaruun, afalaa talamuun, dan berbagai jenis kata lainnya dalam Al-Quran yang menekankan berpikir dan kesadaran. Maka, bergerak adalah didorong dengan kesadaran. Mengapa kita harus aksi? Poin apa saja yang ingin saya perjuangkan? Poin apa saja yang bukan titik tekan? Semua harus dipahami dengan baik. Meskipun saya yakin, tidak semua orang yang berangkat aksi memahami hal ini.

Saya yakin dalam sebuah aksi massa tentu tidak dapat dihindari segelintir orang yang alasannya masih belum mencapai puncak kesadaran, bisa jadi seperti karena teman-teman saya berangkat, karena seru, karena saya tidak suka saja sama Ahok.
Sekali-kali tidak. Jangan ikut-ikutan.

Kesadaran adalah pondasi bergerak.

Sekali lagi, bukan karena Ahok orang cina. Jika spesifik ras, itu rasis. Rasis adalah menghina apa yang Allah berikan dan manusia tidak bisa ubah. Kulit saya hitam, itu pemberian Allah, jika Anda hina kehitaman kulit saya, Anda rasis. Saya lahir di Jawa, bukan di Amerika, suku saya Jawa dan saya tidak bisa memilih dimana saya dilahirkan, jika Anda membenci saya karena saya suku jawa bukan orang bule Amerika. Maka anda rasis.

Namun, Islam tidak pernah mengajarkan rasisme. Selain itu agama adalah pilihan. Maka, dalam Al-Quran, Allah melabeli usaha dan pilihan manusia bukan kulit, dan ras manusia. Orang yang berusaha beriman Allah labeli dengan mukmin, ada pula ia yang beriman tapi mendustakan agamanya sendiri, Allah sebut fasik. Maka, sadarilah mengapa kita bertindak. Bukan karena Ahok orang cina semata (lalu overgeneralisir kepada semua etnis Cina), tetapi karena perbuatannya menghina Al-Quran. Yang artinya siapapun ia, dari etnis manapun, berasal dari manapun bukan karena rasnya, tetapi karena perbuatannya.

Terakhir, cinta dan benci karena Allah adalah mencintai hamba Allah, karena keimanannya kepada Allah dan ketaatannya kepada-Nya. Benci karena Allah adalah karena perbuatannya menentang Allah.

Wallahualam bishhowab.

Jumah mubarokah
Penulis merupakan Koordinator Riset dan Pengembangan Islamic Psychology Learning Forum (IPLF) UGM sekaligus aktif di Kajian Strategis Jamaah Shalahuddin UGM.

Nb: Jenis tulisan opini bukan official lembaga.
Tabayyun @fakhirahrobbani/fakhirah.ir@gmail.com

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...