Statistika Sosial

“Mbak, di kampung saya ada pesantren yang santrinya lesbian,” tanya seseorang pada saya di suatu acara. Saat itu (Sabtu, 5/9/15) saya berkesempatan menjadi moderator dalam sebuah acara  berjudul ‘Muslimah Cerdas, Gaul Sehat Anti Maksiat’ yang temanya besarnya pergaulan dalam Islam. Menariknya, pada sesi tanya jawab, salah satu peserta mengajukan pertanyaan yang cukup menyentak hati. Kira-kita beginilah detailnya.

“Di kampung saya, Sumatera Barat, terdapat sebuah Pesantren Putri...,” Katanya memulai bicara.
“Suatu hari, salah satu diantara santri-satrinya ketahuan ada seorang yang lesbian. Hebohlah masyarakat setempat saat mengetahuinya. Kemudian, akhirnya ia disidang bersama di depan pengurus pesantren dan masyarakat. Saat ditanya mengapa ia menyukai sesama jenis (perempuan), ia berkata ‘Karena saya tinggal di pesantren dan terus menerus melihat perempuan,” begitulah jawabannya. Mendengar hal itu, masyarakat sontak marah besar kepada pesantren dan meminta pesantren itu ditutup. Pendek kata, akhirnya pesantren itu dibubarkan dan ditutup hingga hari ini. Bagaimana tanggapan mbak mengenai hal ini?” katanya kepada pembicara.
Kira-kira apa yang ada di dalam benak teman-teman sekalian mendengar berita ini?
Mendengarnya, hati saya teriris. Saya sedih, karena dalam kasus ini seakan pesantrenlah biang keladinya, lebih jauh lagi seakan hukum Islamlah masalahnya.

Statistika Sosial, Masyarakat dan Generalisasi
Jika kita melihat suatu fenomena, maka hendaknya kita jeli memetakan. Apalagi jika kita menamakan diri sebagai seorang intelektual. Kasus diatas, hanya terjadi pada satu dua orang saja, maka jika ditilik hal tersebut masuk kasus, yang tentu saja, tidak bisa ditarik menjadi kesimpulan umum. Kecuali telah dilakukan sampling secara cermat dan diolah melalui serangkai uji statiska sehingga dapat mengahsilkan kesimpulan umum. “Kasus” dalam ranah metodologi masuk ke dalam metode kualitatif fokus bahasan studi kasus, yang secara sifatnya saja tidak bisa digeneralisir. Studi kasus tidak mampu membuat kesimpulan umum.  Sementara, metode yang setidaknya dapat membantu melihat fenomena dan gejalanya secara lebih general adalah menggunakan statistika dengan teknik sampling yang hati-hati.

Selain itu, dalam bahasan statistika, kita mengenal kurva normal. Kurva normal adalah kurva yang menunjukkan tendensi normal suatu data. Ia berbentuk seperti gunung, atau lonceng terbalik. Kasus-kasus menyimpang (yang tidak selalu terjadi) bukanlah berada dalam tendensi normal (bagian tengah) dalam suatu kurva normal.  Bisa jadi itu ekstrim kiri atau kanan.  Ekstrim kanan atau kiri bukanlah kesimpulan umum alias khusus, sehingga, kasus-kasus jangan mudah digeneralisir.

Dalam konteks cerita saya diatas, nyatanya kita  pun bisa melihat, tidak semua anak menjadi homoseksual setelah keluar dari pesantren baik pada santri putra maupun putri. Atau dalam konteks kekinian, pengalihan isu pengeboman X yang baru terjadi di bulan ini.

Sayangnya, kondisi di masyarakat tidak demikian.  Masyarakat seringkali mengabaikan fakta tersebut. Sehingga, tak heran masyarakat mudah sekali melakukan over generalisir, dan memberikan penilaian terhadap sesuatu dengan mudahnya, apalagi seringkali pula, tanpa repot-repot mengeceknya terlebih dahulu (tabayun). Bagi yang mengerti kondisi sosial psikologis masyarakat yang rapuh seperti ini, mudah saja melakukan pengopinian umum untuk tujuan tertentu. Contoh kecil saja, terkait terorisme dengan celana cingkrang dan cadar. Pengaitan berulang-ulang terhadap stimulus netral, bisa menghasilkan stimulus yang terkondisikan, dicampur dengan over generalisir. Wah, kacau kalau tidak di netralisasi kembali stimulusnya. Bisa mudah menjudge segala sesuatu. Easy jump to the conclusion.

Sedih sekali rasanya, ketika pihak-pihak tertentu dengan mudah melakukan pengarahan persepsi dan opini hanya dengan sekali atau dua kali melempar kasus khusus ke masyarakat. Atau memilih kasus-kasus tertentu sementara kasus lainnya diredam. Pengalihan isu.
Kasus homoseksual di pesantren, hanya kasus. Kasus pengeboman atas nama muslim (meskipun banyak konspirasi lain dibaliknya, seperti labeling, stigmatisasi dsb), hanya kasus.
Bukan hanya masyarakat awam yang mudah menggeneralisir suatu ‘kasus’, banyak intelektual yang mudah menggeneralisir pula. Ada baiknya kita mulai bijak memetakan ‘fenomena’ dan ‘kasus’ (dalam psikologi bahasan kasus dan fenomena berbeda, hehe), tidak mudah menggeneralisir. Namun juga jangan terpesona dengan gaung ‘menjunjung tinggi perbedaan individual’ yang suatu hari akan saya bahas lain kali. Wallahualam bishshowab.

Selamat beraktivitas.
Fakhirah Inayaturrobbani
Mahasiswa Fakultas utara masjid kampus UGM.
Bukan budayawan.
Kastrat Jama'ah Shalahuddin UGM.
Diskusi @fakhirahrobbani

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...