Posts

Showing posts from October, 2017

Apa Kabar Skripsi?

"Halo, apa kabar skripsinya kak?" Sapa adik tingkat di psikologi UGM saat kaki saya baru saja menginjak auditorium fakultas. Tidak lama setelah itu, "Fakhi, gimana kabar skripsinya?" Tanya teman seangkatan saya yang lain saat bertemu di Selasar. Tidak hanya itu, saat saya berjalan ke salah satu organisasi saya bertemu dengan kakak tingkat yang lagi-lagi menanyakan hal yang sama, "gimana skripsinya dek?" Itu baru di lingkungan kampus. Belum di tempat lainnya. Apalagi, lingkungan keluarga yang juga tidak kalah heboh bertanya soal ini.  Duh! Pertanyaan soal skripsi sepertinya merupakan  pertanyaan yang paling dihindari oleh para mahasiswa semester akhir.  Ada yang cemas kalau mau ke kampus, karena takut ditanya demikian. Lalu, ada juga yang jadi mules kalau mau nelpon keluarga. Atau mendadak keluar keringet dingin kalau ketemu dosen. Ya sindrom panik gitulah. Tapiiii, pernah nggak sih kita melihat dari sudut pandang  berbeda? Coba yaa kita lihat dari sud...

Appreciate More, Happy More!

Beberapa saat yang lalu, salah satu orangtua murid saya mengirim nilai ujian tengah semester via whats App. Nilai itu difoto lalu dikirim ke saya dengan disertai emot menangis. Karena saya dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta dari Ponorogo, saya tidak begitu menggubris, hanya melihat sekilas. Saat saya memindai (skimming) pun saya tidak paham korelasi antara menangis dengan nilai yang tertera disana. Itu nilai UTS yang kemarin. Memang saya guru bahasa Inggris (defaultnya) tapi saya diminta membersamai untuk mata pelajaran lainnya seperti, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Ujian Tematik Dasar anak SD. Ya pokoknya nemenin belajar sang anak. Saat saya membersamai anak tersebut. Orangtuanya seringkali menekan sang anak (dan saya juga secara nggak langsung) untuk mendapat ranking baik. Misal begitu saya sampai di rumah anak les saya, orangtuanya akan berkata “Mbak, kemarin nilai si Bunga segini, harusnya bisa segini mbak,” atau ketika sang anak ...

Enjoy The Little Before You Go Big!

Image
“Jangan, mbak. Kasihan. Ini bukti perjuangan mbak bertahun-tahun,” “Mbak, ini artinya mbak berproses.” “Jangan fakh, karena saya belum baca semuanya” Setelah bermaksud membunuh blog ini sebab saya malu dengan tulisan-tulisan saya yang sebelumnya, ternyata banyak yang melarang saya untuk menutup blog ini. Selain itu, malah saya dimarahi oleh seseorang yang katanya, terinspirasi dari blog saya, “Kamu ngingetin buat jangan malu nulis tapi kamu sendiri punya life crisis . Ayolah come on . Fokus buat nulis yang lebih baik lagi, yang di sini biarlah di sini, tatap masa depan.” Tapi.... saya ragu. Salah satu buruknya saya adalah mungkin tidak mudah bersyukur atau mengeset goal yang terlalu tinggi. Makanya satu semester ini saya sudah mencoba melakukan terapi dengan menulis apa saja yang telah saya lakukan setiap hari dalam selember kertas. Hal itu supaya membantu saya lebih mindfulness . Lebih menikmati hari ini, lebih menikmati hidup. Ternyata Saya Sudah Banyak Menuli...

Membebaskan Diri

"Writing is a process, a journey into memory and the soul." Isabel Allende “Khi, jangan wacana aja nulis bukunya,” kata banyaak teman saya.   Saya tersenyum kecut. Mungkin bukan wacana, tapi hanya tidak selesai, hehe. Dia, kamu, dan mereka benar. Saya hanya punya krisis kepercayaan diri soal hasil tulisan-tulisan saya. “Tapi, kamu ngeblog, khi.” Beda. Ngeblog adalah menulis dengan gaya semau saya. Saya tidak peduli, tulisan saya dibaca atau tidak. Saya juga tidak merasa harus memaksakan orang berkunjung ke blog saya. Sementara menulis buku membuat saya merasakan tekanan yang berbeda. Menulis buku adalah soal kualitas, soal modal yang harus kembali ketika buku itu terbit. Soal banyak pikiran lainnya. “Sama, Khi. Menulis buku tetap bisa semau kamu,” katanya keukeuh. Hmm... Kalau ditanya berapa draft jadi yang telah saya buat. Kira-kira ada empat buat. Masing-masing diatas lebih dari 50 halaman. Draft pertama saya, berjudul “Venus dan Uranus”. Se...

#TentangAyah

Ayah adalah sosok yang pernah memukul saya karena saya malas mengaji. Ayah adalah sosok yang pernah menghukum saya tidak boleh masuk rumah, karena tidak pergi mengaji hari itu. Ayah yang pernah menghukum saya dengan mengikat tangan saya karena pernah membanting Al-Quran saat kecil. Ayah adalah sosok yang rela membonceng anak perempuan pertamanya menggunakan sepeda onthel selama 20 menit untuk menimba ilmu di Tempat Pendidikan Alquran terbaik di Kotanya. Ayah   adalah sosok yang setiap anak perempuannya naik level mengaji, dari jilid satu ke jilid dua, dari jilid dua ke tiga, selalu memberikan anaknya hadiah kenaikan level. Hanya saat mengaji. Sekalipun anak perempuannya menjadi juara di sekolahnya. Hadiah lebih untuk yang naik level mengaji. Ayah adalah sosok yang memaksa anak perempuannya belajar bahasa Arab semenjak kecil. Ayah yang rela anak perempuan pertamanya berlelah-lelah sejak TK Besar diberi kursus privat bahasa arab sampai anak perempuannya lulus S...