Membebaskan Diri
"Writing
is a process, a journey into memory and the soul."
Isabel Allende
“Khi, jangan wacana aja nulis bukunya,”
kata banyaak teman saya.
Saya tersenyum kecut. Mungkin bukan
wacana, tapi hanya tidak selesai, hehe. Dia, kamu, dan mereka benar. Saya hanya
punya krisis kepercayaan diri soal hasil tulisan-tulisan saya.
“Tapi, kamu ngeblog, khi.”
Beda. Ngeblog adalah menulis dengan gaya
semau saya. Saya tidak peduli, tulisan saya dibaca atau tidak. Saya juga tidak
merasa harus memaksakan orang berkunjung ke blog saya. Sementara menulis buku
membuat saya merasakan tekanan yang berbeda. Menulis buku adalah soal kualitas,
soal modal yang harus kembali ketika buku itu terbit. Soal banyak pikiran lainnya.
“Sama, Khi. Menulis buku tetap bisa
semau kamu,” katanya keukeuh.
Hmm...
Kalau ditanya berapa draft jadi yang
telah saya buat. Kira-kira ada empat buat. Masing-masing diatas lebih dari 50
halaman. Draft pertama saya, berjudul “Venus dan Uranus”. Sebuah novel
psikologis tentang seorang perempuan cantik yang malah tidak mau terlihat kecantikan
dan kecerdasannya. Ia mempunyai alasan yang kuat mengapa demikian. Lalu, draft
itu saya musnahkan. Karena, bermuatan tidak islami, sebab pada awal tahun 2010
an saya baru memulai proses hijrah saya. Sekarang antara menyesal dan nggak
menyesal sih. Draft “Venus dan Uranus” saya buat dengan penuh perjuangan. Saya
menulis tangan diatas buku SIDU setebal 78 halaman sendiri. TULIS TANGAN. Jadi
ada tiga buku setebal 78 halaman yang saya bendel jadi satu karena memang
ceritanya panjang.
Draft “Venus dan Uranus” itu saya
tulis konteksnya memang di pesantren yang saya nggak ada akses alat elektronik
satupun. Begitu pulang liburan semester (cuma dua kali dalam setahun), saya
akan menuliskannya di laptop ibu saya. Setelah dipindah menjadi data
elektronik. Kemudian, saya jilid sendiri seperti buku. Kemudian, buku itu saya
bawa kembali ke pesantren. Mungkin karena tidak lagi seperti catatan usang di
buku sidu, novel saya semakin berputar, dari satu orang ke orang lain, hingga
tidak disangka-sangka jatuh ke salah bagian keamanan. Waduh. Di pesantren saya,
tidak boleh membaca novel yang tidak islami gitu, sehingga, novel saya terkena
sidak. The one and only. Akhirnya saya dipanggil bagian ke amanan dan mereka
nggak percaya kalau itu saya yang membuat novel itu. Sebab, saya menggunakan
nama samaran. Ilin Syahfana. Semua teman SMP hingga SMA saya masih memanggil
saya Ilin. Tanya saja sama mereka hehe.
Singkat cerita, ada dua novel lainnya
judulnya, “Jilbab and Me,” dan “Sketsa”. Masing-masing masih manis di drive
laptop saya sampai saat ini. “Jilbab and Me”adalah novel saya pasca what so
called baru belajar Islam beneran. Baru belajar Islam yang mengakar. Iya sih
pesantren tapi saya nggak sadar mengapa saya harus berislam dan belajar pesantren.
Nah, novel ini my very first setelah
hijrah. Tapi, kenapa ga pede saya publish, karena... ehm... karena ada bagian
part dari novel itu yang alay. Bayangin ya saya baru belajar Islam yang
beneran, jadi masih banyak yang bolong-bolong pemahamannya. Itu tentang
sebagian rangkuman perjuangan teman-teman yang mengenakan jilbab (gamis) pada
saat itu 2010-2012. Novel ini sempat saya kirim ke republika. Namun, belum
berhasil. Padahal saya sudah berjuang saat itu hujan-hujan ngirim draft. Ya
sekian soal itu. Makin panjang nanti kalau cerita ini. Total halaman novel ini
205 halaman.
Lalu, saya lagi minat-minatnya melahap
novel islami. Akhirnya saya membuat artikel tentang “Novel Islami Bikin Keki”.
Ini dimuat di tabloid remaja D’rise. Singkat cerita, saya merasa bosen dengan
plot genre Islami yang gitu-gitu aja plotnya. Belum tobat-lalu insaf. Nakal, berandal lalu tobat. Atau cewek tobat
gara-gara suka sama cowok yang alim atau sebaliknya. Terus aja gitu. Bosen.
Jenuh. Dan akhirnya saya tiba di era mengutuk semua novel yang genrenya kayak
gitu dan berpikir keras, saya kalau mau nulis cerita islami gimana ya supaya
nggak jenuh atau nggak gitu-gitu aja.
Setelah diskusi sama teman nulis
sekaligus sahabat saya. Akhirnya kita membuat novel kolaborasi judulnya “Sketsa”.
Novel ini menceritakan tentang cewek cina yang muslim, yang ibunya terbunuh di
saat kerusuhan 1998, sementara ayahnya adalah jawa. Dia membenci rasisme namun
pada saat yang sama mencari jati dirinya sebagai muslim. Dia berpikir menjadi
muslim itu gimana sih. Kok yang membunuh ibunya juga seorang muslim. Dengan bumbu-bumbu
manis roman juga. Kenapa ga dipublish? Ehmm... karena saya merasa itu masih
belum baik. Saya belum banyak baca soal being moslem and chinese in Indonesia.
Jadi, masih harus disempurnakan lagi. Plotnya juga kurang kuat,
meloncat-loncat. Total halaman 185.
Setelah dua novel itu, saya pindah ke
genre non fiksi bareng angkatan pertama, akhirnya menyelesaikan satu buku
memoar “Catatan Para Akar” dan sebuah novelet setebal 75 halaman berjudul “Rinai
Lima Warna”. Saya pernah pos di status saya sebelumnya.
Fyuh. Sekarang tinggal editing sih. Tapi,
saya sudah merasa karya saya ini kayaknya ga bagus deh. Pindah bikin yang lain
aja dan bikin yang baru. Dan “anak-anak” saya itu belum tersentuh editing sama
sekali.
***
Writing
Marketing
Saya sempat diberi masukan oleh salah
seorang sahabat saya sekaligus volunterary my private advisor tentang marketing
tulisan-tulisan saya.
Mengapa berbicara soal marketing
tulisan?
Karena, dia melihat bahwa faktor meledaknya buku tidak hanya soal saya
sudah selesai menulis atau belum. Tetapi, seberapa orang perlahan mulai
mengenal bukumu atau tidak.
Saat mendengar masukan itu, jujur saya
agak cemas hehe. Karena saya bukan jenis orang yang famous sosial medianya. Bahkan,
saya punya ketakutan berhadapan dengan orang-orang dunia maya.
Takut.
Salah satu sarannya adalah secara
berkala mengendorse progress saya nulis di laman akun sosial media saya. Agak
sulit bagi saya yang terbiasa bersembunyi dan nggak terlalu suka maksain
pos-pos saya untuk bagus secara konten. Lalu saya berpikir keras, tentu
mempunyai mimpi harus mau bekerja keras. Apakah menjadi well-known secara
sosial media merupakan jalan saya? Bisa jadi. Tapi, bagaimana caranya? Saya
tidak tahu.
Apakah saya harus mengatur feed
instagram saya? Atau saya harus menata kembali blog saya? Atau membuat baru? Atau
saya harus menjadi vlogger juga? Atau saya harus belajar mendesain? Atau
bagaimana? (Jika kalian punya saran, feel free to chat me ya, saya selalu
terbuka terhadap masukan).
Waktu berjalan dan pikiran tentang
bagaimana cara saya untuk mengiklankan tulisan-tulisan saya terus menjadi
teka-teki misteri dalam benak saya. Tapi, akhirnya saya memutuskan untuk
membebaskan diri saya dari semua itu.
Yang
Penting Nulisnya Selesai. Editing dan Marketing Belakangan.
Akhirnya saya memilih nggak stress
sama apa yang belum terjadi. Saya memilih untuk fokus pada mencoba berkarya
saja. Mencoba. Kalau karya saya baik dan bermanfaat tentu karya saya akan
dicari orang. Saran teman saya itu tentu akan saya cicil sedikit demi sedikit. Karena, idealnya
memang demikian. Apa yang dikatakan teman saya mengantarkan saya pada perkataan
Austen Kleon dalam buku fenomenalnya, “Show
Your Work!”. Menunjukkan kerja kita salah satu usaha turunannya adalah
mengapdet kabar harian tentang progress kerjaan kita. At least, cuma itu yang bisa saya lakukan. Dalam buku
yang juga saya sukai banget, “The Art of
Journaling” oleh Abbey Sy. Ia mengatakan bahwa terus menulis progress proyek
kita akan membuat kita lebih bersemangat.
Umur saya sudah hampir seperempat abad
tapi mimpi saya yang ini belum terlihat ujungnya. Kalau KPK ada OTT recehan,
kalau saya, instead of nulis buku, saya jadi teralihkan menulis artikel-artikelkecil (recehan), hehe.
Berdoa
Saya nggak bisa bohon kalau saya memang
“besar omongnya”. Saya sering bicara mimpi-mimpi saya, dan banyak
sahabat-sahabat terbaik saya mengatakan saya ahli wacana, hehe. Mereka benar.
Saya orangnya memang mudah semangat tapi muda juga kendor. Maka, bantu saya mengingatkan,
mendorong dan menyisipkan doa untuk saya pada semester kali ini. Meskipun cuma mimpi,
boleh kan ya berdoa dan meminta doa. :)
Comments
Post a Comment