#TentangAyah

Ayah adalah sosok yang pernah memukul saya karena saya malas mengaji.
Ayah adalah sosok yang pernah menghukum saya tidak boleh masuk rumah, karena tidak pergi mengaji hari itu.
Ayah yang pernah menghukum saya dengan mengikat tangan saya karena pernah membanting Al-Quran saat kecil.
Ayah adalah sosok yang rela membonceng anak perempuan pertamanya menggunakan sepeda onthel selama 20 menit untuk menimba ilmu di Tempat Pendidikan Alquran terbaik di Kotanya.
Ayah  adalah sosok yang setiap anak perempuannya naik level mengaji, dari jilid satu ke jilid dua, dari jilid dua ke tiga, selalu memberikan anaknya hadiah kenaikan level. Hanya saat mengaji. Sekalipun anak perempuannya menjadi juara di sekolahnya. Hadiah lebih untuk yang naik level mengaji.
Ayah adalah sosok yang memaksa anak perempuannya belajar bahasa Arab semenjak kecil. Ayah yang rela anak perempuan pertamanya berlelah-lelah sejak TK Besar diberi kursus privat bahasa arab sampai anak perempuannya lulus SD.
Ayah adalah sosok yang memaksa anak perempuannya untuk mengambil pelajaran agama. Meskipun, anak perempuannya menjadi ranking terbaik dalam seleksi SMP negeri favorit di kecamatan. SKHUN dan Ijazah SD ditarik saat hari pertama sekolah dan saya pergi diantar ke pesantren di Ponorogo.  Lalu kita bertengkar hebat, “Ini cita-cita ayah apa cita-cita saya?” pekik saya saat itu. Ah, dasar anak tidak paham hikmah kehidupan.
Ayah adalah sosok yang mengatakan, belajar agama dulu, baru nanti dewasa kamu bebas kemana saja. Ayah tidak akan menahanmu.
Ayah adalah sosok yang mengatakan, “kalau kamu saat kuliah melenceng dari agama, mending tidak kuliah, belajar agamanya wajib, kuliahnya fardhu kifayah,” Lalu saya bertengkar keras.

Ayah adalah sosok yang mengatakan, “Nanti kalau di luar negeri, ayah yang nemenin, ga usah mahram dulu ga papa”
Ayah adalah sosok yang mengatakan, “Kuliah di Australia aja, banyak teman ayah disana, Islamophobianya lebih kecil, apalagi kamu belum mau nikah dulu kan,”
Di balik kerasnya, ada harapan besar yang disematkan pada pundak anak perempuan pertamanya.  Di balik wajah kakunya, kelembutan cita merasuk sukma.

Ayah, semoga dadamu yang sering sesak napas semakin sehat. Semoga ubanmu pertanda pahalamu yang semakin banyak. Semoga bahumu semakin kokoh. Semakin punggungmu dikuatkan. Semoga anak perempuanmu ini mampu membawamu menuju surga.

Halo, ayah apa kabar? Saya rindu.


Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...