Appreciate More, Happy More!
Beberapa saat yang lalu, salah
satu orangtua murid saya mengirim nilai ujian tengah semester via whats App. Nilai
itu difoto lalu dikirim ke saya dengan disertai emot menangis. Karena saya dalam
perjalanan pulang ke Yogyakarta dari Ponorogo, saya tidak begitu menggubris,
hanya melihat sekilas. Saat saya memindai (skimming) pun saya tidak paham korelasi
antara menangis dengan nilai yang tertera disana. Itu nilai UTS yang kemarin.
Memang saya guru bahasa Inggris (defaultnya) tapi saya diminta membersamai
untuk mata pelajaran lainnya seperti, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, Pendidikan
Kewarganegaraan, dan Ujian Tematik Dasar anak SD. Ya pokoknya nemenin belajar
sang anak.
Saat saya membersamai anak
tersebut. Orangtuanya seringkali menekan sang anak (dan saya juga secara nggak
langsung) untuk mendapat ranking baik. Misal begitu saya sampai di rumah anak les saya,
orangtuanya akan berkata “Mbak, kemarin nilai si Bunga segini, harusnya bisa
segini mbak,” atau ketika sang anak bosan dan bermain-main dengan menggambar
sesuatu di buku catatannya dan ibunya lewat, akan keluar nada, “Ayo, Bunga,
jangan menggambar terus. Kamu itu kalau konsentrasi nilainya bagus, kamu cuma
begini dan begitu”.
Pada suatu waktu yang lain sang
anak sempat bercerita ke saya, “Ibu pengen aku masuk lima besar kak,” katanya. Seketika
kegiatan saya berhenti, “Memang kamu selama ini rangking berapa?” saya bertanya
balik. “Sepuluh besar, kak.” Katanya polos. “Wah, sudah bagus itu, bagus
banget, apalagi kakak ngelihat Bunga belajarnya rajin, tinggal ditingkatkan
lagi aja. Bunga itu pinter kok, tinggal cari cara belajar yang pas aja,” “Masih
kurang, kak. Dulu kakak sering ranking satu ya?” Kata dia dengan sorot mata
yang meredup. Duh, anak kecil kelas empat SD ngelihat saya kayak gini jadi
nggak tega. “Iya tiga besar, tapi kan sekolah kakak kecil, jadi lebih gampang
ranking satunya, hehe.” Kata saya berhati-hati sambil tertawa ringan.
“Tapi tetap aja ranking,” katanya
sedih. Duh. Hancur hati saya. Bukan karena dia, tapi karena iklim yang dia
rasakan.
Saya mengajar les itu untuk
memberi tahu sang anak cara belajar mandiri. Bukan menuntut dia menjadi yang
terbaik. Saya mengajar les itu untuk menunjukkan
bahwa belajar itu menyenangkan, bahwa belajar itu tidak selalu harus berbasis
kertas dan duduk, bahwa belajar itu adalah keinginan mandiri yang berdasarkan
rasa ingin tahu dan keinginan yang meluap-luap untuk mencari tahu. Bukan
seperti ini. Dan semua ini seperti berseberangan dengan permintaan klien (orang
tua) agar anak yang penting bin pokoknya ranking dan bernilai baik.
Tidak hanya Bunga, saya bertemu
Bunga-bunga yang lain dalam kehidupan saya. Seperti suatu saat saya sempat mengisi jumat
siang di salah satu Fakultas ternama di UGM tentang Muslimah Beriman, Sehat
Mental dan Bahagia. Seusai acara, ada salah satu peserta yang mendekat ke saya dan bercerita tentang permasalah-permasalahannya, salah satunya adalah soal traumanya untuk menelpon keluarganya. Mengapa? Ternyata, keluarganya selalu menanyakan
IPKnya berapa, sudah juara apa, berprestasi apa semester ini, sudah melakukan
apa saja, dll yang membuat dia tertekan. Saat bercerita bahkan ia sampai
menangis sesenggukan, ia tidak kuat lagi menahan rasa takutnya sendirian. Duh, hati saya.
PR BESAR DUNIA PENDIDIKAN DAN KITA SEMUA
Saya merasa bersyukur memiliki
orang tua yang mendidik saya untuk berani memilih dan bertanggungjawab termasuk
pada masalah akademis saya. Sampai sekarang, orang tua saya tidak pernah
menanyakan saya ranking berapa selama saya di SD, SMP, SMA hingga kuliah! Bahkan, dulu saat nyantri, saya selalu menjadi tiga besar paralel
seangkatan baik mata pelajaran agama maupun umum. Tapi orang tua tidak
pernah membuka sedikitpun raport saya (kalau di pesantren, tidak ada kewajiban paraf ortu di raport). Pertanyaan-pertanyaan paska ujian lebih ke “bagaimana
ujiannya, bagaimana perasaannya, ada kesulitan apa, jujur atau tidak,” Saya
sampai sempat ngambek karena rangking satu saya seperti tidak dihargai, hehe.
Dulu juga, saya dibebaskan untuk
bolos sekolah. “Yah, kakak bosen sekolah hari ini, boleh ya nggak sekolah,”
ayah saya pasti mengiyakan dengan konsekuensi misal PRnya harus sudah
dikerjakan. Kebebasan memilih yang bertanggungjawab.
Fase lain dalam hidup saya adalah
selepas saya SMA, orang tua saya menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada saya
ingin memilih apa. Bahkan tercetus kalimat, “Kalau kamu mau kuliah ya kami support, kalau
nggak kuliah, dan kamu mau usaha ya kami support,” begitu. Akhirnya saya memilih kuliah
di tempat yang mahal hehe.
Sedikit demi sedikit, saya
memahami bahwa saya haus ilmu bukan karena rangkingnya. Tapi, karena saya
pengen. Makanya, saya ambil skripsi tentang koruptor (yang mayoritas teman langsung
nggak percaya karena saya anak psikologi dan bukan ekonomi, karena saya
perempuan dan harus keluar masuk lapas, karena saya berkerudung lebar dan lapas
bukan tempat untuk orang yang katanya kayak saya). Pendeknya, karena saya pengen
belajar tentang korupsi. Bodo amatlah lulus agak lama (ya ini saya usahakan ga
ngaret banget juga), dan susah setengah gila baca referensi lintas jurusannya.
Tapi, saya merasa perjalanan belajar saya ini menyenangkan tanpa beban tuntutan
apapun. Kecuali, target pribadi sih, hehe.
Balik ke adik les saya dan
tuntutan akademik. Saya jadi berpikir ulang. Padahal kedua orangtua adik les
saya ini berpendidikan dan ayahnya adalah dosen tapi tidak menentukan bisa mengakomodir iklim
apresiatif yang dibutuhkan. Bunga sudah berada di sekolah hingga jam empat
sore, setelah itu harus les mata pelajaran dan tambahan-tambahan lainnya.
Malamnya dia harus mengerjakan PR dan menonton sesekali. Kemana perginya masa kecil
yang penuh keingintahuan, eksplorasi dan keberanian mencari tahu hal-hal bari.
Kemana perginya kehidupan bahagia masa kanak-kanak yang tidak pernah bisa
terulang kembali. Dan kemana jiwa anak-anak itu pergi.
Last, mari jadi pribadi yang apresiatif
kawan. Ini bukan urusan remeh temeh. Ini urusan membagun budaya mental. Ini
urusan membentuk generasi yang tangguh karena mendorong orang percaya pada kemampuan dirinya
sendiri, tidak takut mencoba dan menguatkan mereka yang harus dikuatkan.
Iklim apresiatif akan membuka
kran kreativitas dan keberanian pada individu yang diapresiasi. Memang
dorongan yang stressful bisa mendorong orang untuk meloncat lebih tinggi. Tapi,
jika bisa meloncat dengan bahagia, mengapa harus dengan susah hati? Iklim
apresiatif yang pada tempatnya akan membuat orang juga menjadi lebih positif.
Ia akan menularkan apresiasi itu ke orang lain juga.
#MenjadiPribadiPositif
izinkan saya mengenal mb. doakan saya agar tahun depan bisa 1 univ dengan mb.
ReplyDelete