Cerita di atas Kereta

We must rapidly begin the shift from a "thing-oriented" society to a "person-oriented" society. When machines and computers, profit motives and property rights are considered more important than people, the giant triplets of racism, materialism, and militarism are incapable of being conquered.*
MARTIN LUTHER KING, JR

Saat itu hari sudah mulai sore, langit senja dengan awan yang berarak hangat menemani desau kereta Logawa dari stasiun Lempuyangan Jogja yang saya tumpangi.
Kereta mulai berkurang kepadatannya sejalan dengan semakin timurnya kereta berlari. banyak penumpang turun di stasiun-stasiun berikutnya. Saya dengan buku yang selalu saya siapkan untuk menjadi teman di perjalanan mulai mengantuk karena tertimang-timang lembut kereta yang bergerak-gerak. Kereta berhenti di stasiun berikutnya, yang tepatnya saya lupa apa namanya. tidak ada keanehan



apapun saat itu.
Kereta yang berhenti lama sekali ini tak saya hiraukan. Saya pikir, bukannya memang biasa ngaret? Sebelum akhirnya saya mengamati keanehan. Seluruh penumpang seperti terdiam serentak dan melihat pada satu titik. karena itu dibelakang saya, saya harus berbalik untuk melihat apa yang terjadi. bersamaan dengan itu apa yang saya dengan semakin memperjelas situasi yang terjadi.

"Bangsat! Aku iki golek mangan! duduk awakmu thok! Aku ini cari makan! bukan hanya dirimu!"
Buk...Bak...Jedak... suara benda keras menghantam dinding kereta.
" Gak wedi! arakno ae! arakno ae! Nggak takut, laporkan saja, laporkan saja!"
Juga suara pukulan, hantaman,  teriakan, tangisan dan sumpah serapah. selanjutnya saya tidak mendengar begitu jelas karena pedangan asongan yang ada diatas kereta mulai berteriak-teriak menjajakan jualannya. saya tahu ia berusaha mengalihkan keheningan. dari suaranya dan ekspresi beberapa pedagang asongan tampak aneh.
Semua penumpang terdiam termasuk saya, saya meringis agak was was juga takut. Ternyata, perkelahian dengan pedagang asongan dan petugas kereta.Pedagang asongan memaksa masuk ke atas kereta dan menjajakan barang dagangannya. sementara, karena regulasi baru di atas kereta antar provinsi pedagang asongan dilarang menjajakan barang jualannya di atas kereta.

Lalu, saya mulai mengerti duduk perkaranya dengan mengumpulkan remah-remah informasi yang ternyata saya terima dari sekitar saya.
Intinya, sekarang pemimpin stasiun Tugu Jogja adalah orang Cina yang hidup lama di Singapura. Pulang ke Indonesia langsung di tempatkan menjadi kepala stasiun Tugu Jogjakarta. Memang, stasiun Tugu mendapat penghargaan sebagai stasiun teladan Nasional berkat beliau. Disiplin keberangkatan dan kedatangan kereta memang akhirnya diakui jempol, kebersihan, dan pendapatan stasiun Tugu juga meningkat (kata umi, karena meningkat inilah Kepala Stasiun dapat penghargaan ). Namun, satu hal yang disayangkan, KA Kereta Api DIY dan Jawa Tengah adalah kurangnya rasa humanisme dan kepekaan terhadap masyarakat tingkat bawah.

Seperti yang kita ketahui, kereta api adalah moda transportasi yang paling merakyat. karena murah dan mudah. 'Tranportasi rakyat' begitulah jargonnya. namun, sayang sekarang pedagang asongan kereta api yang 90% pendapatannya dari penumpang kereta malah tidak diperbolehkan naik. ini jelas memicu reaksi sosial masyarakat.

banyak hal yang membuat hati saya sakit mendengarnya, banyak cerita dan keluhan dari orang-orang di sekitar saya. lalu, bergulirlah pengalaman-pengalaman itu dari mulut mereka.

Seperti seorang ibu dan bapak yang duduk di depan saya, mereka dari Jogja hendak ke Solo yang notabene dekat, hanya tiga jam membayar 100 ribu. saya kaget, itu sama dengan uang tiket saya, Jogjakarta-Bangil dengan waktu tempuh 8 hingga 9 jam.

"Iya, nak. Jauh dekat sama saja. harus bayar penuh," kata Beliau sambil tersenyum masam. Ini bukan bilangan ribuan yang harus dibayar, seperti CommuterLine Bogor Jakarta 9.000, jauh dekat sama. ini harga yang sama sekali berbeda dengan itu. bayangkan 100 ribu untuk ke jarak yang dekat. sebuah ketidak adilan.

"Bahkan pernah gerbong kereta digullingkan saat kosong, ini aksi dari pedangan asongan. Juga pernah rel kereta api disegel," cerita seorang lainnya.

"Ini kan bukan Singapura, kita disini punya namanya rasa kekeluargaan, bukan asal disiplin, bukan asal hukum tanpa memikirkan rakyat kecil," geram seseorang.

Saya juga menjadi teringat beberapa baris lirik frontal seorang pengamen muda, cukup menggelitik saya.
"Melok cino remek kabeh awake, aku iki wargane Jokowi, merakyat ngerti awak dewe...Ikut cina remuk semua badannya, aku ini warganya jokowi, merakyat mengerti diri kita," Lirik itu terdengar seperti ia merindukan kepemimpinan Jokowi dan kebijakannya tentang perkereta apian di Solo. Sebenarnya liriknya bagus, hanya saja, saya lupa mencatat atau merekamnya. suatu hari nanti jika saya bertemu dengannya saya akan merekam lagunya.

Dari sini saya berbincang dengan banyak orang, mereka bilang, pemimpin bukan hanya yang dapat membuat segala sesuatunya berjalan dengan baik. Namun, ia harus punya self-humanity yang sangat kuat untuk mendapat dukungan dan mengerti seberapa nyaman kebijakannya ini untuk kehidupan rakyatnya.

Saya tahu, seharusnya pemerintah juga tahu, saat diterapkannya kebijakan mengenai sesuatu maka harus ada antisipasinya. Saat ini pedagang asongan tidak diperkenankan masuk kereta, sementara harga makanan kereta resmi begitu mahalnya, tidak variatif. lalu, bagaimana dengan nasib penghasilan pedagang asongan yang kalaupun mereka sehari-hari menjajakannya dagangannya di kereta penghasilan mereka toh tetap tidak seberapa, kemudian bagaimana mereka mau tidak berjualan di atas kereta sama sekali? pun, nasib kami para penumpang yang disodorkan harga mahal, rasa standar. Bagaimana? Salahkah kami jika akhirnya nanti suatu saat masyarakat kecil ini akan bersatu menanyakan kebijakan dan sistem. ada kredo yang mengatakan," Jangan bermain-main dengan orang yang lapar,"

Inilah kekuatan sistem, sistem punya kekuatan untuk menghancurkan kehidupan massal atau sebaliknya, membangun kehidupan massal. Dengan sistem seperti ini, ungkapan Martin cukup relevan.

Kita harus cepat memulai pergeseran dari "berorientasi hal" masyarakat untuk "orang-berorientasi" masyarakat. Ketika mesin dan komputer, motif keuntungan dan hak kepemilikan dianggap lebih penting daripada orang, si kembar tiga raksasa rasisme, materialisme, dan militerisme tidak mampu ditaklukkan.
MARTIN LUTHER KING JR.





Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...