Lo lempuyangan, gue Tugu dong.


Beberapa waktu yang lalu, saya berniat mengikuti ujian mandiri salah satu PTN favorit di Jogjakarta. Seminggu sebelumnya saya sudah riweuh mempersiapkan akomodasinya. Nelpon sana, nelpon sini, tanya sana, tanya sini. Maklum PTN itu letaknya jauh dari rumah. Jadi, pakai acara menginap gitu. Sebenarnya saya punya cukup link untuk dimintai tolong. Namun, karena emak dan buntutnya-youknowwho- ada urusan ketemu dosen sang emak tercinta yang sedang melanjutkan studi. Jadilah saya nggak enak kalau harus nebeng di kosan temen, atau di rumah binaan. Akhirnya kita memilih menginap di penginapan. Nah, kita minta tolong sama sepupu saya di sana, semester 3, baru 1 tahun di Jogja untuk mencarikan penginapan.  Biar kita pas dateng dengan kondisi capek udah tinggal bobo gitu niatnya.
Yay, setelah minta tolong beberapa hari yang lalu, akhirnya sepupu saya itu mengirim sebuah alamat penginapan yang sudah direservasi  ke kita. Hotel A namanya. Ok. Ok. Baguslah tinggal mendarat di kasur empuk pikir saya.



2 hari sebelum ujian.  Kita sudah bersiap menempuh perjalanan menuju Jogja. Rasanya excited banget seperti yang pernah saya tulis di Jogja, de napak tilas.
Setelah berlelah-lelah naik rollercoaster itu (?) saya dan emak pun tiba di stasiun lempuyangan. Tempat rollercoaster ekonomi parkir. Disini kita nyari taksi. Kok susah ya. Padahal Jogja kota wisata? Wah emak udah mulai ber’teori-teori’ ria seperti biasanya. Mulai kembali kumat menganalisis segala sesuatu. Oh. No… stop hentikan emak… hentikan emak…hentikan huhuhu…
Ibu : “Emang ya mentang-mentang di’anak tiriin’ kereta ekonomi  akhirnya dipisahkan dengan kereta elit lainnya. Sekarang ekonomi di  lempuyangan (yang youknowwell  fasilitasnya dan dekorasi segala-galanya jauh banget sama stasiun Tugu). Biar nggak mencemari kereta-kereta bagus itu kali ya. Dasar pemerintah-pemerintah. Orang kecil makin susah.” Ibu saya mulai angkat bicara.
Saya : hemm (malas menanggapi, meskipun kenyataannya emang begitu)
Ibu : Lihat cari taksi aja susah, sekali dapet, jelek-jelek dan argo sama aja sama taksi yang bagus,”
Saya: hemm
Ibu : Mungkin dianggap kalau ekonomi jadi fasilitas nggak harus memadai. Padahal, yang harusnya difasilitasi ini rakyat kecil ya pak? (ke sesama penumpang yang baru turun).
Saya : hemm…
Ibu : Nanti lihat ke stasiun Tugu, kak. disana fasilitas lengkap memadai, taksi yang terparkir bagus, petugas ramah. Diskriminasi sosial bagi pengguna kereta ekonomi nih. Bla..bla..bla..
Saya : hemm… (sepertinya sudah terlalu lelah )
Guys, memang begitulah kenyataannya. Orang yang beruang semakin dipuja, yang nggak punya uang yang nerima saja diapakan. Kenyataan itu dengan jelas terpampang dalam realita sehari-hari kita. Ini kesalahan sistemik. Jiah, berat bahasa saya. Serius ini kesalahan sistemik, kapitalisme, sekularisme, liberalisme, dan cucu-cucunya.
Jadi, jangan bangga dengan sistem sekarang. Bangga dengan sistem Islam zaman Nabi Muhammad, Kalau ada yang lebih baik kenapa pakai  yang lain? (hehe, iklan).





Comments

  1. iya betul banget!
    kondisinya sama kaya di gambir-pasar senen (jakarta), bandung-kiaracondong (bandung), semarang tawang-semarang poncol (semarang), solo balapan-solo jebres (solo) ..
    buah karya kapitalis :(

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...