One Way of Looking Life
Saya baru saja membaca sebuah buku berjudul “Learned Optimism:
How To change Your Mind and Your Life”
yang ditulis oleh Martin E.P. Seligman Ph.D.
Saat membaca buku (biasanya) saya mempunyai tiga kebiasaan pertama
sebelum menelan bulat-bulat isi buku tersebut. Yaitu melihat summarynya,
melihat daftar isi dan lihat siapa penulisnya. Maka, saat itu saya duduk dan
ingin mulai membaca, saya masuk ke langkah kedua, yaitu memindai halaman daftar
isi untuk melihat apa saja isi dari buku tersebut. Begitu membuka, saya
menemukan pada bab pertama ada tulisan berjudul The Quest, kemudian anak bab
pertamanya berjudul, “Two Ways of Looking Life”. Pada buku itu diceritakan
bagaimana manusia biasanya melihat perkara menjadi dua cara pandang, yaitu optimisme
dan pesimisme.
Saya terhenti pada deret kalimat tersebut....
“Dua sudut pandang...”
Hanya sampai halaman daftar isi, saya menutup buku itu. Dan
seketika satu pikiran menghantam benak saya.
Bagaimana dengan muslim? Cara pandang apa yang dimiliki oleh kaum
muslimin ketika melihat takdir yang menimpa kita?
Bagi muslim, cara melihat hidup itu hanya satu. Tidak ada lainnya. Hanya satu. Optimisme.
Yaitu segala sesuatu yang menimpa kaum muslim adalah kebaikan! Tidak
ada yang lain.
Sungguh, teori ini. Sudah lebih dulu dari pakar psikologis yang
menemukan teori tentang optimisme. Mengalahkan teori tentang resiliensi dan
pakar tentang kebahagiaan.
Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
عجبًا لأمرِ المؤمنِ . إن أمرَه
كلَّه خيرٌ . وليس ذاك لأحدٍ إلا للمؤمنِ . إن أصابته سراءُ شكرَ . فكان خيرًا له
. وإن أصابته ضراءُ صبر . فكان خيرًا له
“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang
beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini
hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan
bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia
akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”[ HSR Muslim (no. 2999)].
Begitulah renungan singkat yang
saya dapatkan kemarin. Saya kemudian secara total menutup buku itu dan
memasukkannya ke dalam tas karena harus menghadiri sebuah launching
Kepengurusan Keluarga Muslim Psikologi 1437 H. Kesadaran yang baru saja Allah
ingatkan kembali lewat perantara buku itu membersamai langkah dan perasaan saya
sore itu, yaitu muslim hanya punya satu sudut pandang, apapun yang terjadi padanya
adalah kebaikan. Tinggal kita mainkan sabar dan syukurnya. Kesadaran itu masih
hangat ketika saya sampai di ruang tempat launching diselenggarakan.
Rupanya Allah masih sekali lagi berbaik
hati menguatkan ibrahNya hari itu kepada saya. Saya dibawa untuk menghadiri
sebuah kajian yang dibawakan oleh Ustadz Fadhil Reza (Abah Lilik), Allah
perantarakan ibrahNya lewat beliau. Dan saya kembali memunguti dengan gemetar
hikmah-hikmah yang terserak di sore hari itu, yang menguatkan kesadaran saya,
hidup bagi muslim hanya punya satu sudut pandang. Sudut pandang kebaikan.
Dan kesadaran itu, sungguh banyak
yang lupa. Ah, manusia memang pelupa.
Sore itu, saat matahari beranjak
kembali ke peraduan, saya diajak untuk merenungi makna hamdalah. Bahwa alhamdulillahirrobbil’alamin
itu bukan hanya kalimat syukur, namun sebuah gaya hidup. Syukur dan sabar
adalah gaya hidup. Sebab, bagaimanapun kondisi kita,” Alhamdulillahirrobbil ‘alamin”
lah yang kita ucapkan, tanamkan, resapi. Bukan hanya dengan gerak bibir, namun
dengan hati dan bahasa tubuh. Selain itu, sebelum kalimat Alhamdulillah, di
surat al-fatihah, ada satu ayat yang diletakkan khusus di ayat pertama surat
al-fatihah, yaitu sebuah lafadz basmallah. Bismillahirrohmanirrohin. Dengan
Asma Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, kita pasti bisa dan bahagia!
Karena kita tidak usah berpusing-pusing ria hingga cemas dan depresi bagaimana
hasil proses kita, karena kepada Allah semata kita berserah diri. Dan ketika
Allah memudahkan, tak ada selainNya yang bisa menghalangi. Jika Allah
mengehendaki kemudahan, kun fayakun, tiada kesulitan yang mampu menahannya.
Dan saya hari itu pulang dengan penuh
syukur bahwa Allah masih berkenan memberi saya oleh-oleh sekeranjang hikmah di
dada saya. Hangat rasanya.
Alangkah indah perkara kita,
wahai kaum muslimin. Alangkah syahdunya pemahaman itu jika diletakkan selalu
dalam pola pandang, pola sikap dan perilaku kita.
Mari tersenyum dan bahagia. Allah
tak kemana. Dia ada bersama kita. BersamaNya insha Allah langkah kita lebih
bermakna.
Jum’at Barakah. 19 Februari 2016
Fakhirah Inayaturrobbani
Koordinator Research and Discussion (R&D),
Islamic Psychology Learning Forum (IPLF) UGM
Comments
Post a Comment