MITOS GEO-POLITIK
9 Mitos Geopolitik
Geopolitik biasanya diartikan sebagai hubungan dan kaitan antara
kekuatan politik dan posisi geografis. Doktrin geopolitik mulai menarik
perhatian sejak dipopulerkannya karya
Sir Halford Mackinder di Inggris tentang Teori Heartland di tahun 1914, yang merujuk kepada masa Imperium Inggris dengan menunjukkan pentingnya kekuatan angkatan laut dalam konflik dunia.
Sir Halford Mackinder di Inggris tentang Teori Heartland di tahun 1914, yang merujuk kepada masa Imperium Inggris dengan menunjukkan pentingnya kekuatan angkatan laut dalam konflik dunia.
Ketika politik melihat pada penggunaan kekuatan, geopolitik meliat
kekuatan dalam hubungannya dengan tempat dan sumber daya. Dunia Barat yang
telah mendominasi geopolitik sejak awal abad ke20, melahirkan berbagai mitos
yang beberapa diantaranya tersembunyi problema kronis. Sebagai muslim yang
tercerahkan, kita harus memahami situasi politik global, tidak hanya sebagai
alat untuk membela umat dan agama, tetapi juga untuk membongkar kelemahan dunia
Kapitalis Barat.
Berikut mitos-mitos tersebut:
1. Populasi Dunia telah terlalu banyak (overpopulated)
Pertumbuhan populasi yang meningkat sering dituding sebagai sebab
langkanya pangan. Kesimpulan ini diyakini sebagai sebab adanya kemiskinan,
kerusakan lingkungan, dan konflik sosial kemasyaratan. Pembangunan ekonomi di
dunia ketiga tidak akan berhasil apabila angka pertumbuhan populasi tidak
dikontrol. Itu sebabnya lembaga internasional dan pemerintahan mengembangkan
dan menerapkan strategi untuk mengontrol angka pertumbuhan di dunia ketiga.
Meledaknya angka populasi ini dinamai ‘over’ yang berimplikasi pada penggunaan
sumber daya yang habis-habisan untuk menunjang besarnya pertumbuhan populasi
tersebut dan mengakibatkan ketidakstabilan global.
Ketika asumsi-asumsi tersebut dicermati, maka tampaklah bahwa
populasi bukanlah kambing hitam yang selama ini dipercaya, namun justru agenda
politik yang menyebabkan bencana dibanyak belahan dunia. Agenda ini bermaksud
untuk mengalihkan masyarakat awam dari faktor penyebab yang sesungguhnya yaitu
gaya hidup, konsumerisme, pemiskinan, dan penindasan dunia ketiga oleh dunia
barat.
Negeri-negeri maju seperti Jepang, Rusia, Jerman, Swiss dan Eropa
Timur saat ini mengalami dilemma seperti menurunnya tingkat pertumbuhan
penduduk karena rendahnya angka kelahiran. Negara2 di Barat lainnya juga pasti
akan mengalami penurunan populasi kalau saja tidak adanya imigrasi dari
penduduk negeri lainnya. Menurunnya jumlah penduduk di Barat dibandingkan
dengan negeri-negeri lain seperti negeri dunia Islam, menyebabkan penduduk di
negeri muslim memiliki hak suara yang lebih tinggi dalam percaturan kelembagaan
internasional karena populasinya yang meninggi. Dan isu tentang jumlah populasi
ini sering digunakan untuk menjatuhkan negeri yang berpopulasi besar sehingga
bisa mengurangi ancaman pengaruh dari negeri tersebut di masa mendatang.
Contohnya, Turki. Kalau saja Turki bisa masuk ke dalam keanggotaan Uni Eropa,
jumlah penduduk Turki sebesar 70 juta jiwa adalah jumlah kedua terbesar di
parlemen Eropa. Lebih jauh lagi, demografi Turki akan menyalip Jerman dalam
jumlah perwakilan di parlemen Eropa pada tahun 2020. Keanggotaan Turki juga
akan mempengaruhi arah masa depan Uni Eropa seperti rencana perluasan, sebagai
dasar penolakan Valery Giscard d’Estaing dari Perancis terhadap masuknya Turki
ke Uni Eropa [1]. D’estaing mengatakan bahwa masuknya Turki akan berlanjut pada
keinginan Maroko untuk ikut bergabung pula.
Maka, dunia ini sebetulnya tidak atau belum mengalami ledakan
populasi (overpopulated). Hanya Dunia Barat saja yang rakus.
2. Intervensi barat terhadap konflik Balkan di tahun 1990an adalah
untuk menolong umat Islam
Serangan NATO pada Yugoslavia di tahun 1993 sering ditampilkan
dunia barat sebagai akibat keraskepalanya rezim Yugoslavia untuk menerima
rencana perdamaian – terutama pada penolakan Yugoslavia terhadap masuknya
pasukan pemelihara perdamaian di Kosovo. Intervensi barat yang berujung pada
pemboman beruntun terhadap Yugoslavia oleh NATO selalu dijadikan bukti oleh
NATO bahwa ‘Perang melawan Teror’ saat ini bukanlah perang melawan Islam.
Sebab, dunia Barat menyatakan bahwa ia akan menyerang siapapun demi misi
kemanusiaan, bahkan kalau perlu ‘menyelamatkan’ muslim Kosova dari kebengisan
Yugoslavia di tahun 1993. Kenyataan geopolitik sebenarnya tidak seperti itu.
Ketidakstabilan Balkan di tahun 1990an sebenarnya dipicu oleh keinginan kuat
oleh Amerika untuk mengurangi pengaruh Rusia, menaikkan ketergantungan eropa
pada AMerika, dan memberikan legitimasi baru pada NATO, yang telah kehilangan
fungsi sejak berakhirnya Perang Dingin (runtuhnya Uni Sovyet dan Pakta
Warsawa).
Negeri Barat terutama AS dan Inggris berusaha keras untuk memecah
Yugoslavia, yang terungkap oleh kata-kata dubes AS untuk Yugoslavia Warren
Zimmerman pada bulan Januari 1992 sebelum pecahnya konflik sebagai ‘usaha kita
untuk memecah Yugoslavia menjadi negeri-negeri kecil.”[2] Pada tanggal 18 Maret
1992, Uni Eropa mensponsori usaha perdamaian di Lisbon yang melibatkan Muslim
Bosnia, Kroasia, dan Serbia untuk memecah Yugoslavia menjadi kantong-kantong
negeri independen berbasis etnis atau agama, yang bersatu dalam bentuk semacam
federasi. Usaha perdamaian ini disabotase oleh AS dengan mendesak Presiden
Alija Izetbegovic untuk mendeklarasikan kemerdekaan dengan dasar ‘referendum 1
Maret.’ Jose Cutileiro, sekjen Uni Eropa mengkonfirmasi bahwa ‘Presiden Alija
Izethbegovic dan pembantunya memang telah disokong untuk menolak usaha
perdamaian dan berjuang untuk untuk menyatukan Bosnia oleh diplomat Barat.”
Inilah pemicu perang sipil Bosnia.
Kini, tidak kurang dari 11 ribu pasukan ditempatkan di Bosnia,
Kosovo, dan Macedonia untuk menjaga perdamaian. Namun lebih dari itu, untuk
menjaga kepentingan AS. Bekas wakil rakyat AS, Lee Hamilton berkomentar pada
harian New York Times bahwa ‘kita telah mengontrol sepenuhnya daerah
semenanjung Balkan. Pejabat AS telah mengambil alih kegiatan kenegaraan di
wilayah bekas Yugoslavia. Kita berperan lebih dari sekedar diplomat.” Karen
Talbot, ahli geopolitik mengkonfirmasi bahwa ‘kerja keras AS dan NATO untuk
menduduki Kosovo dan praktisnya keseluruhan Yugoslavia dipicu oleh kekayaan
sumber daya alam. Kosovo sendiri kaya dengan aneka tambang di belahan eropa
bagian barat Rusia. Menurut New York Times, ‘daerah pertambangan Trepca, daerah
terkaya di semenanjung Balkan, bernilai kurang lebih 5 bilyun dolar. Daerah
tersebut kaya dengan emas, perak, timbal, zinc, kadmium yang menghasilkan
keuntungan sebesar jutaan dolar per tahunnya.” Kosovo juga memiliki 17 bilyun
ton cadangan batubara dan minyak bumi [3]. Presiden Clinton, secara tidak
sengaja, kelepasan berbicara,’klaau kita ingin posisi ekonomi yang kuat di
dunia, Eropa adalah kuncinya, dan ini terletak di Kosovo sebagai sumber
utamanya.” [4].
Sejak berakhirnya pemboman, banyak sekali pangkalan militer AS di
Balkan. Salah satunya terletak di Kosovo, yang diperkirakan sebagai terbesar
sejak Perang Vietnam. Dominasi AS pada NATO berarti intervensi NATO di Balkan,
yang akhirnya memperkuat pengaruh AS di wilayah tersebut. Bocoran dokumen
Pentagon masa 1994-1999 menunjukkan laporan Rencana Pertahanan yang menyarankan
agar AS ‘harus mencari jalan untuk menghalangi bangkitnya Eropa (pendirian
pakta pertahanan yang hanya terdiri dari negeri2 eropa saja tanpa keanggotaan
AS), yang bisa menihilkan peran NATO… Maka sangat penting untuk mempertahankan
eksistensi NATO sebagai satu-satunya sistem pertahanan dan keamanan di Eropa,
dan juga berfungsi sebagai alat AS untuk memberikan pengaruh dan partisipasi
dalam mencampuri urusan internal keamanan Eropa.”
Ini semua menunjukkan bahwa ancaman pengaruh Rusia, adanya
cadangan minyak di laut Kaspia, dan revitalisasi NATO (untuk mempertahankan
pengaruh AS) adalah tujuan-tujuan sebenarnya dari kebijakan geopolitik AS dan
intervensi Barat umumnya. Bahwa ribuan jiwa harus melayang demi tercapainya
tujuan tersebut adalah harga yang AS tidak akan pernah ragu untuk membayarnya
demi kelanggengan dominasinya di Eropa.
3. Dunia akan segera kehabisan minyak
Persaingan untuk meraih supremasi kekuasaan antara Jerman dan
Inggris pada awal abad ke 20 memaksa kedua negara tersebut berlomba mencari
bahan bakar pengganti batu bara untuk menjalankan mesin perang. Ditemukannya
ladang minyak di Timur Tengah di tahun 1920an memicu berawalnya abad teknologi
baru, perubahan tatanan masyarakat dan berpindahnya keseimbangan kekuatan
global.
Pada akhirnya, bahan baker berbasis fosil akan habis. Hingga
berakhirnya abad ke 20, kemungkinan habisnya minyak belum dibahas karena masih
banyak cadangan minyak yang belum ditemukan. Teknologi untuk menyalakan pesawat
tempur, tank, dan mobil masih dirancang untuk menggunakan bahan bakar fosil,
terlepas dari tingginya harga minyak.
Puncak produksi minyak terjadi ditahun 1970an dimana separuh dari
cadangan minyak yang ada telah terkonsumsi. Namun kenyataan ini tidak begitu
diindahkan pada masa tahun 1970an. Kini, semua dunia khawatir bahwa minyak akan
segera habis, suatu fakta sumber kepusingan geopolitik. Tanpa syak lagi, isu
habisnya minyak bumi sebenarnya adalah penanda isu politik yang jauh lebih
dalam.
Bahwa dunia akan segera kehabisan minyak adalah alasan Barat untuk
menutupi kerakusannya. Ketika beberapa negara mulai panik mencari minyak, maka
terbukalah borok barat dalam hal konsumsi minyak ini. Dunia Barat telah
mengkonsumsi 50% dari sumber daya alam terpenting abad ke 21, tapi hanya
memproduksi kurang dari 25% saja. Kerakusan Barat ini jauh melampaui kebutuhan
Cina dan India terhadap energi. Khususnya, AS hanya memproduksi 8% minyak,
namun mengkonsumsi 25% jumlah minyak yang ada.
Ketika konsumsi AS meningkat, maka kompetisi untuk meperebutkan
sumber energi akan semakin ketat. Ini yang menyebabkan tanah dunia Islam
semakin penting, terutama Iraq, untuk diduduki demi minyak.
4. Dunia Ketiga menjadi miskin karena tidak cukupnya jumlah pangan
di dunia
Banyk sekali organisasi yang telah meneliti sebab musabab
kemelaratan seperti kurangnya sumber daya alam, efek cuaca lokal, hingga
kurangnya penerapan demokrasi. Prinsipnya tidak ada semacam persetujuan
dikalangan ahli sosiologi dan lembaga penelitian mengenai penyebab utama
kemiskinan dan kemelaratan. Anehnya, semua sepakat, bahwa jalan keluarnya
adalah penerapan kapitalisme dan adanya pasar bebas. Padahal kalau saja kita
lihat secara umum situasi negara dunia ketiga, umumnya, dan negara dunia islam,
khususnya, beberapa faktor berikut adalah penyebab utama pemiskinan yang ada
sekarang.
Fungsi IMF dan Bank Dunia dengan kebijakan perubahan strukturalnya
yang terkenal telah menyengsarakan negeri klien seperti Pakistan, Turki,
Indonesia, Bangladesh dan Mesir. Solusi yang diberikan lembaga keuangan
internasional tersebut awalnya diperkirakan akan menyelamatkan negara-negara
tersebut adalah dengan metoda perdagangan. Kenyataannya banyak sekali kendala
yang dipasang oleh negara-negara maju supaya negara-negara berkembang tidak
akan pernah bisa berkembang. Artinya, barang-barang yang diproduksi
negara-negara maju harus diimpor oleh negara miskin. Memang teorinya sederhana,
bahwa perdagangan akan meningkatkan kesejahteraan negara miskin. Itu sebabnya
sektor swasta dilihat sebagai kunci pemicu pertumbuhan ekonomi dan penghilangan
kemiskinan.
Contohnya, Pakistan membutuhkan investasi di bidang kesehatan,
pendidikan dan infrastruktur sebelum ia mampu berkompetisi secara global.
Namun, IMF dan Bank Dunia justru menyuruh pemerintah Pakistan untuk mengurangi
subsidi di bidang-bidang diatas dan meningkatkan fokus ke arah ekspor. Kedua
lembaga keuangan tersebut menyuruh Pakistan untuk berkompetisi melawan sektor
swasta internasional yang jauh lebih kuat. Itu sebabnya, pertumbuhan ekonomi
Pakistan malah semakin terpuruk.
Afrika juga dipaksa untuk untuk membayar hutang, sebagaimana
terjadi semasa kolonial dulu. Hutang Afrika terjadi secara semena-mena dengan
pemberian hutang bilyunan dolar dengan bunga yang sangat tinggi. Hutang Afrika
juga termasuk hutang yang diberikan negara maju semasa pemerintahan diktator,
dimana dana pinjaman itu dihamburkan dengan sepengetahuan negara-negara
donor/pemberi hutang. Afrika Selatan, contohnya, mewarisi hutang semasa
apartheid sekitar 46 bilyun dolar. Pemerintahan baru Afrika Selatan yang
berkuasa setelah Apartheid berakhir, dipaksa untuk membayar hutang masa lalunya
(atau hutang yang digunakan untuk membiayai penindasannya sendiri). Di tahun
1998 ACTSA (Gerakan Afrika Selatan) memperkirakan bahwa hutang sebesar 18
bilyun dolar digunakan untuk membiayai kebijakan apartheid dan 28 bilyun dolar
adalah hutang yang ditanggung negara-negara tetangga afrika selatan untuk
membiayai program untuk menghadapi destabilisasi atau imbas dari kebijakan
apartheid, dimana berkisar sekitar 74% dari total hutang Afrika.
Situasi dunia Islam berasal dari penjajahan dan direkam dengan
baik oleh David Fromkin, Profesor ahli Sejarah Ekonomi di Universitas Chicago.
Ia bertutur,”Kekayaan luarbiasa dari Khilafah Uthmaniy telah dikuasai oleh
pemenang perang. Namun orang tidak boleh lupa, bahwa kekhilafahan islam telah
berusaha selama berabad-abad untuk menguasai Eropa Kristen. Maka tidak heran,
apabila para pemenang perang akan memastikan agar khilafah tidak bisa
terorganisir kembali, apalagi bangkit untuk mengancam Eropa kembali. Dengan
pengalaman merkantilis yang lama, Inggris dan Perancis menciptakan
negara-negara yang tidak akan pernah stabil dimana para penguasanya akan selalu
tergantung dari negara lain supaya bisa tetap berkuasa. Maka pembangunan di
negara-negara ciptaan kolonial akan selalu dimonitor dan dipastikan agar tidak
mampu menjadi ancaman bagi Barat lagi. Kekuatan asing pun membuat kontrak dengan
para penguasa boneka untuk menghisap kekayaan alam negara mereka, hingga
keluarga raja menjadi semakin kaya sedangkan rakyatnya justru semakin
terlantar.” [5].
Negara berkembang akan selalu menjadi miskin akibat kebijakan
negara Barat. Jelasnya, bukan karena kekurangan pangan tetapi justru oleh
konsumsi yang berlebihan oleh masyarakat Barat (yaitu sekitar 20% dari populasi
dunia), namun menghabiskan 80% dari produksi pangan.
5. PBB menegakkan hukum internasional untuk mengatur hubungan dan
menyelesaikan konflik internasional
PBB didirikan ditahun 1945 untuk ‘menyelamatkan generasi berikut
dari derita peperangan.” Sejak itu, tidak kurang 250 konflik tercetus yang
membuktikan kegagalan PBB dalam meraih tujuan didirikannya. Barat, dan juga
para pembuat kebijakan dunia ketiga, melihat PBB sebagai institusi netral
(tidak bias) yang terdiri dari 200 negara anggota, yang menjunjung tinggi nilai
internasional, aksi multilateral, demokrasi, pluralisme, sekularisme, kompromi,
dan hak asasi manusia.
Padahal, PBB sebenarnya adalah alat eksploitasi yang terlihat dari
struktur organisasinya yang membiarkan penindasan yang dilakukan oleh kekuatan
kolonial yang kini menjadi anggota tetap Dewan Keamanannya. Banyak peristiwa
yang menunjukkan kelemahan PBB, seperti invasi Irak, penerapan hukum secara
selektif pada Israel, kegagalan pembantaian muslim di Sebrenica, dan
pembersihan etnis di Rwanda.
Pada dasarnya, PBB adalah organisasi internasional dimana 5
anggota tetap Dewan Keamanan telah menggunakan PBB sebagai alat kebijakan
luarnegeri mereka. Bahkan apa yang disebut Hukum Internasional sebenarnya tidak
pernah ada. Yang ada hanyalah etika internasional. Kalaupun hukum internasional
harus ada, ia memerlukan perangkat penegak hukum yang bersifat global atau
supernasional. Karena kita tahu bahwa perangkat ini juga tidak ada, maka bisa
dilihat bahwa hukum internasional baru digembar-gemborkan oleh negara-negara
tertentu ketika sesuai dengan kepentingan masing-masing (neo-realisme) (cf.
Waltz. K. 1979. ‘A Theory of International Politics’).
6. Dunia ketiga harus meliberalisasi ekonominya supaya berkembang
Dalam tiga abad terakhir, Kapitalisme telah mendominasi
pembangunan internasional dan memonopoli perkembangan ekonomi serta memaksa
diterapkannya kebijakan-kebijakannya pada dunia. Macan ekonomi Asia seperti
Cina, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hongkong sering dikutip sebagai
contoh sukses negara yang mengadopsi liberalisme sehingga berhasil meraih
kemajuan. IMF dan Bank Dunia memproklamirkan industrialisasi dan ide ekonomi
liberal akan mentransformasi ekonomi tradisional dan masyarakat. Pengaruh
seperti ini akan menetapkan negara-negara miskin dalam jalur perkembangan
sejalan dengan pengalaman negara-negara maju semasa revolusi industri dulu.
Kemiskinan adalah fakta yang ada pada mayoritas penduduk dunia. 3
bilyun jiwa hidup dibawah 2 dolar per hari, sedangkan 1,3 bilyun jiwa lainnya
hidup kurang dari 1 dolar per hari. 1,3 bilyun jiwa hidup tanpa air bersih, 3
bilyun jiwa hidup di lingkungan yang tidak sehat dan 2 bilyun jiwa tidak
memiliki akses penggunaan listrik. Liberalisme justru menjadi sebab ketimpangan
kesejahteraan dan pemiskinan bagi mayoritas penduduk dunia. Banyak sekali
survei yang menunjukkan bahwa liberalisme adalah biang kemelaratan. Tanggal 7
Desember 2006 adalah hari diluncurkannya laporan internasional yang dikeluarkan
oleh Institut Global untuk Penelitian Perkembangan Ekonomi milik PBB. Hasilnya
cukup mencengangkan bahwa penduduk dunia yang kaya (sekitar 1% dari total
penduduk bumi) menguasai 40% dari asset kekayaan dunia dan 10% dari populasi
dunia menguasai 85% dari total asset dunia [6].
Liberalisme telah dan akan terus membiarkan dunia barat untuk
menghisap kekayaan dunia ini. Liberalisme juga tidak akan pernah berpihak pada
dan menaikkan derajat kaum miskin, dan justru menjadi alat pemiskinan. Maka
penerusan kebijakan ekonomi liberal di dunia ketiga adalah biang kemelaratan
yang berkelanjutan.
7. Pemanasan global akibat pembangunan Cina dan India
Pemanasan global dan perubahan cuaca berarti penambahan suhu
rata-rata secara global.
Global warming and climate change refer to an increase in average global temperatures. Kejadian alam dan aktifitas manusia diduga sebagai kontributor perubahan suhu secara global. Hal ini terjadi karena adanya “efek rumah kaca” dimana naiknya suhu diakibatkan terperangkapnya jenis gas di atmosfir tertentu seperti karbon dioksida (CO2).
Global warming and climate change refer to an increase in average global temperatures. Kejadian alam dan aktifitas manusia diduga sebagai kontributor perubahan suhu secara global. Hal ini terjadi karena adanya “efek rumah kaca” dimana naiknya suhu diakibatkan terperangkapnya jenis gas di atmosfir tertentu seperti karbon dioksida (CO2).
Setiap beberapa tahun, ilmuwan bidang cuaca pada Panel Antar
Pemerintah tentang Perubahan Suhu (IPCC) milik PBB mengeluarkan laporan yang
menjelaskan secara detil perubahan cuaca yang terjadi. Secara garis besar,
laporan ini menyarankan adanya penurunan emisi. Panel ini terdiri dari ratusan
peneliti dunia. Di awal tahun 2007, IPCC telah mengeluarkan laporan ke 4 yang
menyimpulkan bahwa mereka semakin yakin bahwa aktifitas manusia adalah penyebab
kenaikan suhu “Pemahaman tentang pemanasan dan penurunan suhu mulai lebih baik
sejak laporan Third Assessment Report (Evaluasi Ke3), yang memberikan keyakinan
bahwa aktifitas manusia sejak taun 1750 memberikan efek perubahan cuaca yang
cenderung memanas.” Definisi tentang ‘keyakinan’ merujuk ke tingkat kepastian
hingga 90% tepat (di tahun 2001, baru 66% tepat).
Dari segi sejarah emisi, negara-negara industrialis berkontribusi
terhadap 80% dari total terperangkapnya CO2 di atmosfir. Sejak tahun 1950, AS
telah mengeluarkan emisi sebesar 50,7 bilyun ton karbon, sementara Cina (yang
penduduknya 4,6 kali lebih banyak dibanding AS) dan India (yang populasinya 3,5
kali lebih banyak) mengeluarkan hanya sekitar 15,7 dan 4,2 bilyun ton, secara
berurut. Tiap tahun lebih dari 60% emisi industri global berasal dari
negara-negara industri, dimana hanya memiliki 20% populasi penduduk dunia.
Mayoritas pertumbuhan emisi di dunia maju berasal dari pesatnya
industralisasi sejak era revolusi industri. AS dengan ekonomi senilai 14
trilyun dolar adalah sumber polusi terbesar dan selalu mengelak untuk turut
serta dalam perjanjian penurunan emisi global. Pengurangan emisi bagi dunia
Barat adalah pengurangan produksi yang bisa menghancurkan industri mereka.
Pengurangan konsumsi bagi dunia barat ibarat praktik syirik bagi umat Islam.
Demikian pula, tingkat konsumsi bahan bakar fosil di dunia maju jauh lebih
besar ketimbang negara berkembang. Berkurangnya sumber daya alam tidak
terbarukan adalah akibat konsumsi AS yang besarnya 5 kali lipat dari semua
negara-negara lainnnya.
Pemanasan global adalah akibat industralisasi dunia Barat yang
hanya terpaku pada kenaikan untung. Meskipun sudah ada teknologi yang mengarah
kepada emisi yang bersih, harganya masih mahal dan tidak laku dijual. Cina dan
India baru tumbuh dalam 20 tahun terakhir dan pemanasan global sudah terjadi
sebelumnya. AS yang getol mengkambinghitamkan Cina dan India adalah usahanya
untuk meredam laju pertumbuhan kedua negara tersebut.
8. Umat Muslim dunia tidak menginginkan Islam
Selama bertahun-tahun, Barat selalu mengatakan bahwa muslim di
seluruh dunia menginginkan demokrasi dan kebebasan ketimbang Islam. Mereka juga
mengatakan bahwa hanya kaum minoritas muslim saja seperti di Pakistan dan
Afganistan yang menginginkan Islam sedangkan mayoritas umat Islam mengagumi
dunia barat dan ingin hidup dibawah naungan kapitalisme. Namun kini, adalah
kaum muslim modernis yang menyatakan bahwa dunia muslim tidak ingin Islam dan
tidak akan pernah siap untuk Islam. Ironisnya, Barat malah mulai menyadari
bahwa ternyata islamlah yang dirindukan oleh umat muslim dan Barat berjuang
keras untuk menghadapi setiap kemungkinan ancaman kebangkitan Islam.
Dewan intelijen nasional (NIC) AS telah merilis laporan Global
Proyek 2020 yang bertema ‘Pemetaan Masa Depan Global.’ NIC adalah masyarakat
intelijen AS yang berfungsi sebagai pusat penelitian strategis jangka menengah
dan panjang, diantaranya membuat skenario yang akan dihadapi dunia pada tahun
2020. Laporan mereka menyimpulkan bahwa daya tarik Islam saat ini adalah seruan
untuk kembali ke sumber keaslian islam yang telah melahirkan peradaban islam di
masa lalu dan yang akan membawa perubahan substansial di masa datang dibawah
kepemimpinan umum Khilafah Islamiyah. Laporan ini juga menggambarkan skenario
fiktif bagaimana pergerakan global yang dimotori oleh ‘identitas radikal
keagamaan akan bangkit’ [7]. Lebih jauh lagi, pemerintahan AS telah menyiapkan
perencanaan yang matang untuk menghadapi Khilafah di masa mendatang. Banyak
lagi laporan dari lembaga lain dari AS sendiri yang mengakui bahwa pergerakan
ideologis untuk mengembalikan Khilafah memiliki simpatisan yang mengakar secara
global.
CIA juga sudah membangkitkan program intel semasa perang dingin
lalu untuk mulai membidik media muslim, ulama, dan partai politik Islam. CIA
juga menerima dukungan dana, sumber daya manusia dan asset lainnya secara
eksponensial untuk mempengaruhi masyarakat muslim di seluruh dunia.
Di saat yang sama, banyak survey, laporan penelitian dan pengakuan
pembuat kebijakan bahwa muslim secara global telah menolak nilai Barat. Ini
artinya suatu kegagalan kolosal padahal Barat saat ini berada dalam posisi
sebagai penguasa adidaya tunggal. Maka perang untuk memikat hati dan pikiran serta
penguasaan wilayah negeri muslim adalah usaha-usaha mati-matian untuk
menghambat bangkitnya sistem pemerintahan alternatif (yaitu khilafah). Lebih
jauh lagi, ini menunjukkan umat Islam mungkin tidak lama lagi akan meraih
cita-citanya untuk kembali kepada Islam.
9. Israel tidak pernah terkalahkan dan terbukti dengan
kemenangannya di 4 perang, maka dunia islam harus menerima kenyataan ini bahwa
keberadaan israel adalah suatu keniscayaan.
Sejak berdiri di tahun 1948, Israel dan militernya selalu diliputi
mitos sebagai kekuatan yang tak terkalahkan. Menariknya, mitos tersebut tidak
dimotori oleh Israel sendiri tapi justru oleh para pemimpin pengkhianat yang
menguasai umat Islam.
Kinerja militer Israel pada perang 1948, 1956, 1967, dan 1973
melawan umat Islam sering dikutip sebagai superioritas militer Israel.
Implikasinya, konflik melawan Israel secara langsung sering dianggap oleh
negara-negara Arab sebagai strategi yang tidak menguntungkan, sehingga mereka
terpaksa untuk bernegosiasi dengan Israel. Konsekuensi dari negosiasi tentunya
adalah pengakuan terhadap kedaulatan dan keberadaan Israel melalui proses
perdamaian. Dalam merangkum fakta kekuatan militer Israel, kita perlu mengingat
pertanyaan penting: Apa tujuan pembuatan dan penyebaran mitos ini?
Perang 1948- Pendirian Israel
Perang 1948 berujung pada pendirian negara Israel. Secara sekilas,
sulit dipahami bagaimana mungkin 40 juta penduduk Arab tidak mampu menundukkan
600,000 orang Yahudi. Studi mendalam menunjukkan bahwa pembelaan terhadap nasib
palestina justru melahirkan pendirian Israel itu sendiri.
Pembelaan terhadap Palestina diwakili terutama oleh Raja Abdullah
dari Yordania Raya, Raja Farook dari Mesir, dan Mufti Palestina, dimana
semuanya adalah penguasa muslim yang lemah dan dimanipulasi oleh Inggris. Raja
Abdullah yang dipandang sebagai pembela rakyat Palestina, sejatinya adalah
kebohongan. Telah diketahui bahwa dia dan Ben Gurion (Perdana Menteri Israel
Pertama) adalah sesama teman semasa belajar di Istanbul dan dalam pertemuan
rahasia, Abdullah (yang kemudian menjadi penguasa Yordania) telah mengakui
keberadaan Israel dan mendapat imbalan untuk menguasai wilayah yang dihuni
mayoritas bangsa Arab Palestina.
Abdullah memiliki Legiun Arab, suatu unit militer yang terdiri
dari 4500 prajurit terlatih yang dipimpin oleh perwira Inggris bernama Jendral
John Glubb. Dalam biografinya, Glubb mengatakan bahwa dia diperintah secara
tegas untuk tidak memasuki daerah yang dikontrol oleh Yahudi. Mesir juga justru
memperlemah serangan terhadap Israel ketika Nakrashi Pasha, perdana menteri
Mesir justru mengirim tentara relawan yang baru saja diorganisir di bulan
Januari pada tahun itu. Yordania juga memperlambat kedatangan pasukan Irak yang
memasuki wilayahnya sehingga serangan terhadap Israel pun dimentahkan. Ini
sebabnya ketika seorang Ulama yang buta matanya dihadirkan untuk mengangkat
semangat Legiun Arab, Ulama tersebut mempermalukan Raja Abdullah ketika sang
ulama berkata,’ Wahai Tentara! Andai saja kalian adalah Tentara Kami!” (ini
menunjukkan bahwa tentara Legiun Arab sebenarnya tidak lain adalah tentara
Inggris).
Meskipun satuan tempur Muslim berjumlah 40 ribu serdadu, hanya 10
ribu saja yang terlatih baik. Sementara itu kekuatan Zionis Israel terdiri dari
30 ribu tentara, dimana 10 ribu orang untuk pertahanan lokal dan 25 ribu
lainnya untuk penjagaan wilayah. Disamping itu sekitar 3000 teroris Irgun dan
Stern memiliki senjata lengkap dari AS dan Inggris. Meski tentara Israel memang
terlatih, pengkhianatan penguasa muslimlah yang justru memastikan kemenangan
Yahudi di Palestina.
Krisis Kanal Suez tahun 1956
Konflik ini sebenarnya bukan bertujuan untuk membebaskan palestina
namun adalah konflik antara Inggris melawan AS untuk mengontrol kanal Suez.
AS melihat Mesir sebagai sekutu strategis demi menancapkan pengaruh
di Timur Tengah. Dengan CIA, AS mengatur penjatuhan rezim Pro Inggris Raja
Farook pada tahun 1952 dengan menaikkan perwira militer yang dipimpin oleh
Jamal Abdul Nasser. CIA melakukan proyek yang dikenal sebagai proyek ‘Mencari
Muslim ala Billy Graham’ di tahun 1951. Mike Copeland, intel CIA merilis
informasi rahasia di biografinya pada tahun 1989 yang berjudul The Game Player
yang menceritakan kisah sukses CIA dalam mengkudeta boneka Inggris raja Farook.
Copeland yang merancang kudeta ini mengatakan bahwa ‘CIA membutuhkan figur yang
kharismatik yang bisa mengendalikan dan membelokkan sentimen anti Amerika yang
tengah menggunung saat itu.’ Dia juga menjelaskan bahwa CIA dan Nasser berada
dalam perjanjian dengan Israel. Bagi Nasser, seruan perang terhadap Israel
tidaklah penting. Prioritas Nasser adalah menghentikan penguasaan Inggris
terhadap zone kanal Suez. Musuh Nasser adalah Inggris, bukan Israel.
Di tahun 1956, Nasser menjalankan perintah Amerika untuk
menasionalisasi Kanal Suez. Sebagai jawabannya, Inggris menarik Perancis dan
Israel untuk terlibat. Ini terlihat dari ungkapan sejarawan Corelli Barnett
dalam bukunya ‘Jatuhnya Kekuasaan Inggris’ , yaitu ‘Perancis memusuhi Nasser
karena Mesir membantu pemberontak Aljazair dan memiliki keterikatan emosi
dengan kanal Suez. Bukankah sejatinya adalah Perancis yang membangun kanal
Suez. Israel juga memiliki kepentingan melawan Nasser karena Fedayeen Palestina
yang menyerang Israel dan juga blokade Mesir terhadap selat Tiran.’ Maka Sir
Anthony Eden (Perdana Menteri Inggris) membuat rencana rahasia bersama Perancis
dan Israel [8]. Barnett mengatakan bahwa konflik dipicu ketika ‘Israel akan
menyerang Mesir dari semenanjung Sinai.’ Setelah itu ‘Inggris dan Perancis akan
memberikan ultimatum bagi semua pihak untuk menghentikan perang atau mereka
akan terjun dan terlibat demi melindungi Kanal Suez.’ [9]
AS dan Rusia lalu melakukan tekanan diplomatik terhadap Inggris
untuk mundur. Rusia secara langsung mengancam Paris dan London dengan serangan
nuklir. Tekanan internasional yang luarbiasa ini memaksa Inggris dan Perancis
untuk meninggalkan Mesir. Pemerintahan AS dibawah Eisenhower juga mengancam
Israel dengan sangsi ekonomi apabila Israel tidak mundur dari wilayah Mesir
yang ia duduki, suatu hal yang akan sangat merugikan Israel kalau ancaman ini
tidak diindahkan. Akhirnya, pemenang dari konflik ini tidak lain adalah AS yang
akhirnya berhasil mendominasi percaturan politik timur tengah.
Perang 6-Hari 1967
Ini adalah perang yang mewakili babak baru konflik antara Inggris
dan Amerika dalam persaingan untuk mengontrol Timur Tengah. Meskipun Inggris
telah kehilangan kuku di wilayah ini selama 11 tahun, ia masih memiliki
pengaruh yang cukup penting terutama dengan anteknya di Yordania, Syria, dan
Israel. Untuk melemahkan Nasser, Inggris berusaha menarik Israel dan menyeret
Mesir kedalam perang dimana Israel akan menguasai wilayah yang bisa dipakai
sebagai negosiasi dalam pertukaran tanah demi perjanjian damai. Pada tanggal 5
juni 1967, Israel melakukan penyerangan mendadak yang menghancurkan 60%
angkatan udara Mesir dan 66% pesawat tempur milik Syria dan Yordania.
Dari sisi Yordania, Isael berhasil menguasai Tepi Barat dan
Yerusalem Timur. Raja Hussein, sebelum perang dimulai, telah memposisikan
satuan tempurnya di wilayah yang jauh dari wilayah pertempuran. Dalam waktu 48
jam, Israel telah menguasai kota-kota di Tepi Barat dan sebagian besar serdadu
Yordania yang tewas ditembaki Israel, berada dalam posisi mengundurkan diri.
Disamping itu, Israel juga menguasai dataran tinggi Golan di hari ke 6.
Anehnya, saat berita jatuhnya dataran Golan ke tangan Israel dikeluarkan oleh
radio Syria, pasukan Syria justru jelas-jelas masih menguasai dataran Golan!
Israel juga menghantam boneka AS yaitu Nasser dengan menguasai Sharm al Sheikh
dan jalur perairan selat Tiran. Tujuan untuk melemahkan Nasser telah tercapai
sehingga membantu kepentingan Inggris. Israel berhasil menguasai daerah
tambahan dan bisa menggunakannya sebagai asset untuk tawar menawar di meja
perundingan, dimana status penguasaan tanah pada tahun 1967 selalu diangkat
ketimbang status pada tahun 1948.
used as a basis for negotiations rather then the status of 1948.
used as a basis for negotiations rather then the status of 1948.
Perang 1973: Pengkhianatan oleh Para Penguasa Muslim
Perang dadakan yang dicetuskan oleh Mesir dan Syria pada Oktober
1973 melawan Israel menunjukkan bahwa perang tersebut memiliki tujuan tertentu
dan tidak berhubungan untuk membebaskan Palestina, bahkan bukan juga untuk
membebaskan dataran tinggi Golan (yang sebenarnya ditujukan sebagai alat
perdamaian antara Syria dan Israel). Tujuan perang 1973 adalah untuk memperkuat
posisi Anwar Sadat dan Hafez al Assad, sebagai para pemimpin yang relatif baru
di masanya yang rawan untuk dikudeta secara militer. Khususnya Sadat, ia berada
dalam tekanan untuk menggantikan pemimpin kharismatik Nasser.
Mohammed Heikal, editor Al Ahram dari 1957 - 1974, yang
menyaksikan perang, mengungkapkan motif Anwar Sadat dalam bukunya ‘Jalan menuju
Ramadhan’ dimana ia mengutip perasaan Sadat hingga tercetusnya perang. Heikal
menulis bahwa Mohammed Fowzi, salah satu Jendral Mesir, mengatakan dengan
beranologi duel Samurai bahwa Mesir terjun ke dalam perang dengan menggunakan
–secara sengaja—pedang yang pendek. Artinya, Mesir memang memiliki tujuan atau
motif tertentu dengan melakukan perang secara terbatas.
Anwar Sadat memang tidak pernah berniat untuk berperang melawan
Israel terlalu lama. Itu sebabnya, ia justru mencari perdamaian dengan Israel
ketika pasukan Mesir berada di atas angin dalam pertempuran. Dalam 24 jam
pertama, pasukan tempur Mesir menghajar benteng Bar-Lev, yang
digembar-gemborkan sebagai pertahanan solid, dengan jumlah korban hanya 68
prajurit. Sementara itu 2 divisi Syria dan 500 tank menyapu dataran tinggi
Golan dan merebut kembali wilayah yang dikuasai Israel pada tahun 1967. Dalam
dua hari, Israel kehilangan 48 pesawat termpur dan 500 tank. Di tengah
peperangan, Sadat mengirim pesan pada presiden AS bahwa tujuan perang ini
adalah ‘perdamaian di Timur Tengah dan bukan perjanjian setengah-setengah.’
Lebih jauh lagi, kalau Israel bersedia melepaskan wilayah Mesir yang mereka
duduki, maka Mesir akan melakukan perjanjian damai dibawah PBB atau pihak yang
netral.
Maka meskipun, Sadat memiliki posisi diatas angin, ia justru ingin
bernegosiasi. Penolakan Sadat untuk terus melanjutkan pertempuran dan
meneruskan gelombang penyerangan terhadap Sinai, ternyata memberik kesempatan
pada Israel untuk memobilisir kekuatan dan merebut kembali wilayahnya dengan
bantuan AS. Konflik berakhir 25 Oktober setelah Israel melanggar perjanjian
gencatan senjata sebelumnya.
Semua perang melawan Israel menunjukkan bahwa penguasa Muslim
tidak pernah serius melawan Israel dan tidak pernah bertujuan untuk membebaskan
Palestina. Kemenangan Israel sebenarnya adalah mitos yang dipromosikan untuk
melemahkan semangat umat Islam. Pengkhianatan sebenarnya dilakukan oleh para
penguasa muslim yang berkolaborasi untuk membangun dan menyebarkan mitos
keunggulan Israel. Perang di dunia Arab menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim
tidak pernah disatukan dalam peperangan dalam satu tujuan: menghancurkan
Israel. Sebaliknya, setiap peperangan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu,
kecuali pembebasan Palestina dan penghapusan Israel. Maka tujuan dalam
mengancam Israel bukanlah tujuan hakiki, meskipun sebenarnya pasukan Arab memiliki
potensi yang luarbiasa.
Kesimpulan
Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang, dan ini juga terjadi
pada geopolitik. Banyak sekali mitos yang ada termasuk sebab-sebab terjadinya
perang dunia I dan II, dimana bertujuan untuk membodohi penduduk di Barat itu
sendiri. Superioritas militer AS pun tumbang di perang Iraq dan Afganistan,
demikian pula dipermalukannya Israel oleh Hizbullah pada perang Lebanon tahun
2006. Muslim harus selalu waspada bahwa meskipun situasi umat secara global
nampak sangat buruk, banyak dari gambaran-gambaran pesimis sebenarnya bisa
berubah dengan mudah.(Rusydan; www.Khilafah.com)
[1] “The ins and outs: The EU’s most effective foreign-policy
instrument has been enlargement. But how far can it go?” The Economist, March
2007, http://www.economist.com/research/articlesBySubject/displaystory.cfm?subjectid=682266&story_id=8808134
[2] US Ambassador Warren Zimmerman dalam wawacara dengan Croatian
daily Danas, 12 January 1992, dipublikasi ulang di at
http://www.emperors-clothes.com/interviews/nothing.htm
[3] Karen Talbot ‘Backing up Globalization with Military Might’
New World Order Onslaught, Covert Action Quarterly, Issue 68, Fall 1999,
diakses 22nd May 2008,
http://www.globalissues.org/Geopolitics/Articles/Backing.asp
[4] Benjamin Schwarz & Christopher Layne ‘The Case Against
Intervention in Kosovo,’ the nation, 19th April 1999, diakses 22nd May 2008,
http://www.thenation.com/doc/19990419/schwarz/single
[5] Fromkin D, A Peace to End All Peace, p 45, New York: Avon
Books, 1989
[6] www.iariw.org/papers/2006/davies.pdf
[7] National Intelligence Estimate, December 2004, Report of the
National Intelligence Councils 2020 project, ‘Mapping the Global Future,’ Pg
83-92, diakses 26th October 2007, http://www.foia.cia.gov/2020/2020.pdf
[8] Barnett C (1972) ‘The Collapse of British Power,’ Macmillan,
ISBN 0333679822, dan juga Paul Reynolds, ‘Suez: End of empire.’
[9] Barnett C (1972) ‘The Collapse of British Power,’ Macmillan,
ISBN 0333679822
Disari dari Majalah Al-Wai
Comments
Post a Comment