Awas!!! Ketendang ‘Bola’

“Ran! Jangan lupa besok liqo’ di masjid Al–Ikhlas jam delapan yah!”
“Oke!” Rani mengacungkan ibu jarinya kepadaku. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan kepadanya. Akupun menaiki bis yang akan mengantarku ke rumah. Selama perjalanan mataku menerawang menembus kaca–kaca buram bis. Menangkap banyaknya poster dan umbul – umbul  dari berbagai perusahaan iklan berdesakan memenuhi pinggiran jalan. Berlomba untuk eksistensi, bersaing  dengan gambar–gambar para kandidat pilkada dan tanpa kita sadari telah terjadi ajang pamer produk. Itu memang biasa, tapi yang terjadi akhir–akhir ini adalah mereka seakan berlomba mengatas namakan ajang perhelatan akbar persepakbolaan sebagai magnet dan daya tarik untuk menggaet konsumen.
Aku menghela napas, aroma bis yang khas memasuki paru–paruku, bercampur dengan keringat para penumpang atau bahkan keringatku sendiri . Yah, perhelatan akbar salah satu cabang olahraga ini telah menjadi demam tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Tidak tanggung–tanggung demam ini menyerang semua kalangan, dari kalangan bawah sampai para hedonista serta dari anak kecil yang duduk di sekolah SD sampai para lansia dipanti jompo.
Lelah pikiranku hari ini. Apalagi setelah seharian berkutat dengan mata kuliah Pak Imam, dosen syariahku. Akhirnya, ujung pekan datang juga.
“Assalamualaikum,” kuucap salam cukup keras begitu masuk ruang tengah. Kudapati Mas Zadi sedang duduk diatas sofa lagi lihat tv.
“ Asyik besok libur!” pekikku senang seraya menghempaskan diri di atas sofa, samping Mas Zadi, kakakku yang sedang asyik menonton sepak bola. Di layar kaca tertera sebuah nama tim nasional sebuah negara tetanggaku dengan skor seimbang.
“Baru pulang, dek?” Mas Zadi menegurku, “kok nggak salam dulu?”
Aku merengut, jelas tadi salamnya keras banget nggak ada yang nyahut. “Ye… mas Zadi tuh, yang keasyikan nonton bola! Sampai nggak denger Nisa salam.”
Mas Zadi nyengir, aku yang melihatnya balas melotot. “ Iya deh, Mas Zadi minta maaf… “ Mas Zadi menguyel – uyel rambutku, namun tatapannya tetap focus ke layar kaca. “Mas Zadi! Serius nggak sih mau minta maaf?” kataku kesal. Masa mau minta maaf nggak niat banget. Paling enggak itu menatap mataku, aku kan adek kesayangannya plus satu–satunya. “Iya, serius…” bantahnya.
Aku bersiap memukulkan bantal sofa ke arah Mas Zadi, “ Nisa nggak mau maafin Mas Zadi! Pokonya Mas Zadi harus minta maaf yang serius sama Nisa, masa Nisa dikalahin sama sepak bola sih!” seruku keras, mengejutkan Mas Zadi. Yang langsung menatapku dengan perasaan bersalah.

“Aduh, Nisa jangan ngambek dong!” Mas Zadi membujukku tapi matanya itu masih nancep ke layar televisi, huh aku tetap ngambek. Soalnya bukan kali ini aja Mas Zadi lebih mementingkan sepak bola daripada adiknya sendiri. Seperti kemarin, Nisa minta anterin ke kampus, eh gara- gara Mas Zadi keasyikan nonton sepak bola sampai lupa nganter aku tepat waktu. Hasilnya, ya telat deh Nisa. Huh, sepak bola ada apa denganmu? Sampai menyihir orang–orang? Gerutuku kesal.
Dengan pandangan kesal, aku akhirnya terpaksa menemani Mas Zadi menyaksikan salah satu pertandingan sepak bola di tv itu. Tatapan Mas Zadi benar–benar terpaku di layar kaca.
“Mas, Mas Zadi!” panggilku datar, “ Heh…?” gumam Mas Zadi menjawab panggilanku. “Mas Zadi!” panggilku kedua kalinya, berharap Mas Zadi ‘ku’ ini menjawab dengan senyum perhatian seperti biasanya. Dan akan meluangkan waktunya untuk mendengar ceritaku.
Damn, nggak ada sahutan. “Mas Zadi!” seruku lebih keras.
“Apa sih, Nis?” jawabnya kesal tanpa menatapku. Iih… lagian nggak dihiraukan, tapi kok Mas Zadi yang malah marah kebalik dong kan harusnya aku!
“Mas! Besok jemput Nisa di rumah Rani ya!” pintaku, Mas Zadi hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Okey, aku menandai ia mendengarkanku, jadi kuteruskan ucapanku.
 “Ada tugas kelompok Mas, jadi nanti jemput Nisa jam delapan malem ya! Kan, kalau malem angkutan yang menuju rumah kita nggak ada. Jangan lupa ya, Mas!” ujarku. Lagi–lagi Mas Zadi hanya mengangguk–angguk. Maka kuanggap Mas Zadi telah menyetujuinya. So, aku bergegas meninggalkan Mas Zadi sendirian di ruang keluarga, sayup–sayup kedengar pekikan gembira Mas Zadi, “GOL!!!” serunya. Di dalam kamar aku geleng–geleng kepala. Dasar! Football Fever.
**
Kesejukan udara pagi sudah tidak terasa lagi. Padahal sekarang masih menunjukkan jam setengah delapan pagi. Hiruk pikuk manusia berlalu lalang dengan kesibukannya, menjadi subyek pengamatanku dalam beberapa menit terakhir ini. Rasanya matahari sudah mulai menyengat membuat bulir–bulir keringatku berlomba keluar dari kulitku.
Sabtu pagi ini, aku telah berdiri di halte bis sejak lima menit yang lalu. Bersiap menghadang bis jurusan Kebon Agung. Karena nanti pada pukul delapan tepat, diadakan kajian keIslaman mingguan. Aku dan Rani yang pada mulanya iseng mengikuti kajian keIslaman ini, akhirnya keterusan dalam kadar “paham” juga. Jadi, kami  sudah satu semester menjadi anggota tetap Kajian Islamiyah.
Lima belas menit berlalu, bis yang aku tunggu belum juga datang. Kerisauan menggelayutiku, bagaimana jika aku terlambat nanti. Kumohon pada Allah berkali–kali, agar bis yang membawaku untuk menggapai ridloNya segera datang. Sementara itu, tampak seorang bapak sedang membaca koran pagi tentang hasil pertandingan AFF yang disiarkan  sehari yang lalu. Pedagang kaki lima di sekitar halte juga tampak bersemangat menjual gantungan imitasi berbentuk bola atau bertuliskan tim sepak bola nasional. Lagi–lagi, dimana-mana demam bola melanda. Aku tersenyum simpul, bukannya aku antipati terhadap olahraga yang beranggotakan sebelas orang ini. Tapi, kadang aku heran demi permainan duniawi macam ini. Orang rela menyisihkan waktunya di sela kesibukan padat mereka. Atau rela begadang tengah malam untuk melek di depan layar televisi. Bukannya malah menghadap Ilahiy Robby, bermunajat di tengah malam gemintang. Yah…hal yang dibolehkan alias mubah sekadarnya sajalah dilakukan, jangan dipantengin terus karena alasan mubah, kasian si ‘sunnah’ dikalahin muluk ama si ‘mubah’.
Bus yang aku tunggu akhirnya tiba juga dan membawaku menyusuri jalan tujuanku. Begitu sampai, jarum panjang di pergelanganku menunjuk angka sebelas. Wah, harus cepat nih.  Aku bergegas menuju masjid Al-Ikhlas. Sesampainya, dari jauh tampak temen-temen terlihat duduk melingkar disisi kanan masjid. Aku jadi tidak enak kalau sampai terlambat.
“Maaf, ukhtiy! Aku terlambat..” pintaku meminta maaf kepada Ukhti Nadia, murobbiyah ngaji ini. Segaris lengkungan di bibirnya melegakan aku. Kusegerakan untuk bergabung. Kutolehkan wajahku keseluruh anggota, “Loh, Rani kok nggak ada?” batinku heran. Biasanya ia yang ngomel – ngomel  kalau aku terlambat karena bis yang aku tumpangi terlalu lambat. “Makanya pagian dong! Lebih baik menunggu daripada ditunggu. Kamu kan bisa baca Al-Quran sebentar kalau datangnya lebih awal.” Protesnya begitu selesai ngaji kalau aku terlambat hari itu. Aku cuma nyengir mengiyakan. Daripada berbuntut omelan panjang. Namun, kini aku tidak melihat batang hidungnya.
“Jadi, seperti  dalam pepatah Arab mengatakan, ‘sebaik – baik perkara adalah pertengahannya’ Khoirul umuuri ausathuha..’” aku menyimak penuh perhatian kata Ukhtiy Nadia
Wah, pas nih untuk fenomena yang sedang melanda masyarakat dunia, yaitu wabah football addict, padahal khan yang sedang–sedang saja, hahaha jadi seperti lirik lagu dangdut. Ngaji berjalan lancar selama lima belas menit, pada menit ke dua puluh kulihat seseorang sedang tergopoh–gopoh menuju kami. Dari jauh, aku mengenali sosok berkerudung coklat tua itu. “Itu Rani!” kataku lirih. Kenapa ia bisa molor seperti ini. Apa terjadi sesuatu dengannya selama di perjalanan?
Ukhty Nadia menyambutnya dengan senyum. Rani balas tersenyum kecut, karena merasa bersalah. Ia akhirnya angkat bicara. “ Maaf, aku terlambat,..!” katanya.lirih Aku melirik Rani yang masih nampak terengah–engah pasti abis maratonan tadi biar nggak telat. “Kenapa, Ran? Selama itu masuk akal dan alasan itu dapat diterima alias syar’I jujur saja,”. Kali ini Rani jadi salah tingkah. “Anu…anu…” Rani tergagap menjawabnya, yang keluar hanya kata ‘anu..’..atau ‘begini’ ..
Ukhty Nadia menyipitkan mata heran. “Jawablah yang jujur, Ran! Walaupun itu pahit..” lanjut ukhty Nadia  dengan lembut, ah benar–benar teladan yang baik. Aku mengagumimu ukhty.
“Maaf… Rani ketiduran, karena semalam begadang.” Katanya penuh sesal. Aku tercengang, nggak biasanya Rani begadang. Pasti ada sesuatu sampai sobatku ini rela melek malam, harus diselidiki nih…
“Ya sudah tapi tahu kan konsekuensinya…”  Rani mengangguk.
“Makasih, ukhty.” Ada binar lega di mata Rani. Selamat…selamat…mungkin gitu kali ya di dalam hatinya. Setelah ngaji selesai. Aku dan Rani berjalan bersama menuju halte bis.
“Ran! Kamu kok bisa sampai terlambat sih?” tanyaku heran. Rani nyengir mendengarnya, “ biasanya kamu yang ngomel–ngomel kalau aku datang terlambat. Gimana sih?” semprotku kesal.
“Habis kalau udah nonton bola. Aku bisa lupa waktu.” Akunya, aku langsung tercekat. Bola?!!! Olala! Sobatku ini ternyata … akhwat pecandu bola?! Ccckkk….
“Gila! Itu kan jam dua dini hari, Ran?” sahutku masih tidak percaya, pikiranku melayang ke Mas Zadi, huh, dasar sama saja mereka berdua. Gila bola!
“Iya,” Rani mengangguk, “aku bela–belain nggak tidur, soalnya tim kesayanganku mau tanding sih!”
“Ya..ampun, Ran. Kamu ternyata suka bola banget, yah?”  seruku kepadanya. “Loh? Kamu baru tahu ya?” Rani malah balik tanya, dasar!  Akhwat suka bola!
“Awas lho, Ran. Jadi lupa waktu.”  Aku mengingatkan sobat tersayangku ini. Soalnya, Mas Zadi jadi lupa sama adiknya sendiri kalau sudah nonton bola. Rani tertawa mendengar nasihatku, “ Hohoho… aku kan bisa bagi waktu. Refreshing dikit boleh lah!”
Refreshing? Masya Allah! Aku jadi inget para ulama salafus soleh yang jika ada sepuluh kemubahan yang bisa dilakukan dalam satu hari, maka beliau–beliau itu hanya mengambil satu kemubahan yang lain diganti dengan amalan sunnah. Dan sekarang apa yang kita lakukan? Seringnya sih mengisi waktu dengan amalan mubah. Yah…yah…yah….zaman sekarang dilawan.
Obrolan beralih dari sepak bola ke topik tugas mata kuliah syariah kami. Aku jadi teringat bahwa kita harus ngerjain tugas barengan karena ini tugas diskusi. “Oh, ya.. nanti malem jadi kan?” tanyaku pada Rani diiringi anggukan singkat.
“Iya, jangan lupa bawa makalahnya.” kata Rani seraya  melambaikan tangan dan segera hilang dari pandanganku. Sedetik kemudian secepat kilat aku melompat keatas bis mini dihadapanku.  Beberapa menit setelah itu mata ini sudah terkantuk-kantuk diatas bus yang  terkoyak–koyak menuju tujuanku. Ah..biasalah angkutan umum, sudah reyotpun tetap dipakai. Dan lagi–lagi di sepanjang perjalan aku menemui lambaian-lambaian spanduk bertemakan sepak bola. Begitu pula mas–mas yang duduk disampingku ternyata sedang ngegame sepak bola. Ckckckck…. Bola…bola…bola…. Bisa jadi berhala baru nih…mataku pun terpejam.
**
“Ran, sudah jam  delapan nih. Kita udah dulu aja ya!” kataku seraya menutup beberapa buku referensi buat tugas mata kuliah syariahku ini. Rani mengangguk, tampaknya kita sama–sama jenuh menyusuri bait–bait di berbagai buku–buku yang mayoritas berbahasa arab.
Rani menguap, “Hoahem!” mulutnya terbuka dan dengan cepat ia menutup dengan kedua tangannya. “kok, udah ngantuk sih, kan nanti ada pertandingan bola.” gumamnya, kedua tangan Rani mengucek–ucek mata.
“Kamu mau nonton bola lagi? Nanti kesiangan lagi lho!” kataku sedikit terkejut bercampur rasa gemas.  “Nggak, kok. Sekarang agak awal, nggak dinihari lagi,” bantah Rani, aku melengos nggak percaya.
“Emang jam berapa, Ran?” tanyaku lagi. Rani meneguk kopinya, biar kuat dan nggak ngantuk katanya. “Jam setengah dua belas, kok!” jawabnya enteng. HAH? Itu mah sama aja, batinku keki. Dasar! Rani terkikik melihat ekpresiku.
“BTW, nggak pulang?”
“Iya, nih… katanya Mas Zadi mau jemput jam delapan, “  aku melengos kesal. Sudah berkali–kali hapenya kuhubungi. Meski bukan nada sibuk, tapi nggak ada yang menjawab. Malah mailbox melulu yang menyapanya. Mas Zadi kemana sih?
“Oh.. ya udah tunggu aja,” sahut Rani sembari menguap. Kali ini ia menepuk–nepuk pipinya agar kantuk yang dideritanya menghilang sejenak. “Aku bikin kopi lagi yah,” serunya dan beranjak bangkit meninggalkanku dalam keheningan.
Tanganku terus saja memencet dengan tekanan super sadis di keypad hapeku. “Mas Zadi! Ayo dong, angkat! Angkat! Angkat!” aku kembali mendengus kesal sekali lagi. Kali ini dengan mengerucutkan bibir tanda kesal luar biasa. Mas Zadi kubunuh dirimu eits sadis ya… ganti kusiksa dirimu kalau ketemu. Nada tunggu bikin bete. Whua…aku sebel. Jam dinding udah bosen kulihatin terus nih. Hua…hua…
Sekarang jam sembilam kurang dua puluh lima. Gila! Malem nih, bukan petang lagi. Kagak mungkin ada bis menuju daerah rumahku ataupun angkot jurusan rumahku malem–malem begini. Udah pade parkir di pangkalannya dan pastinya nggak ada supirnya. Mau nekat pulang? Wuah maaf–maaf deh, hilang diculik nanti daku. Kalau nginep dirumah Rani bisa sih, tapi nggak enak sama ortunya. Soalnya belum izin. Kulirik pintu kamar Rani, Rani nggak kunjung dateng bin nongol dari pamit tadi. Kemana juga nih anak?
Kuputuskan kalau emang kakakku nggak jemput juga, aku minta izin nginep di rumah Rani. Rani baik khan, pasti boleh, tidur di bawah juga boleh. Tapi, ini terjadi karena kakakku nggak jemput–jemput. Hiks..hiks… Pokoknya awas! Awas mas Zadi! Awas!  Grrr….aku geram….gara – gara bola.
Sekali lagi kuraih hape hitam metalik di atas kasur yang tadi kucampakkan karena kesal. Lagi– lagi ketika kuhubungi mas Zadi nada sambung terus yang jawab tapi kagak nyambung–nyambung. Rani balik, hore! Bawa dua buah cangkir dengan cairan kental hitam yang mengepul. Huih… membangkitkan air liurku.
“Nih, kopinya. Biar nggak bete nungguin abang tersayang,” Rani menyodorkan  secangkir kopi hangat kepadaku. Dan tentu saja kuterima dengan sepenuh hati, heheehehe…azas manfaat.
Ternyata hingga jam sepuluh pun, sampai cangkirku kering. Mas Zadi nggak kunjung dateng. Hiks…hiks…terpaksa aku minta izin untuk menginap malem ini. Mas Zadi mengapa kau buat ku begini?! Tunggu saja pembalasan dendam kesumatku. Disambut dengan petir yang menyambar–nyambar, mungkin alam mendengar sumpahku. Itu cuma angan–angaku aja ternyata. Tenang nggak ada petirnya kok…tenang…
Pagi menjelang, tak ada sms mampir dari mas Zadi ataupun misscall. Huah..keki aku, atau jangan-jangan ada apa–apa dengan abangku yang agak dekil satu–satunya itu? Oh, tidak… kuhubungi tanpa lelah Mas Zadi. Tut…tut…tut… “Halo, Assa…” suara berat disana terdengar.
“Mas Zadi!!!  Gimana sih! Kok aku nggak dijemput! Kan katanya jam delapan. Buktinya sampai aku nginep segala dirumah Rani. Disms nggak dibales, ditelpon nggak diangkat, berkali–kali malah. Mas pikir aku nggak sebel digituin. Itukan udah melanggar janji mas buat jemput. Sekarang mas mau ngomong apa hayo! Pokoknya nggak ada alasan. Jemput aku sekarang! NOW!” aku memberondong atau tepatnya menyerbu.
Siiingg…tak ada jawaban. “Mas?” aku yakin mas Zadi masih mendengarkanku. “Iya, Nis.. Mas minta maaf deh, mas itu semalem tidur abis Isya, biar bisa bangun malemnya buat lihat bola, jadi ya Mas lupa buat jemput adek. Maaf ya…”
BuZz…emosiku naik lagi, “Bola lagi, bola, bola, bola, gara makhluk bunder melingker itu tuh aku nggak diperhatiin amas mas Zadi gimana Yang Atas, pokoknya Nisa marah sama mas dan sama yang namanya sepak bola,” semburku langsung.
“Ye… nisa begitu sih, cup cup cup, nanti mas beliin balon deh, cup…”
“MAS ZADI!!!” seruku, mas ini mau becanda disaat nggak tepat.  “Kalau gitu balonnya yang trapesium bentuknya,” nadaku kesal sekali, sekali lagi aku kesal , sangat, sangat, sangat,…argh…. Sekalian aja aku tanggapin biar tambah kesel, cari sana balon bentuk trapesium.
“Nisa, udah dong jangan aneh–aneh, Mas Zadi jemput sekarang deh, oke, oke!”
“ Iya cepetan awas telat lagi,” ancamku.
Aku menutup telpon genggamku setelah selesai berbicara dengan abangku yang hanya ada satu di dunia itu. Serta bergegas menengok Rani yang ‘tepar’ tidur karena semalam sepertinya ia benar -  benar begadang demi lihat bola bendur eh bunder itu.
Kali ini aku kembali kena getah bola sepak, soalnya tahun ini udah tahun yang ketiga kakakku maupun ayahku lupa janjinya sama aku karena bola. Tahun ini aku lagi–lagi kena getahnya. Sepak bola oh sepak bola…bikin aku geregetan…. Ini cuma contoh kecil dari fakta  beberapa hal  yang sifatnya ‘boleh’ menjadi sebuah alasan utama mengisi waktu. Nah, contoh kecil nyata itu salah satunya sepak bola, betapa sepak bola akhir–akhir ini dapat mengalihkan  penikmat sejatinya sejenak dari kesibukannya atau bahkan membuat penikmatnya lupa waktu. Padahal sekarang umat Islam sedang diambang kehancuran dan sedang sangat membutuhkan generasi–generasi yang tergerak dan sadar benar bahwa banyak hal–hal wajib yang belum terlaksanakan. Bukan saatnya lagi nih, baca komik-komik ringan tapi saatnya mengkaji berbagai buku ilmu agama dan dunia. Wah…wah… Mas Zadi perlu dikasih jeweran plus kultum alias kuliah tujuh puluh jam bersama adik tersayangnya Nisa ini. Mas Zadi kakakku tersayang, mubah kan tidak selalu harus dilakukan karena pembolehannya melakukan itu.


Wah, Nisa jadi sadar ini juga salah satu pr Nisa tentang masalah umat, mencoba memahamkan bahwa dibalik gembar–gembor hal mubah yang nggak berpahala ternyata banyak yang melenakan. So, baiknya kan dijauhi dan ganti sama yang sunnah atau wajib. Soalnya kita sebagai pejuang Islam tapi aktivitasnya standar aja, nggak ada bedanya sama yang nggak pejuang. Mana bedanya atuh kalo gitu? 

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...