TAK ADA KEGAGALAN SEMPURNA (Surat Cinta untuk Njet)
"Jangan beri tahu
tubuhmu, jika hatimu sedang sakit," (Nisa Zakiyah Fajrina)
Njet, njet, njet...
Kita memanggilnya Njet. Padahal, nama aslinya Nisa Zakiah. Karena terlalu
banyak nama Nisa. Kita bikin beda sama yang lain dengan manggil dia NZ aja. Berhubung lidah kita suka keseleo kalau melafalkan 'Z' jadi
kita memetamorfkan huruf ‘Z’ dengan huruf J. Maka, jadilah namanya Njeet....
Njeet....
Setiap kita panggil begitu, jawaban khasnya, "Napa? Kangen ya sama
ane?" dengan tampang polos kocak nggak nahan. Bikin kita langsung ngakak
guling-guling. Sempet si Njet ini punya hobi meluk kita temen-temen ceweknya,
plus cium-cium. Katanya itu ekspresi kegemesan terhadap kita. Dan kita sering
lari-larian ngehindar dari dia.Tubuh kecil berisinya itu lucu banget kalau lagi
kejar-kejaran sama kita. Ditambah senyum lebarnya yang nabrak dua pipi gemilnya. Lucu. Dia adalah
pencair suasana yang oke. Sekaligus kritis. Manusia kompilasi unik.
Njet, entah bagaimana ia bisa nyasar ke sekolah ini. Katanya dari kenalan bapaknya. Dan
seterusnya. Hingga akhirnya dia mendarat dengan syok di sekolah ini. Perkenalan awal dimulai saat hari pertama
bertemu. Di kumpulkan di sebuah ruangan yang kosong melompong. Yang kelak bakal
jadi kamar kami. Ya... sebagai angkatan pertama, fasilitas masih serba minim.
Ruangan itu baru beberapa saat kemudian mendapat insentif kasur dan bantal.
Properti sisanya menyusul.
Lalu, gimana kesan
pertama kita?
Pendiem. Itu kesan pertama kira. Tapi seiring berjalannya waktu, kita tahu
sifat aslinya, Gokil. Kita jadi makin tahu sifat masing-masing. Kita tahu
cerita mana yang keluar dari hati paling dalam. Dan cerita mana yang
enggak. Termasuk dari si Njet. Mana yang
kejujuran dari si Njet mana yang Cuma bercanda. Meski pada kasus Njet, kita
kadang suka susah membedakan karena tingkahnya yang selalu ceria.
Sebenarnya disinilah ceritaku tentangnya akan dimulai. Cerita tentang
seorang teman yang tampak sangat biasa, tapi,
memberiku banyak pelajaran tentang kehidupan yang nggak terduga-duga.
Jika dilihat sekilas pasti banyak orang menyangka dia orang yang agak
kekanak-kanakkan. Padahal, Njet tipikal orang yang nggak mau kesedihannya
dilihat orang lain sehingga ia tutup-tutupi dengan sikap (sok) cerianya. Suka
sok jutek tapi perhatian. Katanya, "Jangan pernah kasih tahu tubuhmu kalau
hatimu lagi sakit,". Makanya ia jarang mengeluh dan memperlihatkan rasa
sakit hati maupun fisiknya. Tapi,
sebagai temannya kita tahu dia nggak baik-baik saja pas dia terluka entah di
hati atau di fisik (alias lagi sakit).
Suatu hari saking gemesnya sampai aku pernah bilang, "Njet, kalau njet
nggak baik-baik aja, bilang! Jangan jawab
baik-baik aja, kalau njet emang nggak baik-baik aja,"
Dia malah balik nanya, "Memang kenapa gitu, kalau ane kayak gitu? Kan
nggak apa-apa bikin orang lain bahagia?"
Speechless. Aku akhirnya cuma bisa jawab, "Njet, kadang-kadang
bersikap apa adanya itu melegakan. Tapi, keputusanmu juga dicintai Allah kok. Selama kamu nggak berbohong,"
Njet yang periang, Njet yang tegar.
Selain itu, njet sakit! Air di sekolah dan asrama nggak cocok dengan
kulitnya. Kakinya mulai pecah-pecah dan sering berdarah. Mengelupas sedikit
demi sedikit. Tiga tahun telapak kakinya luka dan susah buat jalan. Setiap hari
Njet harus bersabar untuk membersihkan telapak kakinya pakai obat yang entah
ada berapa macem tanpa ngeluh. Aku tahu
itu nggak mudah. Aku sendiri masih gampang mengeluh. Darinya aku mulai belajar apa itu nggak
membuat orang lain khawatir, dan apa itu nggak mengeluh. Bukankah ini sikap
yang dianjurkan Rasulullah, selalu menampakkan kegembiraan pada saudaranya? Kembali dia mengajari saya
sesuatu.
Semakin menghabiskan waktu bersama Njet. Kita semakin tahu bahwa belajar di
sekolah ini nggak sesuai dengan harapan
awalnya. Karena ia punya mimpi. Mimpi
yang nggak sesuai dengan jurusan yang ada di sekolah ini. Njet dari SD memupuk
mimpi masuk SMK 4 Balikpapan. Setelah menamatkan sekolah menengah pertamanya,
Njet semakin bersemangat merealisasikan mimpinya. Berusaha sebaik-baiknya agar
bisa masuk SMK 4 Balikpapan. Setelah menempuh ujian masuk yang ketat. Ia
berhasil! Ia diterima di SMK 4 favorit di kotanya. Mimpi yang dipupuk sedari
kecil sekarang berada di genggaman tangannya.
"Njet, kok kamu bisa masuk ke sekolah ini?" tanyaku suatu hari.
Dengan gaya santai sambil bercanda khasnya, ia bercerita, "Hari itu
kakakku pulang dari Semarang. Nemenin aku tes ke SMK 4. Pokoknya udah
rempong-rempong tes. Setelah semingguan nunggu. Aku sama kakakku pergi lihat
pengumuman. Alhamdulillah, keterima di SMK 4. rasanya seneeeng bangeeet."
ia terdiam sejenak.
"Trus Njet?" kejarku.
Ia berusaha mengingat-ingat, "Beberapa hari kemudian, entah kenapa,
ayahku masih cari-cari sekolah lewat internet, pokoknya banyak banget. Aku
didaftarin kemana-mana. Termasuk sekolah ini. Aku keterima di banyak sekolah
swasta juga. Pas itu aku bilang, 'nggak usah, yah. Aku nggak mau. Lagian aku
udah keterima di SMK 4'. Nggak tahu gimana, Ayah ngotot bilang,'udah kamu ke
Bogor aja,'. Hati aku bilang 'Hah? Seriusan?!' selama berhari-hari kemudian,
seminggu kalau nggak salah aku ngambek, tapi ayah sama ibuku tetep
mempersiapkan kepergianku...."
"Dibeliin koper segede gaban itu yah?" tebakku bercanda sambil
ketawa.
Njet ketawa juga, "Iya, itu dibeliin koper segede gamblok yang
ngelebihin badanku. Ibuku terus aja masuk-masukkin baju, barang-barang dan
segala macem. Aku bingung antara mau dan nggak. 'Ah, gimana?!' Kan lumayan ke luar kota, tapi ih nggak mau
gitu, aku maunya di SMK 4. Bayangin, dari SD bener-bener aku pengen banget
ambil jurusan itu. Aku bisa ngedapetinnya tapi harus ngelepasin. Bayangin
rasanya saat itu. Rasanya bener-bener deh pengen loncat dari atas gedung,"
katanya sambil bercanda lagi.
Aku tertawa terbahak-bahak membayangkan ia bener-bener punya pikiran kayak
gitu.
"Aku sebel banget sama ibuku. Sebel banget. Seminggu sebelum ke bogor
kejadiannya. Nah, aku kan berangkat hari senin. Hari pas MOS dimulai. Aku punya
sahabat, keterima di SMK 3, SMK 3 sama 4 itu sebelahan. Sebelumnya kita udah
janjian mau berangkat sama pulang bareng. Tapi, hari itu aku pergi. Rasanya...
Arhh.. Bayangin rasanya gimana,"
Aku tahu rasanya punya mimpi dan tahu rasanya gimana saat mimpi itu harus pending
atau hilang sama sekali. Aku tahu perasaan Njet.
"Trus, Njet. Apa yang bikin kamu bisa bertahan disini?"
Tapi, ia tetap patuh kepada kedua orangtuanya untuk tetap bertahan sekolah
disini. Berangkat dari kalimantan seorang diri, hinggap di Kota Hujan seorang
diri, dengan koper besarnya, badan mungilnya. Dan jarang pulang. Tapi, ia nggak pernah mengeluh.
Keajaiban Para
Personil Kelas Liburan
Bukankah nggak mengeluh selalu berkorelasi dengan kesabaran? dan kesabaran
adalah hal yang dicintai oleh Allah? Seringkali hadiah-hadiah terindah
diberikan oleh Allah kepada kita saat kita menempuh jalan panjang kesabaran,
membuang semua keluh, dan percaya pada hadiah yang tidak terlihat oleh mata?
Jika kalian melihat sejenak apa yang aku lihat, mungkin kalian akan
mengerti apa yang aku maksudkan...
Njet adalah salah satu siswi di kelasku yang selalu berada di posisi kritis
standart minimal nilai. Bahkan seringkali di bawah nilai minimal. Dia dan
beberapa orang temanku, selalu berakhir dengan remedial, tidak bisa pulang saat
liburan pergantian semester. Karena di sekolahku ditetapkan sistem perbaikan
nilai saat liburan. Yang memperbaiki nilai harus tinggal di asrama sementara
teman-teman yang lain melenggang pergi menikmati liburan bersama keluarga. Njet
adalah salah satu siswi yang langganan mendapat pinalti.
Terhitung sejak pertama kali diberlakukan sistem remedial saat liburan.
Njet adalah salah satu kandidat tetap kelas liburan. Aku pun pernah tinggal di
asrama selama liburan. Hanya saja bukan karena kelas liburan. Aku nggak tahu
perasaan Njet sebenarnya. Yang aku tahu, Njet menghadapinya nggak pakai ngeluh apalai putus asa. Yang aku lihat, Njet
yang tetep ngerjain tugas-tugasnya, meski terkadang terlihat bosan. Dia malah
pernah kelihatan menyemangati temannya. “Udahlah, Dan. Jalani aja...” katanya
ke Dani, salah satu personil kelas liburan.
Tiga tahun, enam kali ujian semester, enam kali tinggal di asrama. Bagi
siswa-siswi yang dapat kelas liburan maka harus mengerjakan banyak tugas
pengganti atau belajar materi dari awal hingga selesai. Lalu ujian lagi. Begitu
seterusnya. Aku sempat sekali selama seminggu, membantu kelas liburan,
menyiapkan absensi, mengurus kelas, soal dan latihan, memasukkan nilai. Selama
memantau kelas liburan, hati siapa yang nggak terenyuh melihat teman-teman
harus tetap belajar sementara yang lain sedang bersenang-senang di rumah?
Sementara, teman-teman disini tidak bisa pulang dan harus tetap belajar. Dan Njet
pun tidak mengeluh. Aku salut.
Njet Si Malaikat Subuh
Itu nama aku twitternya. Malaikat subuh. Pas kita tahu nama akunnya, kita
tertawa terbahak-bahak. Malaikat subuh? Ahahaha... semacam malaikat pencabut
nyawa ya?
Tapi, siapa kira, itu ternyata benar-benar menggambarkan Njet.
Njet memang kesulitan di bidang akademik. Serta menjadi salah satu personil
-paling sering- kelas liburan. Tapi, ia berusaha. Berusaha melebihi kita.
Siapapun yang terbangun sebelum subuh, untuk tahajud atau sekedar ke kamar
mandi. Pasti, akan melihat seorang Njet bangun dan belajar. Entah mengerjakan
tugas atau hanya membaca buku. Namun, rahasia ini hanya diketahui oleh beberapa
orang. Sisanya pasti hanya akan melihat Njet yang bercanda-canda di kelas,
nggak mood di kelas, tidur, main dan ribut sendiri.
Tapi, ia selalu remedial. Bayangkan?! Jika kalian berada di posisi dia? Apa
yang akan kalian lakukan? Jika aku berada di posisi dia, apa yang aku rasakan
dan aku lakukan? Aku akan frustasi, marah pada Allah, nggak percaya lagi pada
segala sesuatu berbau kerja keras dan doa, aku akan putus asa.
Coba tengok Njet. Tiga tahun, enam kali ujian semester, enam kali ujian mid
semester, berkali-kali ujian harian, belum lagi try out menjelang UN. Hasil
nilainya tetap merah. Siapa yang akan sabar dengan kondisi seperti itu? Maka,
aku dengan lantang akan mengatakan Njetlah orangnya. Orang yang nggak ngeluh
meski ia tahu dunia serasa nggak adil baginya dan ia berjalan nggak pada
mimpinya, karena ada orang yang hanya dengan tidur di kelas nilainya tetap
bagus, atau ada orang yang mendapat
hasil sepadan dengan apa yang diusahakan. Sedangkan usaha belajar Njet seperti
nggak membuahkan hasil apapun. Dimana letak keadilan? Tapi, Njet tetap
menjalaninya dengan tertawa di depan kita. aku semakin salut.
Hadiah Allah emang
nggak terduga-duga.
Kalau mau belajar gimana caranya ngeramein suasana, Njet orangnya.
Kalau mau belajar gokil dan jayus, Njet orangnya.
Sekaligus kalau mau belajar nggak ngeluh, lagi-lagi Njet orangnya.
Percaya nggak kalau Allah itu nggak pernah pilih kasih ke hambaNya. Mungkin
selintas susah. Karena seringkali kita merasa udah mati-matian mendapatkan
sesuatu tapi tetep nggak ada hasilnya. Dan ada orang yang nggak ngelakuin
apa-apa tapi gampang banget dapetnya.
Setelah perjuangan yang kelihatannya nggak membuahkan hasil, akhirnya
hadiah tak terduga itu muncul. Setelah UN selesai, Njet tanpa bilang ke
siapa-siapa pergi ke semarang menjalani karantina untuk persiapan tes beasiswa
ke Turki. Saingannya dari seluruh Indonesia. Dengan spesialisasi matematika.
Bayangkan, Njet yang seringkali jadi personil kelas liburan, punya mimpi
apa ikut karantina beasiswa?
Banyak yang pesimis ke Njet. Tapi, dari awal aku feeling something will
happend. Sesuatu akan terjadi. Satu bulan saat kita persiapan untuk ujian
perguruan tinggi negri dia fokus ke situ. Sempet aku tanya saat itu, “Njet,
misalnya nggak keterima gimana?”. Dia (lagi-lagi) dengan muka lucunya menjawab
santai, “Yah, coba lagi tahun depan,” sambil mengedikkan bahu. What?! Enteng
banget ngomongnya?!
Hari demi hari persiapan menuju perguruan tinggi negri dimulai. Tapi, Njet
bertaruh nggak memilih untuk masuk ke arena pertempuran dalam negri seperti
kita. Mimpi apa dia? Padahal sekaliber jawara-jawara sekolah kita. Nggak ada
yang seberani itu melepaskan pilihan dalam negri demi ketidak-pastian peluang
di luar negri.
Satu persatu teman-teman mulai diterima di berbagai perguruan tinggi dalam
negri. Njet masih belum punya kepastian. Kabar dari Njet seakan raib. Sebagai
angkatan pertama, kedekatan kita dengan dewan guru teramat sangat. Setiap
perkembangan kita apapun itu pasti dipantau dewan guru. Begitu pula dengan
Njet. Tapi, Njet menghilang.
Sampai suatu ketika, sebuah kabar itu masuk ke telingaku. “Alhamdulillah,
Njet keterima di Turki”
Sampai disitu aku mengucap syukur luar biasa. Bangga tak terkira.
“Fabiayyi alaa irobbikuma tukadzdzibaan”
Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.
Aku berpikir, mungkin benar, Njet lah yang layak mendapatkannya lebih dari
siapapun yang disangka manusia layak. Karena Allah lah yang lebih tahu apa yang
terbaik bagi kita. Mungkin ini sedikit hadiah kecil dari Allah untuk Njet yang
jarang mengeluh, untuk Njet yang sabar memperbaiki nilainya dari satu ulangan
ke ulangan lain, bagi Njet yang selalu bangun sebelum subuh untuk belajar, bagi
Njet yang rela nggak pulang demi
memperbaiki nilai, bagi Njet yang ikhlas mematuhi permintaan orangtua, bagi
Njet yang selalu berprasangka baik pada takdirNya.
Njet benar-benar mengajariku banyak hal. Terima kasih sudah mau berteman
denganku. Baik-baik ya di Turki, Njet sholihah. Miss you.
Temanmu, Fakhirah IR.
Selasa, 25 Februari 2014
22:18
Setelah gerimis reda, di kota budaya, Jogjakarta.
:')
ReplyDelete