My Little Princess


“Katya, Pingsan lagi!”
Aku yang bersiap menangkap dribble bola dari Roni terkejut, hilang sebagian konsentrasiku.
“Bro, awas!” suara Roni juga mengusik pendengaranku. Aku cepat tersadar begitu bola melambung tepat dari sudut elevasi 45 derajat, menukik ke mukaku.
“Happ” untung refleksku bagus, bola itu secepat yang aku bisa segera kulempar ke dalam ring.
“Bluk….” Masuk!
“Cool man!” Teriak Roni mengacungkan dua jempol kearahku, begitu pula Bram, Raka dan Putra serentak menghujaniku dengan seruan, ‘cool’, ‘you’re rock’ dan ‘traktir!’. Yang terakhir agak nggak enak kayaknya.
Aku tersenyum senang, namun tidak sepenuhnya senang. Ada sesuatu yang mengganjal. Kabar bahwa Katya pingsan lagi mengusikku. Kenapa aku bilang lagi, karena Katya memang sakit-sakitan. Aku menelan ludah kecut saat melihat beberapa orang membopong tubuh Katya ke dalam UKS melewati lapangan basket dimana aku berdiri sekarang.
“Kasihan, Tya… pingsang lagi,” Roni berdiri disampingku sambil mengelap keringatnya dengan kausnya. Hieks…sangat memualkan bahasa halusnya menjijikkan.
“Iya, katanya dia sedang menuju ke mushola, lalu tiba-tiba pingsan di hadapan kelas Sosial 2-2,” Bram menimpali. Dua orang ini sibuk saling mengomentari. Aku diam saja sambil mengelap keringatku dengan handuk kecil, eits aku bukan Roni yang yah….memualkan.
Aku diam saja mendengarkan tiga orang temanku terus bercakap-cakap tentang banyak hal diselipi tawa. Aku ikut tertawa mendengarkannya, hanya ikut-ikutan. Karena pikiranku pada kenyataannya tidak sepenuhnya tertawa.
Seseorang menyikutku, “ kenapa kamu?” bisik Putra. Aku menggeleng dan berusaha tersenyum senormal mungkin. “Gak ada apa-apa,”
KRINGG….Bel masuk bordering, sungguh nyaring, sungguh nyaring sekali, karena dipencet lama sekitar 2 menit. Bisa bikin telinga bordering…nging…nging….penging. ah, pasti pak Hamidin mengareti tombol bel dan kadang suka lupa dilepas. Ah, telingaku penging…
Bram, Roni dan Putra berlarian menuju kelas masing-masing, begitu pula aku. Roni dan Bram anak IPA 2-4, aku dan Putra anak IPA 2-3 sekelas dengan Katya.
“Jangan lupa kumpul di MR, nanti sore!” Putra bereteriak untuk mengingatkan kita semua.
“Yoi!” Roni balas berteriak sambil mengacungkan ibujarinya.
“Siip…” Bram mengangguk dengan tetap berlari.
“Oke,” Aku mengiyakan.
Katya…

Aku menggeleng keras, berusaha mengusir bayangan Katya di benakku. Aku tahu, semua ini fitrah yang dimiliki manusia, rasa suka. Tapi, Islam telah mengatur semuanya. Semuanya hingga titik teremeh dalam kehidupan. aku tahu, suka itu sebuah naluri, yang tak akan membuatku mati jika tak kupenuhi sekarang. karena itu, aku menyerahkan semua rasa ini kepadaNya. Jika kepada selainnya, biarkan Allah yang mengetahui bukan selainnya.
Eits, apabila kamu menyukai seseorang sepertiku, tak harus kita penuhi sekarang juga saat ini juga. Tahanlah, karena percayalah ini hanya sebuah naluri suka yang timbul karena ada sesuatu yang membangkitkan. Jika tidak ada, maka naluri suka itu tidak akan bergejolak. Tidak akan membuat kita mati seketika. Lalu bagaimana dengan orang yang stress dan mati bunuh diri karena cinta? Ah, itu mah lebay…dia terus menerus membangkitkan naluri sukanya padahal kalau tidak dibangkitkan tidak akan terjadi apa-apa. Yah, mungkin resah untuk sementara waktu. Tapi, tenang saja, hanya untuk sementara waktu. Kuncinya jauhi rangsangan untuk membangkitkan naluri itu, dan naluri itu akan berjalan biasa saja. Oh ya, jangan coba-coba menghilangkan naluri suka kita, karena itu mission impossible.  Nggak mungkin. Cukup kendalikan saja.
***
“Katya…pingsan lagi…!”
Aku menengok ke sumber suara berpaling sejenak dari kesibukanku lalu kembali asyik dengan duniaku, dihadapanku lego berukuran sedang dengan warna-warni menarik hati sudah setengah jadi berbentuk robot-robotan Power Rangers kesukaanku. Aku tidak terlalu tertarik dengan ribut-ribut para guru. Aku sekarang hanya tertarik dengan lego dan aku tidak mengerti apa yang terjadi. Untuk anak kelas tk seumuranku aku tidak mengerti.
“Bu..gulu… kenapa Katya pingsan lagi?” aku bertanya pada Bu Mia, guruku yang sedang menenangkan kawan-kawanku mengerubungi Tya. Tanganku masih sibuk menyatukan satu balok dengan balok yang lainnya.
“Katya, sakit anemia, nggak boleh capek,” kata Bu Guru Mia yang terus disibukkan menenangkan massa yang semakin membengkak, datang dari kelas lain.
“ anenia….sama kayak anemone laut ya bu…ikan yang kuning kecil itu,” Bu guru Mia yang sabar hanya menggeleng kepadaku, tidak member jawaban seperti apa itu anenia, atau amemia, ugh…tapi dengan menggeleng itu artinya bukan. Dan aku kembali mengernyit, tidak puas.
“Sepelti apa, bu?”
Namun, Bu Guru Mia terlalu sibuk dengan teman-temanku yang mengerubungi Katya pingsan. Aku berpikir lebih baik nanti saja setelah robot-robotanku selesai. Dan aku akan menggunakannya untuk membebaskan Katya dari Anenia itu. Jadi, kuselesaikan dulu lego robot power ranger merah.
 Sayangnya aku tidak mendapat jawabanku saat itu. Yang aku tahu, Katya tertidur tiba-tiba. Lucu sekali. Mungkin itu seperti aku yang tiba-tiba tertidur saat digendong ibu saat pulang bermain bola. Mungkin Katya terlalu lama main lego, sehingga jadi sangat mengantuk. Jadi, ia tertidur tiba-tiba.  Nanti juga bangun sendiri.
***
“Alfa, main yuk…!” eh, namaku dipanggil. Aku bergegas meninggalkan playstation yang sedang kumainkan. Membiarkannya begitu saja tanpa aku matikan sebelumnya. Kaki kecilku menuruni anak tangga tergesa-gesa. Mana anak tangganya tinggi-tinggi lagi. Nanti kalau aku sudah besar aku pasti bisa melompati beberapa anak tangga sekaligus.
“dek Alfa, mau kemana?” mama menanyaiku dari dapur.
“Main, ma…”
“ Sama siapa, sayang?”
“Cama temen, ada Lijal, Hendla, Oval…”
“Oke, cepet ya…nggak boleh pulang magrib,”
“Ya, ma….”
Aku segera bergabung bersama teman-temanku bermain tembak-tembakan dengan selang air taman rumahku, lalu aku akan bersikap sebagai seorang power ranger yang bisa berubah.
“Belubah!” aku bergaya seakan mau berubah dari manusia biasa menjadi power rangers merah. Teman-temanku juga bergaya sebagai rangers dengan warna lain.
“Belubah! Lenjel ijau,” pekik temanku bersemangat pula.
“Belubah, lenjel bilu…” kata Oval mengikuti aku dan Rizal.
Ketika asyik bermain, baru aku sadari di depan rumahku. Tya tengah memandangi kami dengan muka pucat. Ia tampak sedih tak bisa ikut bermain dengan kami. Ia biasanya menjadi ranger pink.
Aku menghampiri Tya dari luar jendela. Rumah kami  memang hanya dipisahkan jalan  sebesar empat meter. Rumah Tya didepan rumahku.
“Ayo main!” ajakku.
Tya menggeleng, “Tya macih pucing, gak boleh kelual cama mama,”
Aku memandanginya kecewa, tapi juga iba.
“Ya, sudah nanti abis main ama temen-temen, Alfa temenin Tya main,” tawarku. Mata Tya berbinar, aku tahu Katya senang sekali. Tapi, wajahnya masih pucat, dan ia masih tidak kuat berdiri hingga ia harus memakai kursi roda. Enak sekali menurutku, karena apa-apa yang Tya butuhkan hanya tinggal memanggil mamanya. Tidak seperti aku, kalau aku ingin sesuatu pasti mama bilang “Kan bisa ambil sendiri, sayang…” huh, padahal aku kan sedang sibuk bermain lego, apa mama nggak lihat.
Akhirnya, selalu begitu. Habis bermain perang-perangan bersama Rizal, Oval dan Hendra. Aku akan datang mengunjungi Tya dengan membawa lego, buku bacaan, kaset Dancow berisi cerita daerah, apa saja yang bisa dimainkan. Kemudian menceritakan apa-apa yang aku lakukan seharian sedangkan Tya diatas kursi rodanya atau diatas tempat tidur tertawa mendengar ceritaku.
Rumah kami berhadap-hadapan, jadi tidak butuh waktu lama bagiku untuk main ke rumah Tya. Ibuku dan Ibu Tya juga sangat dekat, sering mereka memasak bersama, berbagi resep, menjahit bersama, bercengkrama, dan segudang pekerjaan wanita lainnya.
Kami dulu berbeda sekolah dasar kami hanya satu sekolah saat TK, sehingga aku tidak bisa bermain dengannya saat kami masuk sekolah. Jadi, jadwal bermain kami adalah saat pulang sekolah. Pertemanan kami kadang agak tidak imbang. Tya kebanyakan hanya jadi pendengar, sedangkan aku adalah pencerita handal. Tya lebih sering meringkuk diatas tempat tidur memeluk boneka,lalu aku akan menghamburkan legoku diatas kasurnya, dan kami mulai berlomba membuat lego tertinggi. Tentu saja aku yang paling cepat, karena Tya tidak bisa bergerak sesuka hatinya untuk mengambil potongan-potongan lego yang tercecer saling berjauhan. Tapi, Tya senang saja kalau aku menang. Tya tetap tersenyum dengan binar matanya yang indah dan penuh semangat.
Pertemanan terus berlanjut hingga…
***
Bagaimana aku tidak menyukainya dan ingin melindunginya…
Ya Allah… bantulah aku untuk bisa mengendalikan hati…
Katya mengetuk pintu kelas IPA 2-3, itu kelasnya, kelas putra dan kelasku. Seluruh kelas yang sedang khusyuk mengerjakan soal kimia menoleh lalu terperanjat. Termasuk aku, namun aku segera menekuri kembali kertas bertabur angka dihadapanku. Walau sejujurnya, aku sedang tidak bisa berkonsentrasi karena kedatangan Tya. Aku terlalu ehm…bisa dikatakan…iba…sedih…kasihan…dan ingin melindunginya hingga hatiku begitu terasa nyeri. Kucoba menghela napas diam-diam, lalu kembali beristighfar.
Katya masih tampak pucat, walau begitu ia berusaha menampilkan wajah yang ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Sungguh binar matanya tak berubah, masih penuh semangat. Aku menghela napas berat diam-diam. Dasar keras kepala! Kenapa dia memaksakan diri ikut kuis Kimia sih? padahal satu setengah jam yang lalu baru saja pingsan. Kenapa dia nggak istirahat total saja. Kenapa dia begitu gigih? Kenapa dia begitu tegar dan sabar? Huh…aku menghela napas lagi.
Katya yang ceria, menampakkan muka cerah dan selalu tersenyum. Seakan-akan ia sehat-sehat saja. Semua orang tak pernah menyangka ternyata Katya mudah sekali migraine dan jatuh pingsan. Namun, itu tak menghalanginya untuk terus belajar, berdakwah kesana kemari, berprestasi. Ah, Bagaimana aku tidak ingin melindunginya?
Seandainya bisa, aku ingin sekali mencegah dia ikut kelas kimia sekarang. tapi, segera kuredam pikiran itu, Allah aku ingin memohon satu permohonan, yaitu kuatkan Tya. Meskipun diri ini tidak bisa memberikan pertolongan karena memang siapa aku,  tapi aku percaya pada pertolonganMu.  Setelah berdoa, kucoba memejamkan mata dan mengusir bayang-bayang Tya dari benakku. Dan aku mulai tenggelam dalam buaian rumus kimia yang memusingkan.
***
Pertemanan kami terus berlanjut hingga….
Kami beranjak besar dan saatnya menapaki SMP. Kami yang sama-sama mulai mengerti bagaimana batasan pergaulan dalam Islam dan mulai menstandarisasi semua tingkah laku kami dengan Al-Quran dan Sunnah mulai saling menjaga. Baiklah, tidak apa-apa, memang jika menyangkut masalah yang pribadi dalam Islam kami tidak boleh membicarakannya dan berinteraksi. Namun, jika masalah non pribadi baru kami berinteraksi. Tapi, kemudian aku merasa mulai ada yang hilang.
Hey, saat SMP aku merasakan bahwa aku sayang Tya seperti kakak kepada adik. Namun, kini aku mengerti bahwa aplikasinya harus distandarisasi dengan hukum Allah. Bahwa aku dan Tya bukan mahram. Artinya kami tidak boleh saling berinteraksi kecuali dalam perkara-perkara yang diperbolehkan Allah, seperti pendidikan, kesehatan, jual beli. Sehingga secara otomatis, kami saling menjaga pergaulan masing-masing.
Kini aku hanya mampu membantu Tya dengan doa.
Bisakah kamu merasakan perasaanku? Ketika ada orang yang biasanya kamu hibur, dan sekarang kamu tidak bisa menghiburnya kapan saja.
Ada teman kecilmu kesakitan namun kamu hanya bisa mendoakannya?
Seperti saat itu, diakhir kelas  kelas satu SMA.
“Ada aksi damai di depan Istana Merdeka besok,”kataku pada Putra, Putra menggangguk setuju.
“Temanya tentang Pendidikan, ya? Aku juga dapat info nih,” Tanya Putra.
“Iya tentang pendidikan yang kapitalistik, yang punya duit yang bisa sekolah, gila banget! Bahkan kepala Negara kita yang ngakunya Islam nggak pake aturan Al-Quran,”
“Sekolah kita gimana?” putra melancarkan pertanyaan kedua sambil mengangguk setuju, aku membalasnya dengan tersenyum simpul.
“Semoga Allah memudahkan kita.” Putra mengamini.
Kami (maksudnya bukan hanya kami berdua, ada beberapa teman lainnya ) harus menjalankan amar ma’ruf nahiiy munkar yaitu mengingatkan para penguasa tentang zalimnya peraturan yang telah mereka buat. Kami para pendakwah harus turun ke jalan. Melakukan aksi damai dengan menyuarakan kebenaran.
Saat sampai di depan istana Merdeka, aku bergabung dengan barisan laki-laki yang bisa juga disebut ikhwan, sedangkan Tya dan dua orang kawannya bergabung dengan barisan perempuan (akhwat). Dimulai dengan orasi, longmarch dan ditutup dengan orasi lagi selama hamper dua jam dibawah terik matahari dzuhur yang menyengat. Tak menyurutkan langkah maupun semangat kami untuk mengingatkan para penguasa yang zalim itu. Asma Allah tak henti-hentinya digaungkan.
Begitu selesai acara aku bergegas pulang, mau tidak mau pasti searah dengan Tya pulang. Yah, kalian tahu sendiri kenapa. Kami menaiki kereta yang sama, tapi ia berada di gerbong khusus wanita, sempat kulihat bibirnya memucat dan gemetar. Aku …aku…aku… yakin itu tanda awal penyakit Tya kambuh. Tya yang duduk di pojok, mulai meraba-raba tasnya mencari sesuatu. Harusnya ia mengeluarkan obat berwarna hitam yang sejak dulu ia minum. Benar saja, Tya membuka mengambil beberapa butir dan menelannya dengan bantuan air. Setelah tertelan ia memejamkan mata, bibirnya masih bergetar dan berwarna pucat. Ia senderkan kepalanya ke kaca jendela sambil terpejam, jelas sekali ia menahan rasa sakit itu.
Kamu tahu bagaimana perasaanku? Ngilu…karena tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali mendoakannya. Aku  menghela napas berat dan akhirnya menundukkan pandanganku.
Tidak hanya berhenti disitu rasa ngiluku…
Ketika turun dari kereta ia terlihat sempoyongan dan kembali memejamkan mata menahan rasa sakit. Ia berjalan pelan sekali. Aku sungguh tak tega meninggalkannya. Tapi, aku cemas. bolehkah aku melakukan hal seperti ini terhadap orang yang bukan mahramku?
Bagaimana ini?
Jika aku menelpon ibunda Tya, aku takut Tya akan dimarahi. Karena aku tahu-seperti kebiasaan Tya- ia pasti berjanji akan baik-baik saja mengikuti aksi damai seperti ini.
Jika aku menelpon ibuku, Tya pasti tahu kalau aku yang menelpon?
Apa yang harus kulakukan, Allah?
Dengan berat hati, kubiarkan Tya menempuh pilihannya sendiri dengan menanggung resiko yang telah ia ketahui. Aku akan menjaga jarak dari belakang, hanya sekedar berjaga-jaga. Semoga tidak terjadi apa-apa.
Aku tahu langkahnya berat. Meski lama ia terus melangkah maju.
Perjuangannya untuk terus maju membuat hatiku semakin ngilu. Karena aku Cuma bisa jadi penonton. Hanya penonton. Ngilu sekali. Aku ingin berbuat sesuatu…
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada ia berdiam diri sejenak sebelum masuk rumah. Seperti kebiasaannya, ia akan menyiapkan senyum terbaiknya untuk keluarganya. Aku dari jauh melihatnya dengan mata berkabut. Hatiku masih tetap ngilu pedih.
Setelah itu, aku beristighfar sebanyak-banyaknya. Aku ingat bahwa hatiku masih terlalu rapuh ternyata untuk menyaring jejak-jejaknya. Dan aku akan terus mencoba. Mencoba mengelola hatiku dengan baik dan benar ( ah, seperti jawaban esai saja ‘jawablah dengan baik dan benar’).
***
Semua orang tahu kalau Katya sedang sakit, dan ia selalu menolak jika disebut sakit. Serta kadang-kadang membuat kesal orang lain karena sikap keras kepalanya itu.
“Katya kan sedang sakit, kenapa nggak istirahat saja?” Tanya Eka, teman sekelas kita suatu hari.
“Ssst… doakan aku sehat hari ini, jangan katakan aku masih sakit. Ntar aku tersugesti sama kata-kata sakit, sugesti aku dengan kata-kata sehat aja,” elaknya.
Di hari lain, ada sebuah pertanyaan untuknya.
“Tya kenapa terus berdakwah kemana-mana, kan capek dan menghabiskan tenaga, lebih baik kamu di rumah dan istirahat,”
Ia menjawab, “Selama aku masih sanggup kenapa tidak? Kenapa aku milih untuk terus berdakwah, karena aku ingin memanfaatkan sisa umurku dengan sebaik-baiknya. Karena kesempatanku tidak seluas kalian lagi,”
Aku tertegun, apa maksud perkataannya?
***
Bolehkah aku mencintainya secara halal?
Bolehkah aku melindunginya secara sempurna?
Bolehkah aku membantu ia berdiri, berjalan dan berlari mengawal mimpi Ilahi?

Diawal kelas tiga, papan absensi semakin sering mengukir namanya, kursinya juga sering dilewati angin sepi, tawanya juga semakin jarang terdengar lagi.
Kulihat ia setiap sore semakin sering duduk di beranda dengan kursi rodanya, seperti dulu saat kecil. Mulutnya komat-kamit menghapal ayat-ayat Al-Quran, wajah anggunnya semakin pucat namun tampak kedamaian disana, badannya dibalut sweater biru tebal, tangannya menggenggam Al-Quran berukuran sedang.
Meski raganya semakin jarang bersama kami, namun tulisan-tulisan dakwahnya selalu berganti setiap harinya di madding rohis. Ia juga terus mengisi kajian mungil mingguan di rumahnya.
Allah, bagaimana aku tidak ingin melindunginya…
Hatiku ngilu sekali melihatnya…
***
Sosok di hadapanku begitu anggun dan damai, ia sedang tertidur ditemani murottal yang mengalun lembut disampingnya, ia mengenggam tangan kananku. Aku mengusap rambutnya yang panjang hitam, seperti waktu kecil dulu dan tidak berubah, membenarkan selimutnya dengan tangan kiriku, membenarkan infuse di sampingnya.
Teringat olehku beberapa waktu yang lalu, aku bernazar jika aku dapat mencapai UAN dengan sempurna aku akan membuat Katya halal bagiku. Jika waktu Katya masih cukup di dunia ini. Nilai UANku ternyata sempurna. Maka, ku bulatkan tekad untuk mengkhitbahnya. Rasa gugup ternyata juga sanggup menyerangku saat itu.
“Kenapa kamu ingin bersamaku?” Tanya Katya yang berbaring diatas tempat tidurnya, tidak kuat untuk duduk.
“Aku ingin melindungimu, menjagamu, secara halal sesuai perintah Allah,” kujawab sejujurnya.
“ Aku tidak dapat memberimu apa-apa selain menyusahkan, kamu tahu itu?” Tanyanya lagi dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tidak minta apa-apa darimu Tya, jangan khawatir,”
“Kamu tahu, kalau umurku mungkin tidak akan sepanjang umurmu?” tanyanya lagi, kali ini airmatanya sudah menganak sungai di pipinya.
“Aku tidak peduli,” jawabku mantap. Aku tidak peduli dengan segala kekuranganmu Tya, aku sungguh tidak minta apapun darimu. Sungguh. Percayalah, kenapa begitu sulit untuk percaya.
Ibu Tya disampingnya sudah berlinang air mata dalam diam.
“ Diluar sana, masih banyak gadis yang lebih baik dariku, lebih segalanya, yang dapat memenuhi kewajibannya sebagai istri secara sempurna, pilihlah yang memenuhi tujuan dari pernikahan itu sendiri,”
Hatiku bergetar, “ Pilihanku hanya ada padamu,Tya… bukan yang lain,”
Linangan air mata Tya semakin deras, “Aku tidak akan mampu memenuhi kewajiban dan hakmu sebagai seorang istri nantinya. Berpikirlah dulu selama tiga hari.”
Aku menunduk sambil menghela napas dalam, “aku sudah memikirkan ini ribuan kali, dan jawabanku akan tetap sama tapi baiklah tiga hari lagi aku akan kembali,” aku bangkit mohon diri dikuti ayahku yang menepuk-nepuk pundakku menenangkan dan memberikan kekuatan. Aku tidak akan berubah pikiran.
Tiga hari terasa begitu lama, hingga akhirnya waktu menghadap tiba.
“Jawabanku tetap sama, dan tidak berubah,” kataku lugas pada saat itu.
Semua yang hadir di ruangan itu menahan napas, termasuk aku yang mungkin sudah tidak bisa bernapas lagi mungkin saking tegangnya.
Beberapa detik berlalu, Katya masih mengatupkan mulut.
Beberapa detik kemudian, akhirnya Katya meneteskan airmata sambil mengangguk. Semua orang bertasbih. Hatiku luruh, jiwaku terasa lapang, aku membenamkan diri dalam sujud syukur.
Pernikahanku pun tidak mewah, sederhana dan hikmat. Saat itu, Katya memakai jilbab putih dengan bordir jawa yang indah, terduduk diatas kursi roda, bibirnya tersenyum tapi matanya menangis. Untuk kali pertama ia mencium tanganku sebagai seorang suami. Hatiku terasa damai.
Allah, nikmat manakah yang aku dustakan, wahai pemilik dunia dan seiisinya.
***
Lihat…lihat…Katya begitu cantik, dengan balutan jilbab dan kerudungnya ia sedang menghapal Al-Quran diatas kasurnya. Ia tidak bisa kemana-mana lagi. Kekuatannya berkurang drastis.  Aku mengenggam tangannya yang rapuh.
“ Terima kasih, Alfa… terimakasih atas semuanya,” kata Katya sambil menatapku dengan mata hitamnya yang dalam seusai membaca Al-Quran.
“Ssst… tidak perlu ada ucapan terimakasih,”
“Baiklah, apa yang Alfa inginkan yang bisa aku lakukan, katakan saja,” kata Katya bersemangat.
“Aku ingin…ehm….ehm…kamu menemaniku bermain,” kedipku jahil.
“Bermain apa?” Katya waswas,mendengar jawabanku.
“…Lego,” Katya tertawa saat aku mengatakannya. Aku suka saat ia tertawa. Allah, biarkan ia terus tertawa.
“Baiklah…mana legonya?”
“Wait a minutes,”aku segera menghilang dari hadapannya, mengambil kotak lego yang sebesar kardus mi dari rumahku.  Lalu, membawanya secepat kilat ke hadapan Tya. Tya menyambutku dengan senyum lebar.
“Ini lego jaman dulu itu ya?” katanya, aku terkekeh tidak mengiyakan tidak juga membantah.
“Kita berlomba ya…” seruku semangat.
“Oke, kali ini aku yang akan menang,” kata Katya renyah.
“Tidak akan,” balasku tak kalah semangat.
Lima menit sudah berlalu. Dan aku tetap menjadi sang pemenang. Aku tidak akan pura-pura kalah karena ia akan marah jika aku berpura-pura mengalah. Lihat ia tersenyum seperti dulu setiap aku menang. Aku balas tersenyum.
“Lalu apa yang kamu inginkan yang bisa aku penuhi,” tanyaku. Tiba-tiba mata Tya berkabut, apa aku salah ngomong?
“Semuanya sudah kamu lakukan dengan baik, semuanya, hanya saja aku ingin kamu ikhlas punya istri dengan keadaan seperti ini,” suara bergetar dalam, matanya berkaca-kaca tapi bibirnya tersenyum.
Aku tercekat, lalu memeluknya dan berbisik “ aku ikhlas…sangat ikhlas insya Allah,”
Bahuku terasa basah, Katya menangis, aku semakin tidak ingin melepaskannya.
“Jika aku dipanggil Allah, ikhlaskah kamu, Alfa?” pertanyaan yang menjatuhkan hatiku.
“Ini permintaanku,” katanya lagi, kurasakan bahunya terguncang.
“Aku…aku…” suaraku tertanam di kerongkongan, aku tidak bisa mengeluarkan suara, “ Insya Allah, aku akan berusaha ikhlas,..” akhirnya kuucapkan juga. Tapi, kenapa terasa begitu berat.
“Terima kasih…terimakasih…” isak Katya dipelukanku. Aku diam-diam juga berlinang air mata.
***
Gundukan tanah dihadapanku sudah tak merah lagi. Selepas pulang kuliah, aku menyempatkan diri  berkunjung ke sini. Membersihkan bunga-bunga liar yang semakin liar tumbuh dimana-mana.
Aku mengusap nisan bertuliskan Katyanadevi, meninggal empat tahun yang lalu. Tapi, aku merasa baru saja kemarin bermain lego dengannya untuk terakhir kalinya.
Aku memandangi nisan itu. Katya aku terus mencoba untuk mengikhlaskanmu.

Zwan

1 January 2012

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...