Ini suaraku, hakku dan kewajibanku.
Kawan, mari duduk-duduk santai sejenak, seraya menikmati angin
sepoi muson barat di negri tercinta. Serta menyimak baik-baik hilir mudik
berbagai macam suara di sekitar kita, dan menyiapkan akal budi untuk mencerna suara-suara
itu.
Sebulan yang lalu, kita disapa kasus kebebasan berpendapat yang
fenomenal. Makian Florence Sihombing (8/9/14) di salah satu jejaring social
menuai respon luar biasa dari masyarakat Jogja. Kebebasan berpendapat yang
diambang batas. Sebaliknya, curhatan Prita (6/7/09) yang menyuarakan
kekecewaannya terhadapa salah satu rumah sakit melalui surel kepada temannya
menuai bui. Kebebasan bicara yang ditekan.
Berpendapat adalah hak alami manusia. John Locke mengatakan,
manusia adalah manusia. Terlepas dari semua perannya di permerintah atau
masyarakat, manusia mempunyai hak tertentu yang tidak pernah boleh diserahkan
atau dirampas. Bahkan, jika pemerintah mencoba merampas hak-hak tersebut, maka
manusia dibenarkan melakukan revolusi untuk merubah pemerintahan.
John Stuart Mill (1806-1873) dalam karya klasiknya On Liberty
(1859) menjelaskan pentingnya kebebasan berbicara. Menurutnya, kebebasan
berpendapat adalah refleksi kata hati yang paling sempurna. Selain itu, Mill
mengeluarkan teori fenomenalnya dari empat sudut pandang yang berbeda. Salah
satu sudut pandangnya adalah pendapat yang salah, bisa jadi ada benarnya. Pun
sebaliknya. Pencarian kebenaran menuntut sebuah diskusi, pertukaran pendapat dibutuhkan
sehingga kebebasan berbicara diperlukan.
Hak untuk menyalurkan aspirasi di Indonesia tertuang dalam amanat
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 28, “Kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-Undang”. Hal ini sejalan dengan Pasal Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia yang menjelaskan: “Setiap orang berhak atas
kebebesan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan
dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan
cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Namun, benarkah kita berhak mengeluarkan pendapat sebebas-bebasnya?
Berpikir seenaknya? Tanpa memandang aspek-aspek yang perlu diperhatikan?
Bertanggung jawab adalah kewajiban bawaan setiap manusia. Kebebasan
berpendapat pun harus bertanggung jawab. Berangkat dari sifat alamiah manusia
sebagai makhluk sosial dan hidup tidak terpisah dari kehidupan suatu
masyarakat. Meskipun, derajat kebersamaan antar satu masyarakat dan masyarakat lainnya
berbeda-beda. Manusia tetap makhluk sosial.
Sehingga, pada pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
menuturkan kebebasan berpendapat setiap orang harus tunduk pada pembatasan yang
ditentukan oleh undang-undang, hak serta
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi
moralitas, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis, dan
tidak bertentangan dengan asas Perserikatan Bangsa- Bangsa.
Asas perserikatan bangsa-bangsa antara lain, asas keseimbangan
antar hak dan kewajiban, asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan
keadilan, asas proporsionalitas, dan asas manfaat. Kelima azas ini digunakan
sebagai landasan kebebasan yang bertanggungjawab dalam berpikir dan
beraktivitas untuk menyampaikan pendapat.
Ada hal menarik yang diingkari dari kelima azas tersebut, yaitu
azas ketuhanan. Lumrah memang jika azas yang sekuleristik selalu
mengesampingkan azas ketuhanan. Padahal, terlepas dari peran apapun manusia di
dunia, manusia selalu makhluk Tuhan. Apapun kepercayaannya. Sehingga, kaidah
pertanggungjawaban terhadap Tuhan selayaknya juga harus selalu diperhatikan
bagi manusia yang beriman.
Maka, hela napas sejenak sebelum bersuara. Gunakan rasio dan etika
saat berbicara. Seringkali, bukan pada apa yang kita sampaikan. Tapi, bagaimana
kita menyampaikan hak kita. Suara kita, memang hak kita, namun ia berkorelasi
kuat dengan kewajiban yang membersamai.
Fakhirah Inayaturrobbani
Psikologi
UGM 2014
Comments
Post a Comment