Born to be Secretary?!

Born to be Secretary?! Apakah saya benar-benar digariskan untuk menjadi sekretaris? Coba tanyakan pada rumput yang berdisko (halah!). Saya nggak tahu kenapa, rasanya memang saya sering sekali ketiban untung jadi sekretaris.
Sekretaris, Secretary, Secretaris(Belanda), Segretario (Italia), Secrétaire (Prancis), Sekretärin(Jerman), Setiausaha (Melayu), Kirani (Malaysia), Hisho (Jepang), Biseo (Korea), Scriba (Latin), секретарь(baca:sekretar)(Rusia), Secretario (Spanyol), Grammatéas (yunani), Kaatibah (Arab) dan apapun itu namanya...tetap sekretaris.
Secara keren definisi sekretaris tuh, “ a person whose work consists of supporting management, including executives, using a variety of project management, communication & organizational skills”(wikipedia.com).  bla...bla...keriting kan bacanya, saya juga. Secara kerjaan,  Traditionally, these duties were mostly related to correspondence, such as the typing out of letters, maintaining files of paper documents, etc.
Secara terjemahan bebasnya mungkin seperti ini, Sekretaris adalah orang yang suka pusing berurusan sama benda mati dan hidup. Benda mati ini berupa kertas, aplikasi dll sementara yang dimaksud pusing dengan benda hidupnya adalah berurusan dengan si Bos. (hahaha, maaf bos).
Whateverlah apa artinya sekretaris kalau ternyata itu ngga membuat saya terbebas dari garis takdir seorang sekretaris (lebay!). Pengalaman kesekretariatan saya sebenarnya nggak banyak, seinget saya dulu pas SD dari kelas dua SD sampai 5 SD bulan-bulanan diminta jadi sekretaris. Pas di SMP saya sekretaris angkatan. Pak SMA saya sekretaris Osis dan sekretaris LDK 1 dan LKMA.
Pengalaman-pengalaman ini nggak lantas membuat saya lantas  jago jadi sekretaris ternyata. Malah semakin jago ngeles dari pekerjaan yang diberikan  ketua (hehehe). Saya jago juga untuk membuat sang bos yang melakukannya sendiri (yang ini rahasia perusahaan saya). Kadang mungkin mereka bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang sekretaris siapa bosnya?!
Saya nggak tahu pastinya penyebab saya diperdayai (bukan dipercayai) jadi sekretaris. Secara saya itu orangnya nggak bakat punya bos, tapi bakat jadi independen woman. I wanna do my own duties gitu lah. Tapi, memang Allah itu nggak akan membiarkan hambanya egois, dilatihlah saya sama Beliau Gusti Nu Agung, untuk bisa jadi orang yang kooperatif, ceilah bahasa saya tinggi sekali... kooperatif itu sejenis koperasi gitu mungkin.
Bisa jadi penyebabnya macam-macam, selidik punya selidik yang sebenarnya nggak pernah saya selidiki sampai selidik-lidiknya (bahasa macam apa itu?)-________-. Ada beberapa kemungkinan:
1.                        Karena saya ga mau jadi sekretaris! Laah!?? Ya, saya itu selalu berharap untuk jadi anggota biasa terus dari kelas 1 SD. Karena saya orangnya ternyata pemalas naudzubillah. Saya suka malas ngerjain sesuatu yang ngurusin orang lain (licik.com).
2.                        Karena tampang saya sangar! Bisa jadi yang ini masuk akal. Karena, memang tugas sekretaris itu nggak mudah, lebih sulit daripada nggak jadi apa-apa (yaiyalah^*6766%&^&*%^&). Ada pengalaman cukup horor terkait tampang dan sikap saya yang bak parateka (bukan karateka, parateka itu sekumpulan anak-anak teka jadi disebut para teka hehe).

#Pengalaman 1#
Jaman dahulu kala, saat semua anak berumur 18 tahun seperti saya ini masih mengenakan seragam merah putih, hiduplah seorang saya yang dikenal lucu, menggemaskan dan licik. Suatu hari saya itu diminta menulis di papan tulis pelajaran hari ini, karena sang guru tidak dapat hadir. Seperti biasa saya melaksanakan tugas itu dengan baik, saya mulai menulis di papan tulis, dan seperti biasa juga teman-teman malas menulis apa yang saya tulis. Karena pesan dari sang guru agar semua murid  mencatat. Malahan murid-murid cowoknya pada main bola, kejar-kejaran. Arggghhh...akhirnya taring siluman saya yang saya sembunyikan di balik pintu (nah?!) keluar juga.
“Duduk kalian semua!” teriak saya dengan kencang. Singg....nggak ada yang ngegubris. Tetap saja mereka pada berhahahihihi...
Sekali saya mencoba berteriak,
“DUDUKKKKKK! NULISSS!”
Cacat banget nggak ada yang denger...huhuhu...
Entah kekuatan apa yang membuat saya jadi pendekar... Tiba-tiba, saya menyeret semua anak laki-laki ke bangku mereka. Seramnya, sekali tarikan, ada yang kacing bajunya copot (dasar itu mah emang kancing bajunya nggak mutu hohoho), dasinya terlepas, jatuh ngedebug di bangku saking kerasnya saya narik kerah baju teman-teman cowok saya. Hingga sekarang kalau ketemuan, masih sering diungkit-ungkit T_T, resiko punya banyak fans memang gitu.

#Pengalaman 2#
Saya memang nggak punya bakat bertampang melas, apalagi badan saya bukan tipe badan kurus kering. Jadi, saya juga nggak punya bakat untuk tampil mengiba, karena bagaimanapun orang lebih sering lihat tampang serem saya. Padahal, jika mereka tahu, saya itu baik hati sekali, tambah baik hati lagi kalau sebelumnya disogok duit milyaran (cckk, nggak usah masem gitu, saya memang hebat hehehe).
   Nggak terlepas dari kisah saya sebagai sekretaris. Cerita ini saat saya SMP. Karena setiap angkatan itu punya sekretaris, yang kerjaannya kalau kita mau ngapa-ngapain harus minta izin dulu sama pihak sekolah. Seperti, izin nggak ikut ekskul, izin nggak ikut pelajaran non eksak, izin mau kabur (ini mah nggak usah minta izin, kabur-kabur aja kali) pokoknya izin-izin yang lain ke Sekbid-Sekbid Osis dan Osis itu sendiri.
   Padahal untuk izin mengurus semua itu, birokrasi di sekolah saya itu cukup susah, banyak tanda tangan yang harus didapatkan. Jadi, seorang sekretaris itu kadang-kadang disebut fans para ketua (hahahaha), gara-garanya nguber tanda tangan mereka mulu, baik dari ketua angkatan, ketua Osis, Kepala Sekolah dan Kepala-Kepala yang lain.
   Nggak jarang kita harus siap teh botol sosro, gara-garanya makan ati terus (halah).  Seringnya kita udah nyari para idola kita untuk dimintain tanda tangan, tapi ternyata beliaunya nggak ada, kemanalah, atau sibuklah.
Rasanya kata-kata mana janji manismu?  Kadang tepat buat saya, soalnya kadang-kadang kita disuruh nunggu untuk dapetin legalisasi karena sang bos sedang sibuk. Semenit, dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit, tujuh menit, satu jam, dua jam,
“Pak, mana si bapak ini........” tanya saya.
“Lah, udah pergi mbak,”
“Oh, begitu, saya pamit dulu” kata saya kalem, padahal, APA!!!!??!!!!?!!*&(?1&@#8*&097*(&67*^&%$%7&^%^9)

#Pengalaman 3#
   Dedikasi adalah syarat penting sebuah profesionalitas. Bagaimana dengan saya? Profesionalitas bagi saya sangat penting, karena apapun nama kita dipertaruhkan. Meski kadang-kadang, saya tidak cukup profesional. Pernah, suatu waktu saat saya sedang dalam minggu ujian. Saya diminta untuk membuat surat, proposal, tata tertib, petunjuk teknis, dll. Padahal besok saya mau ujian matematika. Hufh. Saya itu matematikanya jongkok banget, plus ketibab tangga, dan nggak bangun-bangun. Pokoknya parah banget deh. Jadi bagaimanapun untuk bangun dari jongkok sampai taraf berlutut aja, saya harus belajar banget.
Tapi, karena kalau ini nggak jadi acara besok jadi ancur, akhirnya saya harus relain untuk fokus ke ini dulu. Urusan orang banyak harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. Akhirnya saja kerjakanlah surat-surat itu, karena harus disetor besok pagi jam 7. Baiklah. Semangat.
Setelah begadangan, lanjut paginya, ternyata belum kelar padahal jam 7 itu kurang lima menit lagi. Saya kebut lagi. Cepat! Jam 7.15 bel ujian berbunyi.
Setelah selesai, saya berlari sebisanya menuju kampus sekolah saya. Semua sudah berbaris rapi di depan kelas untuk berdoa. Saya semakin bingung karena seharusnya sekarang ada apel untuk mengumumkan juklak yang saya buat.
Saya segera datang ke kantor, dan dapat kabar. Pengumuman ditunda hingga 3 hari kedepan. Saya tersentak. Terdiam. Rasanya luar biasa sesak. Entah apa yang saya rasakan, hingga saya enggan masuk ke dalam kelas, karena saya memang nggak belajar sama sekali, dan menangis berburai airmata hingga ujian setengah berjalan.
Kalau ingat itu sekarang sih senyum aja. Karena saya memang bukan satu-satunya di dunia ini yang mengalami hal itu. Tentu saja, ketua saya pasti lebih sering mengalami hal itu. Orang-orang lain bahkan mungkin makanan sehari-harinya adalah dedikasi penuh pengorbanan.
Meski demikian, itu Cuma sekelumit pengalaman. Bagaimanapun, saya bersyukur dapat menjadi orang beruntung yang diberi kesempatan menguji diri di bidang ini. mungkin, teman-teman sering diuji dengan berbagai hal lain berulang-ulang. Coba, mari kita pikirkan bersama. Sepertinya ada banyak hikmah yang bisa diambil dari terulang-ulangnya ujian yang sama.
Begitulah, saya banyak belajar dari ‘seorang sekretaris’. Bagaimana dengan kamu? Apa pelajaran yang dapat kita petik dari hidup kita?


Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...

Menajamkan Ruhiyah