Born to be Secretary?!

Secara
terjemahan bebasnya mungkin seperti ini, Sekretaris adalah orang yang suka
pusing berurusan sama benda mati dan hidup. Benda mati ini berupa kertas,
aplikasi dll sementara yang dimaksud pusing dengan benda hidupnya adalah
berurusan dengan si Bos. (hahaha, maaf bos).
Whateverlah apa artinya sekretaris kalau ternyata
itu ngga membuat saya terbebas dari garis takdir seorang sekretaris (lebay!).
Pengalaman kesekretariatan saya sebenarnya nggak banyak, seinget saya dulu pas
SD dari kelas dua SD sampai 5 SD bulan-bulanan diminta jadi sekretaris. Pas di
SMP saya sekretaris angkatan. Pak SMA saya sekretaris Osis dan sekretaris LDK 1
dan LKMA.
Pengalaman-pengalaman
ini nggak lantas membuat saya lantas jago jadi sekretaris ternyata. Malah semakin
jago ngeles dari pekerjaan yang diberikan
ketua (hehehe). Saya jago juga untuk membuat sang bos yang melakukannya
sendiri (yang ini rahasia perusahaan saya). Kadang mungkin mereka
bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang sekretaris siapa bosnya?!
Saya
nggak tahu pastinya penyebab saya diperdayai (bukan dipercayai) jadi
sekretaris. Secara saya itu orangnya nggak bakat punya bos, tapi bakat jadi
independen woman. I wanna do my own duties gitu lah. Tapi, memang Allah itu
nggak akan membiarkan hambanya egois, dilatihlah saya sama Beliau Gusti Nu
Agung, untuk bisa jadi orang yang kooperatif, ceilah bahasa saya tinggi
sekali... kooperatif itu sejenis koperasi gitu mungkin.
Bisa
jadi penyebabnya macam-macam, selidik punya selidik yang sebenarnya nggak
pernah saya selidiki sampai selidik-lidiknya (bahasa macam apa itu?)-________-.
Ada beberapa kemungkinan:
1.
Karena saya ga mau jadi
sekretaris! Laah!?? Ya,
saya itu selalu berharap untuk jadi anggota biasa terus dari kelas 1 SD. Karena
saya orangnya ternyata pemalas naudzubillah. Saya suka malas ngerjain sesuatu
yang ngurusin orang lain (licik.com).
2.
Karena tampang saya sangar! Bisa jadi yang ini masuk akal. Karena,
memang tugas sekretaris itu nggak mudah, lebih sulit daripada nggak jadi apa-apa
(yaiyalah^*6766%&^&*%^&). Ada pengalaman cukup horor terkait
tampang dan sikap saya yang bak parateka (bukan karateka, parateka itu
sekumpulan anak-anak teka jadi disebut para teka hehe).
#Pengalaman
1#
Jaman dahulu kala, saat semua
anak berumur 18 tahun seperti saya ini masih mengenakan seragam merah putih,
hiduplah seorang saya yang dikenal lucu, menggemaskan dan licik. Suatu hari
saya itu diminta menulis di papan tulis pelajaran hari ini, karena sang guru
tidak dapat hadir. Seperti biasa saya melaksanakan tugas itu dengan baik, saya
mulai menulis di papan tulis, dan seperti biasa juga teman-teman malas menulis
apa yang saya tulis. Karena pesan dari sang guru agar semua murid mencatat. Malahan murid-murid cowoknya pada
main bola, kejar-kejaran. Arggghhh...akhirnya taring siluman saya yang saya
sembunyikan di balik pintu (nah?!) keluar juga.
“Duduk kalian semua!” teriak
saya dengan kencang. Singg....nggak ada yang ngegubris. Tetap saja mereka pada
berhahahihihi...
Sekali saya mencoba
berteriak,
“DUDUKKKKKK! NULISSS!”
Cacat banget nggak ada yang
denger...huhuhu...
Entah kekuatan apa yang
membuat saya jadi pendekar... Tiba-tiba, saya menyeret semua anak laki-laki ke
bangku mereka. Seramnya, sekali tarikan, ada yang kacing bajunya copot (dasar
itu mah emang kancing bajunya nggak mutu hohoho), dasinya terlepas, jatuh
ngedebug di bangku saking kerasnya saya narik kerah baju teman-teman cowok
saya. Hingga sekarang kalau ketemuan, masih sering diungkit-ungkit T_T, resiko
punya banyak fans memang gitu.
#Pengalaman 2#
Saya memang nggak punya bakat
bertampang melas, apalagi badan saya bukan tipe badan kurus kering. Jadi, saya
juga nggak punya bakat untuk tampil mengiba, karena bagaimanapun orang lebih
sering lihat tampang serem saya. Padahal, jika mereka tahu, saya itu baik hati
sekali, tambah baik hati lagi kalau sebelumnya disogok duit milyaran (cckk,
nggak usah masem gitu, saya memang hebat hehehe).
Nggak terlepas dari kisah saya sebagai sekretaris. Cerita ini saat
saya SMP. Karena setiap angkatan itu punya sekretaris, yang kerjaannya kalau
kita mau ngapa-ngapain harus minta izin dulu sama pihak sekolah. Seperti, izin
nggak ikut ekskul, izin nggak ikut pelajaran non eksak, izin mau kabur (ini mah
nggak usah minta izin, kabur-kabur aja kali) pokoknya izin-izin yang lain ke
Sekbid-Sekbid Osis dan Osis itu sendiri.
Padahal untuk izin mengurus semua itu, birokrasi di sekolah saya
itu cukup susah, banyak tanda tangan yang harus didapatkan. Jadi, seorang
sekretaris itu kadang-kadang disebut fans para ketua (hahahaha), gara-garanya
nguber tanda tangan mereka mulu, baik dari ketua angkatan, ketua Osis, Kepala
Sekolah dan Kepala-Kepala yang lain.
Nggak jarang kita harus siap teh botol sosro, gara-garanya makan
ati terus (halah). Seringnya kita udah
nyari para idola kita untuk dimintain tanda tangan, tapi ternyata beliaunya
nggak ada, kemanalah, atau sibuklah.
Rasanya kata-kata mana janji manismu? Kadang tepat buat saya, soalnya kadang-kadang
kita disuruh nunggu untuk dapetin legalisasi karena sang bos sedang sibuk.
Semenit, dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit, tujuh menit, satu jam,
dua jam,
“Pak, mana si bapak
ini........” tanya saya.
“Lah, udah pergi mbak,”
“Oh, begitu, saya pamit dulu”
kata saya kalem, padahal, APA!!!!??!!!!?!!*&(?1&@#8*&097*(&67*^&%$%7&^%^9)
#Pengalaman
3#
Dedikasi adalah syarat penting sebuah
profesionalitas. Bagaimana dengan saya? Profesionalitas bagi saya sangat
penting, karena apapun nama kita dipertaruhkan. Meski kadang-kadang, saya tidak
cukup profesional. Pernah, suatu waktu saat saya sedang dalam minggu ujian.
Saya diminta untuk membuat surat, proposal, tata tertib, petunjuk teknis, dll.
Padahal besok saya mau ujian matematika. Hufh. Saya itu matematikanya jongkok
banget, plus ketibab tangga, dan nggak bangun-bangun. Pokoknya parah banget
deh. Jadi bagaimanapun untuk bangun dari jongkok sampai taraf berlutut aja,
saya harus belajar banget.
Tapi,
karena kalau ini nggak jadi acara besok jadi ancur, akhirnya saya harus relain
untuk fokus ke ini dulu. Urusan orang banyak harus didahulukan daripada
kepentingan pribadi. Akhirnya saja kerjakanlah surat-surat itu, karena harus
disetor besok pagi jam 7. Baiklah. Semangat.
Setelah
begadangan, lanjut paginya, ternyata belum kelar padahal jam 7 itu kurang lima
menit lagi. Saya kebut lagi. Cepat! Jam 7.15 bel ujian berbunyi.
Setelah
selesai, saya berlari sebisanya menuju kampus sekolah saya. Semua sudah
berbaris rapi di depan kelas untuk berdoa. Saya semakin bingung karena
seharusnya sekarang ada apel untuk mengumumkan juklak yang saya buat.
Saya
segera datang ke kantor, dan dapat kabar. Pengumuman ditunda hingga 3 hari
kedepan. Saya tersentak. Terdiam. Rasanya luar biasa sesak. Entah apa yang saya
rasakan, hingga saya enggan masuk ke dalam kelas, karena saya memang nggak
belajar sama sekali, dan menangis berburai airmata hingga ujian setengah
berjalan.
Kalau
ingat itu sekarang sih senyum aja. Karena saya memang bukan satu-satunya di
dunia ini yang mengalami hal itu. Tentu saja, ketua saya pasti lebih sering
mengalami hal itu. Orang-orang lain bahkan mungkin makanan sehari-harinya
adalah dedikasi penuh pengorbanan.
Meski
demikian, itu Cuma sekelumit pengalaman. Bagaimanapun, saya bersyukur dapat
menjadi orang beruntung yang diberi kesempatan menguji diri di bidang ini.
mungkin, teman-teman sering diuji dengan berbagai hal lain berulang-ulang.
Coba, mari kita pikirkan bersama. Sepertinya ada banyak hikmah yang bisa
diambil dari terulang-ulangnya ujian yang sama.
Begitulah,
saya banyak belajar dari ‘seorang sekretaris’. Bagaimana dengan kamu? Apa
pelajaran yang dapat kita petik dari hidup kita?
Comments
Post a Comment