SEBONGKAH RINDU dari NABLUS




“ARRGGH,”
Langit berwarna merah lagi. Semerah darah yang mengalir keluar dari tubuh berandal Israel yang ditangannya terkokang senapan laras panjang. Baru saja beberapa menit yang lalu berhasil menembuskan timah panas kepada salah seorang pemuda Palestina.  Kali ini, berganti darah mengucur deras dari mata kanannya. Rasa sakit segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Nyeri yang teramat sangat hingga seluruh persendiannya serasa dilolosi satu persatu.



“ Shit… Hell’s bels!” erangnya dengan menutup mata kanan dengan telapak tangan. Kemudian ia limbung. Sekilas bayangan teman-temannya yang berlari meninggalkannya berkelebat. Hatinya pilu, meski ia tahu prinsip mengorbankan satu nyawa lebih baik dari pada membahayakan nyawa lainnya.tapi, ia tetap sakit hati. Ia tertawa miris, beginikah para teman-temannya menghadapi para bocah ingusan itu. Huh, hanya bersenjatakan revolver sederhana sudah lari kalang kabut tercecer. Sesaat kemudian, sebuah missil juga melesak di persendian bahunya. Seragam tentara kebanggannya ternoda oleh darahnya sendiri.
Sakit, yang terasa hanya sakit. Gelap juga satu-satunya yang dapat dilihatnya. Cairan kental terasa lengket dan berbau anyir melewati pipinya. Tak lama, setelah kepasrahan yang ia lakukan agar para pemuda ingusan palestina itu segera menghabisinya tak kunjung datang. Tak tahan lagi, rasanya semua rasa sakitnya sudah hilang, berganti mati rasa dimana-mana, bahkan ia merasa tak punya raga lagi. Pada akhirnya, kegelapan itu semakin mengecil menjadi sebuah titik hitam. Serdadu zionis itu terbujur kaku di tepi tank Merkavanya sendiri.
Setelah pertikaian sengit untuk yang sekian kalinya, para pemuda Nablus mengalami kemenangan lagi.
“Allahuakbar!” pekik seseorang pemuda bermata tajam, kepalanya dililit sebuah kain hitam bertuliskan kalimat syahadah. Dipunggungnya tersampir senjata laras panjang yang selalu dibawanya kemana-mana. Beberapa pemuda mengikutinya seraya terus menerus menyerukan asma Allah.
Bangkai tank Merkava itu segera diambil alih oleh para pemuda pemberani dari barak-barak pengungsian Nablus. Barak-barak kumuh yang tak pernah berhenti menghasilkan mutiara-mutiara pemberani. Farras segera menggeledah bagian dalam Merkava tersebut. Matanya berpijar, pikirannya segera bergerak untuk melakukan serangan-serangan berikutnya menggunakan Merkava hadiah dari Allah ini.
“ Yazeed!!” teriaknya pada salah satu kawannya. Pemuda yang tampak asyik menyita senjata dan peluru yang tercecer mengangkat wajah. Menatap pemuda yang sebagian badannya tenggelam dalam leher tank.
“ Ta’al!” serunya, disusul anggukan Yazeed yang berlari mendekat. Pemuda bernama Farras itu melompat keluar menyambut temannya dengan bersemangat. 
“Sekali lagi pertolongan dari Allah, akh!” Farras pemuda berusia tanggung sekitar delapan belasan mengangguk mengiyakan perkataan temannya. Senja yang memerah sempurna memantulkan wajah-wajah mujahid Islam.
Yazeed, seorang pemuda kelahiran Nablus, sebuah kota di Tepi Barat Palestina. Salah satu sasaran utama serdadu-serdadu Zionis. Matanya teduh menatap senja yang menghitam. Waktu maghrib telah tiba.
Hayya nusholliy ya khuya..., qod ghuribatis syams...( mari sholat, matahari telah tenggelam),” seru Yazeed. Farras mengangguk dan diikuti teman-temannya yang lain, ada ‘Ali, Zubeir, dan Haithsam. Melangkah menuju balik dinding dari karung-karung tebal berisi pasir untuk mendirikan sholat maghrib bergantian. Mereka selalu berjaga dibalik karung-karung pertahanan yang disusun setinggi tiga meter dengan ketebalan hampir satu  meter. Cukuplah jika sekedar menghalau martil-martil yang kadang kali tersasar.
Farras pemuda berambut ikal berbibir mungil nan merah, mengangkat tangan pertama kali. Ialah yang paling bagus bacaan sholatnya. Ia selalu didapuk menjadi imam ketika sholat-sholat bi al-jahr tiba. Seperti kali ini, ia melantunkan ayat-ayat Al-Quran dengan nada Syaikh Musyari Rasyid begitu merdunya. Hingga siapapun yang mendengarnya pasti damai hatinya, saking indah dan menyentuh hati. Mungkin karena pemuda berusia enam belas tahun ini melantunkan dengan sepenuh jiwanya, sepenuh hatinya, segenap raganya untuk mencapai ridlo Allah semata.
Saat sholat, ia senang membacakan ayat-ayat tentang keadaan kaum muslim dimasa sekarang. Seperti surat awal ia membaca surat tentang kaum muslimin yang saat ini bagai buih di lautan, kemudian ia sambung dengan surat tentang imamah, bahwa kaum muslimin ini umat terbaik, ummatan wasathon, khoiruummah, membutuhkan satu pemimpin, lalu diakhiri dengan surat Al-Insyiroh yang salah satu ayatnya selalu membuatnya kembali bersemangat, yaitu apabila kamu telah selesai dengan suatu urusan maka bersungguh-sungguhlah kamu untuk urusan lain.
Begitu syahdunya sholat yang dipimpin oleh Farras. Hingga petang terasa begitu sejuk. Walaupun mereka tahu, mereka bukan sedang berada di rerimbunan pohon. Melainkan di tanah Nablus yang sejauh mata memandang hanyalah hamparan pasir yang terbentang bersama puing-puing rumah dan senjata. Saat  bersentuhan dengan Allah secara langsung seperti dalam sholat, mereka merasaka kenikmatan yang luar biasa. Rasanya perjuangan yang  dilalui seharian sirna sudah berganti nikmatnya sholat. Bukankah salah satu ciri-ciri orang yang beriman ia yang dalam sholatnya khusyu’ dan dapat merasakan nikmat tiada tara? Begitulah yang dirasakan oleh pemuda-pemuda belia Nablus ini.
Setelah selesai, mereka segera membentuk lingkaran sementara Zubeir berdiri mengokang senjatanya, kali ini ia tugas berjaga. Yang lain juga mengikuti namun tetap membuat lingkaran. Mereka bergerak teratur.
“Ya, khuya... kali ini kita berjaga-jaga dari tentara di perbatasan Nablus bagian barat,” kata Yazeed menggambar sesuatu diatas pasir. Mereka tidak pernah membuat peta dari kertas. Terlalu berbahaya.
“Besok di Nablus kota akan diadakan masyirah* setidaknya kita bisa berjaga-jaga,” kata Yazeed sambil menggambarkan rute masyirah mereka. Yang lain menunduk mengamati sekaligus menimbang-nimbang.
“ Bagaimana denganmu ya shiddiqiy.. Haitham, apakah barisan pengaman sudah siap?” Yazeed bertanya kepada Haitham yang terkenal paling kalem, lembut dan jujur. Sehingga teman-temannya senang memanggilnya sebagaimana Rasulullah memanggil Abu Bakar. Namun, jangan dianggap remeh ialah yang paling berpengalaman dalam soal tembak menembak. Ia adalah anak dari seorang penembak jitu Hamas. Ayahnya telah syahid bertahun-tahun lalu.
   “Semua sedang dalam persiapan, semoga Allah menyertai kami para pengawal pasukan surga,” serunya penuh kemantapan.
Dada Farras, Yazeed dan ‘Ali buncah, bagaimana tidak. Hati mereka bergetar begitu Haitham menyebut pasukan Surga. Surga yang mereka impikan lebih dari kehidupan dunia. Semoga mereka benar-benar pasukan yang dijanjikan surga.
“ Kita sudah tahu tentang gejolak saudara-saudara kita di Yaman, Mesir, Iran dan segera Syam, sedangkan pemerintah kita tidak henti-hentinya mencoba membuat Palestina diakui secara de facto maupun de jure oleh dunia,”
“Ya mereka sedang gencar berunding dengan para Zionis untuk diakui sebagai salah satu negara PBB,” sahut ‘Ali.
“Namun, itu akan percuma saja bukan, Para Zionis itu akan sok memerdekakan kita lalu berdusta dan merangkul kita serta menyodorkan demokrasi untuk kita,” sahut Zubeir dari barak tempat ia berjaga, rupanya ia mendengar.
“Bukankah itu bagaikan buah khuldi, barat menyodorkan kemerdekaan namun harus menggunakan sistem kufur demokrasi, memang licik,”
“ Seandainya ada kekhilafahan Islamiyah, kita pasti tidak akan dibiarkan begitu saja, dipermainkan makar-makar Zionis,” gumam Haithsam.
“Itulah yang kita butuhkan, persatuan umat Islam di bawah satu panji Rasulullah,” seru Zubeir lagi.
“Ah, aku merindukan kekhilafahan, dimana saat itu pasti darah kaum muslimin itu begitu mahal,” Farras menerawang jauh menatap langit petang sambil terus bersiaga mengokang senjata laras panjang di pundak.
“Begitu pun denganku, aku merindukan persatuan kaum muslim teramat sangat. Sehingga ketika sang pemimpin kita, sang Khalifah menyerukan untuk melindungi kaum muslimin di suatu tempat seperti kita. Maka, berbondong-bondonglah kaum muslim bersatu padu. Kaum Muslim di Jazirah Arab akan segera memutus perdagangan minyak dengan kaum kufur demi menolong saudaranya. Kaum muslim di Indonesia, yang aku dengar negri dengan penduduk muslim terbesar sedunia mengirimkan tentaranya. Yang di Eropa mengirimkan alat-alat perangnya, di Amerika segera mengirimkan tenaga ahli. betapa tidak akan ada kaum muslimin yang diremehkan seperti kita....” Farras berkata lirih namun penuh tekanan, ia sungguh merindukan hal itu, hingga setiap membicarakan persatuan, matanya berkaca-kaca.
“Dimana kaum muslim yang lain sekarang?” kata Ali penuh retorisitas. Lebih untuk dirinya sendiri. “Sedang berjabat tangankah dengan kaum kafir, atau bersenang-senang dengan kehidupan mereka?! Dimana mereka?!” kadang memang perasaan kecewa dan merasa mereka rakyat palestina berjuang sendiri hadir. Namun, segera mereka tepis kesedihan mereka.
“Sudahlah, maka tugas kita adalah menyerukan persatuan ke seluruh dunia, umat muslim butuh wadah, dan kita semua tahu wadah itu hanya akan terjadi jika kita punya negara dan pemimpin. Al-khilafah ‘ala minhajinnubuwwah. Kepemimpinan kaum muslimin atas manhaj kenabian Muhammad,”
“ Ya, khuya al-mukarram, hal ista’adda lilgodhdi? Siap untuk besok?” Farras menepuk pundak Yazeed. Yazeed menatap lama muka sahabatnya ini, lalu mengangguk dalam. “Doakan ini adalah salah satu perjuanganku menyatukan kaum  muslim di seluruh dunia,”. Yazeed akan memimpin masyirah besok pagi di depan gedung palestina bersama lima ribu massa dari seluruh Palestina. Dia akan menyuarakan persatuan umat Muslim. Penolakan terhadap demokrasi.
“Insya Allah, kamu tidak sendiri, bukankah kita tahu sudah banyak saudara kita sesama muslim menyerukan persatuan dibawah naungan Daulah Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, di berbagai belahan dunia?”
“Farras, apabila nanti ada sesuatu terjadi denganku, tolong ambil alih dan lantangkan kembali ghirah  perjuangan, lanjutkan muhasabah lil hukkam sebisa mungkin,” kata Yazeed sambil menatap Farras lama sekali. Ada rasa aneh yang menaungi Farras. Namun, ia mengiraukannya menganggap itu hanya alladziina yuwaswisu fii shudurinnaas... bisikan setan yang membuatnya gundah.
***
“Allahuakbar!” mata pemuda itu nyalang memandang gedung parlemen Palestina di hadapannya.
“Allahuakbar!” teriak Yazeed memimpin sekitar lima ribu massa untuk turut serta bertakbir menggedor pintu langit. Agar nashrullah turun segera.
Innallah la yughoyyiru ma biqoumin hatta yughoyyiruu maa bianfusihim! Wahai saudaraku, tak cukupkah Rasulullah mencontohkan persatuan umat dengan mengadakan satu kepemimpinan satu umat di bawah Khilafah Al-Islamiyyah!”
“Allahuakbar!” Yazeed, remaja tanggung tampan itu tampak begitu gagah. Tak ada gurat-gurat keraguan terpancar dari wajahnya.
Farras bertugas di barisan paling depan, ia tidak membawa senjata. Bersatu bersama kaum muslimin Paletina yang merindukan persatuan kaum muslimin teramat sangat, yang merindukan kekhilafah begitu dalam, yang sungguh-sungguh merindukan kejayaan Islam. Mereka melakukan aksi damai dan tidak diperkenankan seorangpun untuk membawa senjata dan melakukan kekerasan.
Anna dimuqrotiyah laa yu’aalijuna! Anna dimuqrotiyah an-nidzoomul kufr!”
Allahuakbar! Allahuakbar! Allah.......................” tangan seluruh kaum muslimin Paletina baik yang hadir langsung maupun yang hanya ikut menonton dari saluran televisi ikut mengepal. Menandakan satu tekad untuk menyatukan umat Islam di tengah keterbatasan mereka.
Dor! Semua berlangsung begitu cepat.
“Arrg! ALLAAH..HU...AKKBAR............!” Yazid limbung dengan tangan mengepal keatas. Tepat sebuah martil bersarang di kepalanya memuncratkan darah segar.
Dor! Dor! Dor! Tembakan beruntun terus diperuntukkan Yazeed yang sudah tidak bernyawa. Darah muncrat segar dari jantung, perut, kepala, kedua kaki, kedua tangan. Sungguh tidak berprikemanusiaan.
“YAZEED!!!!!!!!!!!!!” Farras berteriak berang, mendekati Yazeed yang sudah tidak bernyawa. Ditengoknya arah barat daya dimana peluru laknat itu berasal. Ia yakin disana sudah ada anggota-anggota Zionis lainnya. Matanya nyalang. Namun bersamaan dengan itu pula, ia mencium bau harum yang teramat sangat dari tubuh Yazeed. Airmatanya jatuh. Betapa Yazeed sungguh merindukan syahid. Betapa ia juga ingin menjadi syahid yang dimuliakan Allah. Dan ia harus segera melanjutkan estafet perjuangan.
“ALLAHUAKBAR!” Farras segera menyambar pengeras suara. Dadanya bergetar, lihatlah kaum muslimin. Lihatlah kaum kafir, kami tidak akan pernah menyerah. Menyatukan kembali umat Islam yang bercerai berai, “BERSATULAH KALIAN WAHAI KAUM MUSLIM DI SELURUH DUNIA! TEGAKKAN KEMBALI KEKHILAFAHAN ‘ALA MINHAJIN NUBUWWAH,” 
“Allahuakbar!” massa bergejolak kembali. Anehnya ia melihat massa lima kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Juga melihat kabut putih sejuk menaungi mereka. Farras kembali sesak saking rindunya pada surga. “Allahuakbar!”
 ***
Yuhu.... I got a nice chicken!” sorak seorang berkacamata hitam. Dibelakangnya bergelayut mesra seorang wanita berambut pirang. Mereka berdua sama-sama berseragam loreng.  
Dear, kamu ingin berapa kali tembakan?” kata wanita itu mesra.
“Terserah kamu saja...” lelaki Zionis berkacamata hitam itu berkata santai, “Ini Cuma mainan saja,”
“Bagaimana jika empat?” wanita itu menyeringai.
“Hahaha...mudah saja,” serunya menyeringai sambil membenahi posisinya dan mulai membidik. “Ini akan seperti bermain menembak tikus,”
Dor!Dor!Dor!Dor! Lelaki itu menembak dengan senyum puas.
“Sepertinya kamu juga akan mendapatkan ayam lagi, dear!” kerling wanita itu setelah meneropong. “Sekarang minggirlah, kali ini giliranku untuk menyajikan seporsi lagi,” wanita itu mulai menetukan titik bidik.
***

In the old times the west attacked to the east,
But these days the world has changed
So I will invade the west from the East
To form a single empire
A single religion
And a single rule over the world
-Fatih Sultan Mehmed II-

***

Berjanjilah atas namaNya, kau akan terus Istiqomah hingga ajal menanti.

12:48
Bogor, Ahad, 26 Feb 12



Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...

“What is our study motivation?”

Posisi Menentukan Prestasi