INI KEWAJIBANKU, HAKKU DAN PROTESKU!




Alam akan menunjukkan kekuatannya, Putri. Jika tidak sekarang mungkin bertahun-tahun yang akan datang. Alam tidak akan diam saja tubuhnya disakiti. Suatu waktu ia akan menunjukkan kebijaksanaannya sendiri, tentu saja dengan kehendakNya. 

Aku mendengar kalimat itu berulang-ulang di telingaku. Bagaikan rapalan mantra yang sedang diucap terus menerus. Padahal kalimat itu kudengar terakhir sembilan tahun silam. Berbagai bayangan yang tak pernah sengaja kuputar, berpendar-pendar dalam pandanganku. Mataku nanar dan berair.

Sayangnya, aku terlambat memahami bahwa alam memang tidak akan diam saja. Sayangnya aku juga baru sadar bahwa alam tidak hanya membalas kepada setiap orang yang menyakitinya saja. Tapi, juga kepada orang-orang tak bersalah lainnya. Memahaminya membuat mataku kali ini bukan hanya nanar dan berair. Tetesan air mata sudah menganak sungai dipipi. Perasaan hatiku memerih.
Bukan hanya itu, kalimat-kalimat lain juga bermunculan tidak permisi hadir memutar-mutar memoar indah yang kini terasa nyeri. Bayangan itu tentang kehidupanku sembilan tahun lalu.
“Mencintai dan merawat alam, setidaknya kita juga sedang melakukan tiga kebaikan besar,Put. Melestarikan hewan, menjaga manusia dan menyelamatkan dunia,”  Bapak berkata sambil tersenyum menatapku.  Saat itu usiaku baru saja menginjak tujuh tahun dan aku nyengir saja saat mendengarnya. Tidak mengerti benar apa maksudnya. Itupun karena aku bertanya kenapa Bapak menanam banyak sekali pohon di kebun belakang rumah kami. Dan tidak membiarkan satu pun ditebang kecuali setelah tumbuh pohon kecil setinggi badanku yang berumur tujuh tahun dan asal kalian tahu itu lama sekali. Butuh waktu setahun. Kenapa harus menunggu selama itu pikirku? Tebang saja sekarang kalau butuh.
“Hah...” aku menghela napas. Bayangan tentang Bapak terus berkelebat. Sementara mataku nanar memandang berkeliling hamparan lumpur abu-abu di hadapanku. Baunya menyengat seperti selokan campuran antara kotoran dengan bahan kimia. Asap-asap mengepul diatas permukaannya. Menyebabkan udara disini jauh lebih panas. Tanggul-tanggul mengelilinginya setinggi gedung empat lantai. Dan aku sedang berdiri disalah satu sudut tanggul yang ketebalannya lebih dari 3 meter hingga cukup dilalui dua mobil sekaligus.
Aku berdiri disisi barat tanggul lumpur abu-abu kimia yang dikenal orang sebagai lumpur panas Sidoarjo. Sibuk berkutat dengan kenangan-kenanganku. Di sudut barat tanggul inilah dulu aku dibesarkan dengan penuh cinta. Di sudut barat inilah aku belajar mencintai alam. Di sudut barat inilah kebun berhektar-hektar Bapak berada. Di sudut barat inilah desaku dulu berada. Namun itu dulu.
Guratan masa lalu itu datang lagi.
“Putri, ayo ikut bapak,” pagi-pagi sekali Bapak membangunkanku seperti biasa. Namun, karena kali ini akhir pekan artinya Bapak akan mengajakku bermain-main di kebun. Aku menggeliat senang. Itu karena bermain bersama Bapak selalu menyenangkan, belajar banyak hal tentang tanaman, menimbun kompos dedaunan di kebun, menyiangi daun-daun kuning tumbuhan apotik hidup dan bernaung di bawah pohon-pohon rimbun. Salah satu bagian paling seru adalah ketika berangkat kami pasti melewati pasar kaget. Dimana Bapak selalu berbaik hati membelikanku jajanan pasar lima ratusan. Akhir pekan memang selalu seru bersama Bapak.
“Putri, kalau kamu sudah besar, lanjutkan perjuangan menyelamatkan dunia ya?!”
Aku mengerjap bingung. ”Seperti Sailormoon ya pak? Dengan cinta dan kasih sayang akan kuselamatkan dunia ini,”
Bapak tertawa, “Ya, dengan cinta dan kasih sayangmu terhadap alam tentu saja.”
Sebagai anak kecil yang tidak mengerti betapa dalamnya pesan sang Bapak. Aku cengengesan saja sambil terus memainkan ulat bulu yang kutemui di salah satu pohon.
“Kawan, jangan melamun terus... Bersiaplah untuk presentasi,” Tara menepuk pundakku. Aku terkesiap. Terlontar kembali ke kehidupan nyata. Mengangguk dan tersenyum. Mengikuti Tara sahabatku yang juga akan presentasi tentang reboisasi kepada salah satu perusahaan besar di Surabaya. Kami membidik dana CSR untuk program penghijauan daerah Sidoarjo. Membayangkanku presentasi di perusahaan tersebut membuatku gugup. Ini tidak biasa. Aku termasuk salah satu siswi yang gencar melakukan sosialisasi reboisasi di daerah perkotaan dan tentu saja sudah terbiasa berbicara di depan publik. Tapi, perusahaan ini berbeda. Aku menghela napas resah. Meskipun begitu aku harus tetap bicara. Tidak boleh tidak.
Kembali menggaung perkataan Bapak, “Mencintai dan merawat alam, setidaknya kita juga sedang melakukan tiga kebaikan besar,Put. Melestarikan hewan, menjaga manusia dan menyelamatkan dunia,”
Aku meneguhkan niat. Bismillah.
***
“Putri, ampun... buang sampah plastik di tempat sampah warna kuning. Sedangkan sisa makanannya di plastik warna hitam!” Bunda ngomel begitu melihatku acuh membuang kedua-duanya ke dalam tempat sampah berwarna kuning. Bunda kenapa sih masalah buang sampah saja harus repot? Aku mendengus sebal saat Bunda masih berdiri memelototiku dari jauh sampai aku benar-benar memisahkan antara sampah sisa makanan dengan bungkusnya. Baiklah, baiklah tidak akan  kuulangi.
Dilain waktu Bunda berusaha memahamkanku tentang perlunya membawa kantung belanja sendiri kalau mau ke supermarket.
“Bunda minta tolong belikan bahan dapur di supermarket ya, Put.” Aku mengangguk.
“Ini kantung belanjanya,” Bunda mengangsurkan sebuah tas berwarna hijau toska.
“Haduh, Bunda. Kan nanti disana dikasih plastik. Nggak perlu bawa beginian,” aku menolak mentah-mentah, membiarkan tangan bunda menggantung di udara.
“Eh, ini perlu buat mengurangi limbah plastik,” seru bunda keukeuh. Tatapan Bunda setengah memohon dan setengahnya lagi mengancam. Baiklah-baiklah akan kulakukan.
“Mulai dari yang kecil dan simple, Put.” Tambah Bunda. Ya, ya, ya. Baiklah yang penting Bunda tidak cerewet mengulang-ulang “ Yang kecil sekarang juga untuk hal besar esok hari,”
Umurku sembilan tahun waktu itu dan tak benar-benar mengerti apa maksud kata-kata Bapak dan kecerewetan Bunda.
***
Setelah merayakan ulang tahun yang kesepuluh aku perlahan mulai mengerti pentingnya alam bagi kehidupan manusia. Aku semakin bersemangat mengikuti Bapak ke kebun setiap akhir pekan. Lalu perlahan menjadi setiap hari. Aku benar-benar mencintai alam. Tidak sia-sia Bapak mendidikku mencintai alam dan Bunda yang selalu menanamkan padaku tentang kebaikan kecil sekarang juga untuk masa depan esok hari.
“Bunda, tadi di sekolah Putri saran ke Bu guru supaya tempat sampahnya dibagi dua. Sampah organik dan non organik kayak di rumah kita itu,”
Bunda tersenyum sambil mengusap rambutku. “Lalu, apa respon Bu guru, sayang?”
“ Bu guru setuju, besok pelajaran PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) kita bakal bikin banyak tempat sampah, asyik kan?!” Aku bercerita dengan semangat.
“Mereka sungguh keterlaluan!” tiba-tiba suara Bapak terdengar jelas dari ruang tamu. Bapak dan tetua kampung sedang membahas masalah seru kata Bunda. Sejak seminggu yang lalu sering mengadakan rapat di rumah Pak RT, rumah Pak RW, kadang di ruang tamu keluarga kita.
“Siapa yang keterlaluan, Bunda?” tanyaku penasaran ketika mencuri dengar perkataan Bapak.
“ Orang-orang yang akan mengambil kebun-kebun penduduk, membabat rimbunnya hutan kecil di belakang kampung kita, mencemari sungai dengan limbah, membuat udara kampung kita terkena polusi udara. ”
“ Siapa, Bund? Jahat sekali!”
“ Siapa saja bisa sayang,” Bunda tampak enggan menjelaskan lebih lanjut dan aku pun tak berniat bertanya lebih lanjut.
Tak perlu waktu lama aku mengerti. Kebun-kebun warga mulai hilang satu persatu. Berganti bangunan baku yang berpagar tinggi dengan satpam garang di pos jaga. Dalih sudah mendapat izin resmi dari pemerintah untuk membuat tambang gas. Satu persatu tanah warga dibeli ‘paksa’, pekerjaan warga beralih dari berkebun menjadi pegawai kasar tambang. Bapak termasuk orang yang menolak datangnya PT. LBC. Namun, apa daya Bapak hanyalah rakyat miskin. Tanah Bapak terambil juga. Aktivitasku mengunjungi kebun pun berhenti total. Bapak akhirnya memutuskan untuk bekerja di Pertamina pekerjaan yang dulu pernah digelutinya.
“Bapak, kenapa kita tidak ke kebun lagi?” pertanyaanku yang satu ini hanya dijawab senyum kecut oleh Bapak.
Tak hanya itu, suara besin mesin dump truk pertambangan dan debu-debu yang ditimbulkan mulai mengganggu keseharian dan kesehatan warga. Warga desa marah. Bapak termasuk garda depan ketika blokade jalan masuk ke proyek pertambangan dilakukan. Semula PT. LBC cuek saja. Warga semakin geram. Aku tak tahu lagi seperti apa reaksi sebenarnya, yang aku tahu PT. LBC akhirnya memberikan kompensasi kepada kami. Memperbaiki jalan, renovasi masjid dan memberikan uang pembangunan desa yang memang telah disepakati sebelumnya.
***
“Alam akan menunjukkan kekuatannya, Putri. Jika tidak sekarang mungkin bertahun-tahun yang akan datang. Alam tidak akan diam saja tubuhnya disakiti. Suatu waktu ia akan menunjukkan kebijaksanaannya sendiri, tentu saja dengan kehendakNya.”
Benar, alam dengan tangan Sang Pencipta menunjukkan kebijaksanaannya. Awal 2006, muncul gas di Desa Siring, desa tetangga yang terpisah beberapak kilometer dari kami. Selanjutnya di umurku yang menginjak pertengah sepuluh tahun itu harus aku dipaksa memahami kalimat Bapak itu. Alam daerahku berontak, luapan volcano mud (lumpur panas) di berbagai sumbur tambang terjadi. Sedikit demi sedikit sawah-sawah penduduk terendam lumpur panas. Juga kebun kami.
***
“Bu Rusydi...Bu Rusydi... Bapak Bu!” tergopoh-gopoh Lik Parman teman kerja Bapak menghampiri Bunda dan aku yang sedang asyik membuat prakarya lingkungan hidup.
“Ada apa Parman?”
“Rumah sakit...Meledak...Pipa gas....,” terengah-engah Lik Parman menjelaskan. Berantakan sekali kalimatnya. Namun itu sudah cukup bagi Bunda dan aku untuk menerka semuanya. Wajah Bunda sontak memucat.
Bunda tanpa mengucap sepatah kata pun bergegas mengikuti Lik Parman.  Cemas sangat tampak di bola mata Bunda. Aku digandengnya menyusuri lorong rumah sakit berbau pekat obat-obatan. Sesampainya disana, air mata Bunda tumpah. Tubuh Bunda limbung memelukku. Bagaimana denganku? Aku tidak lagi terlalu kecil untuk tidak mengerti apa itu kematian. Aku mengerti. Bunda menangis ngilu sambil memelukku. Namun, entahlah, aku seperti mati rasa. Terlalu mengejutkan. Aku linglung. Aku terdiam tanpa kata. Pandanganku kosong. Tapi, satu hal yang sangat kutahu bahwa hatiku nyeri sekali. Melihat tubuh kaku Bapak penuh dengan luka bakar, melepuh, terbakar, hangus dan berwarna merah daging. Hatiku hancur. Aku tahu semuanya tidak lagi seperti dulu.
Cepat kutahu, kematian bapak diakibatkan aktivitas lumpur ganas yang meluber mengenai pipa gas Pertamina tempat Bapak bekerja di KM 38, tol Gempol-Porong. Kucatat hari itu dalam sanubariku. Rabu, 22 November 2007.
“Alam akan menunjukkan kekuatannya, Putri. Jika tidak sekarang mungkin bertahun-tahun yang akan datang. Alam tidak akan diam saja tubuhnya disakiti. Suatu waktu ia akan menunjukkan kebijaksanaannya sendiri, tentu saja dengan kehendakNya.”
“Mencintai dan merawat alam, setidaknya kita juga sedang melakukan tiga kebaikan besar,Put. Melestarikan hewan, menjaga manusia dan menyelamatkan dunia,”
Kedua kalimat Bapak terpatri kuat dalam jiwaku. Mencintai alam artinya mencintai manusia, hewan dan menyelamatkan dunia. Tidak akan kubiarkan orang lain yang tak berdosa mengalami nasib sepertiku. Karena jika kita mencintai sesama berarti tak ada alasan untuk tak mencintai alam juga.
***
Rumahku, desaku dan kecamatanku terendam lumpur panas Lapindo berbulan-bulan kemudian. Akhirnya, aku dan Bunda memutuskan meneriwa tawaran saudara untuk tinggal di Surabaya. Memulai segalanya dari nol.
Disini juga aku  mulai mengaktifkan diri di berbagai organisasi Lingkungan Hidup. Bertemu teman-teman hebat seperjuangan. Salah satunya Tara yang lebih fokus ke penghijauan daerah kota. Kami sebaya, sama-sama murid SMA kelas satu. Dipersatukan cita-cita global, aku dan Tara mulai aktif membuat proposal kegiatan reboisasi dengan membidik dana CSR. Melakukan sosialisasi Go to zero waste school ke sekolah-sekolah lain untuk turut serta dalam upaya go green dari hal kecil disekitar kita, sekarang juga. Bukan apa-apa, kami yakin tindakan kecil sekarang juga lebih berguna daripada ucapan tanpa tindakan. Ah, bukankah itu semboyan Bunda?
***
Layar powerpoint berganti-ganti, menunjukkan daerah gersang di beberapa wilayah kota Surabaya yang potensial untuk dilakukan penghijauan.
“Nah, sudah saatnya kita berperan aktif dalam usaha menyelamatkan dunia dari pemanasan global. From Head to Heart and do by Hand. Mulai dari diri kita sekarang juga.” Tara memulai dan mengakhiri presentasinya tentang reboisasi dengan apik dan cerdas.
Sekarang giliranku maju mempresentasikan tentang bahayanya mengabaikan alam. Keringat dingin mengalir. Aku gugup. Meskipun aku sudah terbiasa presentasi tetap saja cemas itu membayang. Karena kali ini lain. Perusahaan ini berbeda.
Pelan-pelan kujelaskan dampak negatif dari pengabaian alam, pembuangan limbah yang membahayakan masyarakat dan dampak lainnya. Semuanya sudah kujelaskan dengan baik, tinggal satu hal lagi yang ingin aku sampaikan. Sesuatu yang sudah selayaknya disampaikan. Banyak sudah yang telah berusaha menyampaikannya. Dan kali ini giliranku.
“Bapak direktur yang saya hormati, banyak kasus pencemaran lingkungan akibat eksploitasi alam secara besar-besaran tanpa tanggung jawab terhadap alam menjadi bukti nyata bahwa pengabaian alam adalah suatu kesalahan besar yang sangat berisiko. Seperti kasus lumpur panas kota Sidoarjo. Apabila proyek pertambangan yang dilakukan mengabaikan lingkungan, tidak berdamai dengan alam, tidak mengindahkan kearifan alam. Maka, hanya celakalah akibatnya. Manusia-manusia yang tak tahu apa-apa turut menanggung beban.  Karena hakikatnya alam erat hubungannya dengan manusia apalagi dunia. Maka, saya memandang bahwa sebaiknya perusahaan-perusahaan dengan tujuan mengeksploitasi Sumber daya alam seenaknya sendiri lebih baik ditinjau kembali. Atau sebaiknya dihentikan saja jika tidak dapat bertanggung jawab karena dampaknnya akan sangat mengerikan.”
Aku mengambil napas, memandang hadirin yang mulai kasak-kusuk. Aku menguatkan tekad melanjutkan.
“Karena jika hadirin lebih arif mengenal alam, ketahuilah alam akan menunjukkan kekuatannya. Jika tidak sekarang mungkin bertahun-tahun yang akan datang. Alam tidak akan diam saja tubuhnya disakiti. Suatu waktu ia akan menunjukkan kebijaksanaannya sendiri, tentu saja dengan kehendakNya. Entah itu di dunia maupun setelah dunia. ” Itulah kalimat terakhirku.
Suara tepuk tangan menggema di seluruh Auditorium. Beberapa pejabat perusahaan menatapku tajam. Tidak bertepuk tangan. Tidak apa-apa, inilah suaraku, kewajibanku, dan hakku!
Aku melakukan apa yang bisa kulakukan untuk merubah dunia. Salah satunya menjelaskan kearifan alam. Aku mencintai bumi, sama seperti aku mencintai sesama. Kulakukan apa yang bisa dilakukan meski kecil setidaknya aku berbuat.
Oh ya, tahukah kalian pada perusahaan apa kami mempresentasikan proposal pengajuan dana CSR? PT. Minarak Sanjaya induk PT. LBC.
**
Fakhirah I.R
29 April 2012
22:27
Untuk para saudaraku pengungsi korban lumpur Lapindo. Untuk setiap perusahaan yang mengabaikan alam.

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...