Mati satu mati seribu...



Senin
Air, sore itu hujan. Dingin. Tapi ruangan ini lebih dingin. Di ruangan bersuhu 23 derajat ini, aku sedang menonton video terakhir seorang AmandaTodd.
Air, Tahukah kamu tentang Amanda Todd? Cobalah cari sejenak beritanya.
Air, sudahkah kau cari siapa dia?
Carilah dulu…


Selasa Malam
Air, Ibuku tiba malam ini di Yogyakarta.

Rabu pagi,
Hari itu pagi yang mendung, sayup-sayup suara hujan yang menerpa genting terdengar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Tapi, rasanya masih subuh saja. karena langit begitu kelabu. Sementara, aku masih sibuk sendiri bergelut dengan tugas-tugas praktikum yang harus dikumpulkan pagi ini.

Di sampingku, wanita yang sudah mulai beruban ini juga sedang sibuk bergelut dengan revisi disertasinya. Ah, melihat beliau, masih begitu semangat mencari ilmu di tengah berbagai kesibukannya, semakin bertambah saja semangat ini. Meskipun wajahnya mulai dihinggapi keriput, di sudut-sudut matanya, di sudut-sudut bibirnya, bukti usia yang makin menua. Ia tetap semangat. Ah, Air, aku selalu terinspirasi darinya. Sangat. 

Tiba-tiba, ia menghadapkan muka padaku. Aku meresponnya dengan menatap wajahnya yang lembut. Wajah yang selalu siap tersenyum padaku. Air, aku menyayanginya.

“ Beberapa minggu yang lalu Ibu punya klien, mereka berdua adalah sepasang suami istri,” Ibuku membuka pembicaraan. Aku mendengarkannya seksama, menanti kalimat selanjutnya.
Perlahan ia melanjutkan dengan tenang, “…mereka berdua saling menyalahkan tentang kondisi anak mereka yang sekarang dianggap orang agak gila…”

“…Sesi konseling sepasang suami istri itu selalu dimulai dengan saling menyalahkan kembali, saling tuduh, saling tunjuk sebagai penyebab perilaku anak mereka yang mulai dianggap sedikit sinting oleh masyarakat…”  Ibuku melanjutkan dengan mata menerawang jauh. Entah memikirkan apa. Aku tetap disini, mengabaikan tugas yang harus dikumpulkan dua jam lagi.

Beliau menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya, “ Si istri merasa suaminya terlalu keras kepada anak semata wayang mereka, seperti tidak boleh nonton tv di rumah dan anaknya diminta untuk ngaji terus, padahal pulang sekolah kan si anak dalam kondisi lelah. Apalagi rumah mereka sangat jauh dari sekolah anaknya yang di pusat kota. Sementara, suaminya merasa si istri terlalu memanjakan anak laki-laki ini yang kelak akan menjadi tulang punggung keluarga.

Mulailah ibu mendalami bagaimana posisi mereka sebenarnya dan factor apa yang berperan.
Ternyata, pasangan ini baru menikah empat tahun lalu. Sebelumnya, si ibu ini adalah single parent karena bercerai dengan suaminya yang pertama. Hasil dari pernikahan pertama lahirlah anak lelaki itu. 

Sekarang umur anak lelaki itu sudah lima belas tahun. Selama bertahun-tahun menjadi single parent, pola didikan sang ibu ternyata tidak mengarahkan mental anaknya menjadi kuat.  Contoh kecilnya, jika si anak ada kesulitan dalam mengerjakan tugas, sang ibu bukan mengajari dan mendorong anak untuk tangguh menyelesaikannya. Tetapi, malah mengerjakan tugas si anak….

Ibuku menghentikan sejenak, sambil mengganti posisi duduknya agar lebih nyaman. 
… Selain itu, keduanya berasal dari daerah yang dulu adalah tempat relokasi gelandangan di sekitar kota, pemerintah membuatkan pemukiman sederhana untuk mereka di lingkar luar kota, dengan riwayat seperti itu maka taraf kesejahteraan daerah itu relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan desa-desa yang lain. tentu saja, anakku, tingkat kesejahteraan di negri ini masih berbanding lurus dengan pendidikan yang mampu dienyam. Pendidikan yang dienyam sangat berhubungan dengan cara dan pola pikir sesorang dalam bertingkah laku dan mengambil keputusan, termasuk dalam cara mereka mendidik anak.

Istri yang berpendidikan SD, sibuk bekerja dari pagi hingga akhir, si suami juga. Sehingga, si anak tidak terurus dengan baik. Penyelesaian masalah tentang mendidik anak juga kurang mengetahui bagaimana seharusnya, dan ketika harus menyelesaikan masalah dengan si anak ini, mendidik anak dengan cara yang tidak menguatkan mental.

Ayah yang tegas memang diperlukan. Kadang bersikap keras juga boleh saja. hanya harus tahu bagaimana karakteristik dari seorang anak. Kapan harus keras, kapan harus lembut. Meski orang tua adalah manusia yang tidak pernah sempurna, ia juga punya salah dan lepas control. Tapi, kita makhluk pembelajar.

Didikan lemah seorang ibu, didikan terlalu keras yang kurang bijak sang ayah, belum lagi kesibukan mereka berdua yang tidak sempat mengawasi sang anak.

Disisi lain, sang anak di sekolahkan di sekolah swasta yang mahal. Ia disana dibully oleh teman-temannya, ia dianggap bau. Entah karena sang ibu harus menghemat deterjen saat mencuci, atau ia terpaksa menggunakan baju yang sama untuk esok hari karena terbatasnya baju yang ia punya. 

Entah karena perjalanan sekolah yang jauh dari rumah dan harus bersepeda membuat ia berkeringat saat sampai ke sekolah. Yang jelas ia dari SD sering diejek bau oleh teman-temannya.  

Ibu mengambil napas sejenak, matanya menerawang jauh, dan wajahnya mulai tampak lelah.
Kenapa ya, kasus bulliying sekarang ini makin marak? Katanya retoris. Aku tak menjawab, karena aku tahu, kita sama-sama tahu apa penyebab masalahnya. Masalahnya, tak sekedar salah individu. Ini multidimensional. Ini masalah lintas factor.

Aku masih mendengarnya dengan cermat, menelaah satu persatu informasi yang masuk.
Ibuku melanjutkan.

..kehidupan sehari-hari anak itu, pagi berangkat sekolah hingga siang hari, karena sore harinya ia harus mengaji di ustadz Sholeh, ia sering menghabiskan waktu di masjid untuk tidur dan masih menggunakan pakaian seragam, baru jam 7 malam lebih ia sampai di rumah, dan ayahnya melarang nonton tv. Sebenarnya tak ada yang salah dengan tidak nonton tv. Tapi tidak ada yang salah juga membiarkan anak nonton tv dengan proporsi yang tepat. Menurut ibunya, harusnya si anak dibiarkan melihat tv sebagai refreshing…

Hari-hari demi hari konseling berjalan, supaya konseling ini lebih komprehensif, tentu ibu harus bertemu langsung dengan sang anak. Kelakuan Sang anak yang sering dianggap agak gila, keliling sekolah muter-muter tanpa alasan yang jelas. Jika marah seperti kesetanan. Dll.

“Bu, mbok ya anaknya dibawa kesini juga, biar saya bisa ngobrol sama dia…”

“Oh, iya bu. Nanti saya bawa.”

Berkali-kali ibu meminta agar anaknya dibawa serta saat akan menjalani sesi konseling. Namun berhalangan terus. Hingga  mereka berkata di suatu hari, ‘bu, anak kami sudah agak baikan,’. Syukurlah. Ibu sedikit lega. Oleh karena itu, Ibu mulai tidak memaksa lagi untuk membawa anak itu kesini.

Tapi, hati ibu tetap nggak enak. Ibu meminta teman ibu yang juga tinggal di daerah suami istri itu tinggal untuk mengecek dan membawa anak itu ke rumah.

Ketika sudah membuat janji untuk bertemu anak itu, suami teman ibu, yang ibu mintai tolong mengecek sang anak, sakit dan tidak bisa ditinggalkan. Jadi, hari itu batal bertemu dengan sang anak. Ibu memaklumi kondisi tersebut. Ibu tidak terlalu ambil pusing.

Suatu hari, seorang teman ibu yang sekarang berada di Malaysia di grup whatsApp mengirim sebuah link berita. “Eva, kayaknya berita ini terjadi di Bangil deh, kotamu bukan? Coba di cek?” pada saat itu, ibu tidak langsung membuka link karena sesuatu hal lain yang harus diselesaikan. Pagi itu ibu berangkat pengajian, sesampainya disana ibu-ibu terlihat menangis mendengar cerita dari seorang ibu yang lain.

Ada apa ini? Ibu belum mengerti apa yang terjadi.

“Ada anak jatuh dari tower di alun-alun, Bu… kasihan…”

“Lho, kok bisa?” tanya ibu.
 
“Iya dia naik tower listrik, dan menjatuhkan diri dari tower itu, kepala pecah, badannya remuk,” kata seorang ibu sambil berlinangan air mata.

Ibu tertegun, kota kita kan kecamatan kecil yang dianggap kota santri, karena keagamisan masih kuat mengakar, selain itu kota yang ramah, yang penduduk satu kecamatan itu seringkali akan saling mengenal satu sama lain. kota yang ramah, kota yang mungil jauh dari gemerlap metropolitan. Kota mungil nan bersahaja yang lantunan anak kecil membaca al-quran masih sering terdengar di speaker-speaker masjid, kota kecil yang dalam setengah jam saja dapat mencapai ujung-ujungnya. Namun, berita itu menggemparkan. 

“Menurut berita, anak itu nggak kuat karena di bully teman-teman sekolahnya, sering disiksa secara psikis,” salah seorang ibu menyebutkan perkiraan berita terhadap kematian anak itu.

Hati ibu sedih sekali nak, ketika mendengar  ada anak kecil yang bunuh diri.

Aku yang mendengarnya juga tersentak, membayangkan alun-alun kota yang ramai.

Bukankah alun-alun kota merupakan tempat berkumpulnya masyarakat. Kotaku yang kecil. Kotaku yang ramah. Kotaku yang harmonis.

Malamnya, ibu mulai merasa ingin mengecek link berita yang disampaikan teman ibu. Begitu meng-klik yang muncul pertama kali ada rasa ngeri karena terlihat seorang anak naik tower. 

Gambar kedua memperlihatkan tubuh si anak melayang di udara. Gambar ketiga melihat tubuh anak bersimbah darah. Benar,  ini berita yang sama dengan yang diceritakan teman ibu.

Begitu melihat nama si anak itu…

Hati ibu langsung serasa  terjun bebas ke tanah, tubuh ibu mati rasa, rasanya melayang tidak menapak bumi, kepala ibu pusing, napas ibu berat begitu susah untuk bernapas, bahkan berkata-kata pun tak mampu. Airmata mengalir deras…

Nama anak itu Mukhlis.

Nama yang sama dengan nama anak klien ibu.

nama kedua orangtua itu juga sama, sama dengan nama klien ibu.

Itu mereka. Itu mereka. Itu anak yang ibu berkali-kali gagal temui.

Rasa bersalah hinggap tak terelakkan,

Kenapa ibu harus menunggu orang untuk membawa anak itu untuk bertemu ibu?

Kenapa nggak ibu langsung datangi?

Kenapa saat itu, ibu nggak menuruti rasa nggak enak ibu untuk bertemu langsung dengannya?

Kenapa belum sempat bertemu ibu?

Kenapa ibu belum sempat bertemu dengannya sekadar untuk menjadi orang yang mendengar bebannya…

Kasihan sekali anak itu, masih begitu muda, harusnya ibu ada untuk membantu…
Ibuku terisak, aku mengerti perasaannya, mataku ikut memanas, ikut tersedu dan tergugu. Bagaimana tidak? 

Saat seseorang itu harusnya menjadi bagian dari tanggung jawabmu, kamu akan tahu rasa sedihnya ketika tahu kita belum sempat melakukan apa-apa.

Ini takdir. Benar.

Tapi episode ini sempat singgah menjadi setitik tanggung jawab bagi ibuku.

***

Nak, Pernahkah dirimu mendengar seorang anak kecil bunuh diri karena dibully?
Bagaimana jika anak kecil itu adalah tetanggamu,
Bagaimana jika anak kecil itu adalah saudaramu?
Bagaimana jika anak kecil itu adalah muridmu?
Dalam kasus ini, dia adalah pasien Ibu?
Setitik bagian dari tanggung jawab ibu.

***

Dan selanjutnya, ibuku mendapat telpon dari beberapa ibu rumah tangga yang anaknya menyatakan diri ingin menjadi mukhlis berikutnya.
Masalah Mukhlis belum berakhir.
Ia melahirkan Mukhlis Mukhlis yang lain…

***
Apa akar masalahnya?
Saat kita berbicara tentang seorang anak.
Kita akan tahu bahwa banyak factor yang akan mempengaruhi tumbuh kembang fisik dan mental seorang anak.
Sehat fisik dan mental itu saling mempengaruhi.
Anak adalah wajah masa depan bangsa.
Anak adalah wajah sebuah negara.

Keluarga, Masyarakat dan Negara.
Punya peran krusial dalam membangun karakter mayoritas anak bangsa.
Mengapa ada anak seperti Mukhlis satu, Mukhlis dua, Mukhlis tiga.
Mari kita bijak sejenak.
Ini masalah lintas dimensi. 

Tak akan pernah seorang psikolog dapat mengatasi kasus demi kasus yang lain,
perubahan ini harus multidimensional pula,
masalah ini harus diselesaikan juga melalui campur tangan negara,
tidak bisa tidak.

karena masyarakat sakit mental,
bisa jadi karena residu sebuah sistem yang sakit. 

Hati saya sakit.
Sakit dan sedih sekali.
sekali. 
sangat. 

*bersambung...
***

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...