Bagaimana Islam Mengentaskan Kemiskinan?
Latar Belakang
Menjelang pesta demokrasi Juli 2014 nanti. Berbagai platform ekonomi
dikampanyekan untuk menjawab masalah kemiskinan yang tak kunjung usai, dan
malah cenderung semakin meningkat. Padahal, beragam rumusan ekonomi telah
digulirkan. Presiden sudah enam kali berganti, wakil presiden 11 kali, kabinet
42 kali, tetapi fakta angka kesenjangan ekonomi masih tinggi.
Ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistika (BPS). Dimana saat masa
presiden Soeharto (1970) penduduk miskin berjumlah 70 juta orang (60%). Pada
akhir 1998, akhir jabatannya, turun menjadi 49,5 juta (24,2%). Awal
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999) jumlah penduduk miskin 47,97
juta (23,42%) dan diakhir masa jabatannya (2001) menjadi 37,87 juta orang
(18,41%). Presiden Megawati mengakhiri masa pemerintahannya (2004) dengan jumlah penduduk miskin 36,15 juta
orang (16,6%). Kemarin, menjelang akhir masa jabatan SBY (2013) penduduk miskin
sebanyak 28,55 juta orang (11,47%) (lihat,’Isu
Lama Cara Baru’, Kompas, 13/2/2014).
http://radio.ptik.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/kemiskinan.jpg
Meskipun jumlah dan persentase terlihat cenderung menurun. Anehnya, BPS
menyatakan kesenjangan berdasarkan rasio Gini[1]
meningkat. Rasio Gini pada tahun 1966 sebesar 0,355 sementara tahun 2013
melebar menjadi 0,413. Harusnya semakin kecil angka kemiskinan, semakin sempit
rasio Gini. Jadi, intinya kesenjangan antara si kaya dan miskin malah semakin
lebar.
Tampilan Baru, Rasa Lama.
Sebagai ideologi, kapitalisme
pasti akan menghasilkan politik ekonomi ala kapitalisme dan cara-cara
pengentasan kemiskinan khas
mereka. Berbagai solusi yang dikeluarkan selama masih berpangkal pada sistem
ekonomi kapitalisme pada hakikatnya hanya packaging
baru rasa lama. Tentu penanganan kemiskinan tidak akan pernah berhasil,
jika masih mengenakan paradigma kapitalisme yang keliru dalam memandang ekonomi
dan kemiskinan.
Sebenarnya, banyak faktor
yang membuat seseorang menjadi miskin, namun secara garis besar kemiskinan
dapat disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu
kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental
atau fisik, usia lanjut dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, kemiskinan
yang disebabkan oleh rendahnva kualitas SDM akibat kultur masyarakat; misalnya
rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain.
Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan
sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar
pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas
dalam masyarakat. Kemiskinan
jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Kemiskinan struktural tersebut merupakan konsekuensi logis penerapan sistem ekonomi
Kapitalisme yang rusak baik secara paradigma maupun konsep derivatif atau
turunan dalam kebijakannya.
Menilik Paradigma
Sistem Ekonomi Kapitalisme (SEK)
Dalam mengatasi kemiskinan, SEK tentu mempunyai
pandangan khas tentang kemiskinan itu sendiri, bagaimana kemiskinan itu
terjadi, dan bagaimana cara menyelesaikannya. Pertanyaan itu menghasilkan jawaban dan
rumusan. Yang tentu saja berkaitan erat dengan konsep ekonomi lainnya, seperti:
pandangan tentang kebutuhan manusia, mekanisme ekonomi, regulasi, konsep
kesejahteraan dan kemakmuran. Kemudian, menjadi paradigma mendasar SEK.
1.
Apa itu kemiskinan dan
bagaimana bisa terjadi?
Dalam pandangan SEK, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan
individu akan barang dan jasa. Selanjutnya, kapitalis menganggap bahwa
kebutuhan manusia tidak terbatas dan terus berkembang seiring berkembangnya
jaman. Sementara itu, barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia sangat terbatas. Kelangkaan inilah yang
mengakibatkan kemiskinan. Maka ada dua
paradigma kapitalis yang tersirat dari penjabaran diatas, seperti paradigma kelangkaan barang dan jasa adalah
penyebab kemiskinan dan paradigma kebutuhan
manusia bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas dan meningkat seiring
berkembangnya zaman.
2.
Lalu
apa indikator kemiskinan dalam pandangan SEK?
Indikator kemiskinan yang mereka gunakan
bersifat makro. Karena dalam pandangan SEK, kemiskinan adalah permasalah
ekonomi makro. Serta pengukuran
dilakukan melalui Gross National Product
atau pendapatan perkapita penduduk suatu negara. Sehingga, kesejahteraan pun
diukur secara makro. Bukan individu.
Selain itu, kapitalis mempunyai standar ganda
dalam menetapkan kemiskinan. Penduduk negara berkembang yang mampu memenuhi
kebutuhan primernya sudah dianggap tidak miskin. Sementara, di negara maju,
penduduk yang hanya mampu memenuhi kebutuhan primernya saja masuk kategori
sangat miskin.
Inilah paradigma
pertumbuhan negara versi kapitalis. Pertumbuhan Negara (National
Growth) SEK dihitung dengan mekanisme Gross National Product (GNP) atau
rata-rata pendapatan penduduk pertahun, caranya
jumlah total kekayaan penduduk dibagi dengan jumlah penduduk. Setelah
dibagi, jika hasil rata-rata bernilai besar, maka telah makmurlah warga negara tersebut. Ini dijadikan asas menilai pertumbuhan ekonomi suatu negara.
3.
Bagaimana cara menyelesaikan
kemiskinan?
Solusi yang dirumuskan kapitalis untuk mengatasi kemiskinan,
yang dianggap berpangkal pada kelangkaan (scarcity)
barang dan jasa, adalah melakukan produksi semaksimal mungkin agar alat pemenuh
kebutuhan yang langka itu menjadi tersedia sebanyak-banyaknya.
Selanjutnya, hal tersebut menjelaskan produksi adalah fokus utama kajian ekonomi kapitalisme. Teorinya
semakin banyak barang yang yang dihasilkan di masyarakat, semakin banyak alat
pemuas kebutuhan yang beredar, semakin besar kesempatan masyarakat untuk
memperolehnya, untuk memperolehnya masyarakat dibiarkan mengupayakan apapun
untuk mendapatkannya. Namun, tidak ada
jaminan bagaimana hasil produksi ini dapat menyebar merata di dalam masyarakat dengan adil.
4.
Bagaimana mendorong masyarakat memproduksi dan mendapatkan hasil produksi
semaksimal mungkin agar terhindar dari kemiskinan?
Maka, penyelesaiannya pun berkaitan erat
dengan prinsip sekulerisme dan liberalisme : individu dibiarkan berusaha
sebebas-bebasnya. Hal ini dikenal
dengan paradigma kesejahteraan SEK, yaitu kemakmuran
masyarakat akan dapat tercapai apabila mereka diberikan kebebasan untuk
melakukan tindakan-tindakan ekonomi tanpa adanya campur tangan pemerintah.
Tidak ikut campurnya pemerintah dalam SEK
merupakan salah satu cara pandang mereka terhadap perekonomian. Kita
mengenalnya sebagai paradigma ekonomi mandiri non-pemerintah, dimanapemerintah tidak berhak ikut campur dalam menangangi ekonomi pasar, perekonomian tidak dikontrol oleh pemerintah melainkan diserahkan
pada harga pasar, pemerintah
tidak menentukan dimana masyarakat bekerja dan apa yang diproduksi.
Ada pula paradigma
kebebasan berekonomi. Jargon
terkenal bapak ekonomi
kapitalisme, Adam Smith, An Inquiry into
the Nature and Cause if the Wealth of Nation. Maknanya, setiap orang adalah hakim bagi dirinya
sendiri, yang paling tahu akan kebutuhan dan kepentingan dirinya sendiri,
sehingga sebaiknya dibiarkan dengan bebas mengejar kepentingannya. Maka, masing-masing individu akan terpicu
untuk berbuat yang terbaik saat terlibat persaingan bebas dalam mencapai kemakmuran.
Lebih jauh, lahir derivatnya yang terkenal
yaitu paradigma kepemilikan, Individu
memiliki kemerdekaan di segala bidang untuk memiliki kekayaan dan
kesejahteraan, bebas sebebas-bebasnya berusaha, mencari pekerjaan, memilih
barang konsumsi, bersaing dan sebagainya.Jelas dimana motif pokok berpusat pada kepentingan individu.
Kemudian, munculah paradigma
persaingan bebas yang mana persaingan bebas dianggap sebagai jalan untuk
meningkatkan daya saing individu di masyarakat dan memicu kreatifitas agar
memenangkan kompetisi pasar. Jika tidak diciptakan kondisi bersaing, masyarakat
akan manja dan tidak produktif. Kemudian, dengan
persaingan bebas, produsen akan cenderung meningkatkan produksi yang artinya pendapatan dapat dimaksimalkan.
Kemiskinan dalam Perpektif Islam
Kata kemiskinan/kefakiran dalam bahasa arab yakni faqr, dimana menurut bahasa bermakna ihtiyἁj (membutuhkan). Bisa dinyatakan dengan: faqara wa iftaqam; lawan katanya istaghnἁ (tidak membutuhkan/kaya); iftaqara
ilayhi maknanya adalah ihtἁja (membutuhkan). Kata faqir, menurut pengertian
syariah adalah orang yang membutuhkan, yang keadaannya tidak bisa dimintai
apa-apa.
Dalam ekonomi
kapitalis fenomena kemiskinan dianggap sebagai sesuatu
yang relatif (nisbi). Menurut mereka,
kebutuhan manusia akan terus berkembang, mengikuti perkembangan alat pemuas kebutuhan, sehingga pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut akan
berbeda-beda karena perbedaan kekhasan
masing-masing individu dan bangsa. Konsekuensinya adalah standart kemiskinan antar bangsa-bangsa di dunia akan
berbeda-beda, antara negara maju dengan Negara berkembang/miskin. Masih menurut Kapitalisme, standar
kemiskinan berbeda karena rakyat negara maju
membutuhkan barang dan jasa yang lebih banyak dan tidak terbatas dibandingkan
dengan rakyat negara berkembang/miskin yang pemenuhannya hanya terbatas pada
kebutuhan primer. Misalnya, tidak terpenuhinya
kebutuhan sekunder di Eropa dan Amerika, sudah digolongkan sebagai kasus
kemiskinan, namun ketika kasus tidak terpenuhinya kebutuhan sekunder tersebut
terjadi di Indonesia atau Afrika, meski kebutuhan primernya sudah terpenuhi,
tidak dianggap miskin. Maka, anggapan yang berlaku pada
sistem ekonomi kapitalis ini adalah sangat salah,hanya berupa asumsi saja bukan
sesuatu yang nyata terjadi.
Padahal,
kebutuhan-kebutuhan tersebut pada dasarnya sama meskipun mengalami
perkembangan seiring berkembangnya alat pemuas kebutuhan. Manusia dilihat dari sisi dirinya sebagai manusia, apapun
bangsanya, dimanapun ia tinggal, semuanya diberikan fitrah yang sama-sama
diberikan potensi kehidupan (kebutuhan jasmani dan naluri-naluri). Sehingga, hukum-hukum syariah yang diberlakukan pada
manusia tidak akan menjadikan sistem tersebut berbeda-beda dengan keberagaman
personelnya. Pasalnya hukum-hukum syariah
berlaku untuk manusia sebagai manusia, bukan sebagai individu. Maksudnya adalah, jika
suatu negara memerintah rakyat di Spanyol dan di Indonesia, maka yang dilihat
adalah kebutuhan rakyat sebagai manusia yang memiliki potensi kehidupan yang
sama, bukan kebutuhan rakyat karna sifat keindividuannya sebagai bangsa Spanyol
atau Indonesia.
Anggapan bahwa kemiskinan adalah implikasi dari kelangkaan barang dan jasa
dari kebutuhan manusia yang tidak terbatas adalah keliru secara faktual. Alasannya, karena bertentangan dengan realitas bahwa
kebutuhan manusia itu sebenarnya terbatas. Logikanya, bukankah di dunia ini tidak ada manusia yang mampu makan lebih dari tiga
piring nasi dalam satu waktu? Bila ada, apakah orang itu juga mampu memakan sepuluh
piring nasi dalam satu waktu? Tentu saja tidak ada.
Dan problem ekonomi yang sebenarnya
bukan soal kelangkaan, melainkan soal bagaimana setiap individu bisa mengakses
barang dan jasa atau memperoleh keduanya (distribusi). Teori kelangkaan
dan solusi yang hanya fokus pada produksi akan berbahaya, sebab menimbulkan
berbagai efek negatif seperti
terjadinya penimbunan barang, tidak meratanya hasil produksi, tingkat kekayaan negara hanya diukur secara
makro berdasarkan Gross
National Product (GNP)
atau produksi/penghasilan/pendapatan rata-rata nasional.
Islam
menganggap masalah kemiskinan manusia dengan standar yang sama, di negara manapun, serta kapan pun. Baik negara berkembang maupun maju. Menurut perspektif Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan kebutuhan primer individual (sandang, pangan, papan). Jadi bukan berdasarkan rata-rata penghasilan penduduk. Adapun hal-hal lain selain
sandang, pangan, papan, dianggap sebagai kebutuhan sekunder atau tersier
misalnya perhiasan, kendaraan pribadi, dll. Orang yang tidak bisa memenuhi
kebutuhan sekundernya meskipun kebutuhan primernya sudah terpenuhi, tetap tidak
bisa dianggap sebagai orang miskin.
Berbeda halnya dengan Kapitalisme dan Sosialisme, Islam menjadikan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer individu merupakan perkara fundamental dalam politik ekonominya, yang mana memastikan
tiap-tiap individu diantara mereka, terjamin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan terserier sesuai dengan kemampuannya. Islam juga memandang, negara sudah sejahtera
jika individu-individu di dalamnya telah hidup layak. Ini bertentangan dengan prinsip pertumbuhan negara dalam SEK.
Allah
sesunguhnya telah mengatur sedemikian rupa dalam hukum syara’, sehingga kemiskinan bisa
diatasi. Seperti, pengaturan terkait hak kepemilikan dan kebebasan berekonomi.
Hak kepemilikan dalam Islam dibagi tiga; umum, kepemilikan negara dan pribadi. Negara adalah pihak yang melindungi dan
menjaga ketiga jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Kepemilikan umum mencakup:
1.
Harta yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara
individu, seperti sungai, danau, laut, dsb.
2.
Apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti jalan,
masjid, dsb; termasuk yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءٌ فِيْ ثَلاَثٍ: فِيْ
الْمَاءِ، وَالْكَلأَِ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga jenis harta:
air, padang gembalaan dan api.
Termasuk dalam cakupan pengertian api adalah
seluruh jenis energi yang digunakan sebagai bahan bakar bagi industri, mesin,
dan transportasi. Demikian pula industri gas yang digunakan sebagai bahan bakar
dan industri batubara. Semua itu adalah kepemilikan umum.
Negara Khilafah adalah pihak yang mengelola
berbagai kekayaan itu baik dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun
pendistribusiannya. Negara Khilafah-lah yang menjamin hak setiap rakyat untuk
menikmati haknya dalam kepemilikan umum tersebut. Negara Khilafah
mendistribusikan hasil bersihnya, setelah dikurangi biaya-biaya, dalam bentuk
zatnya dan atau dalam bentuk pelayanan kepada semua warga negara.
Adapun kepemilikan
negara ada pada harta yang hak pengelolaannya berada di tangan Khalifah
sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, seperti harta fai’, kharâj serta
harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan semisalnya, dengan syarat
syariah memang tidak menentukan arah pengelolaannya. Khalifah mengelola kepemilikan negara sesuai
dengan pandangan dan ijtihadnya dalam berbagai urusan negara dan rakyat. Misal:
untuk menciptakan keseimbangan finansial di tengah masyarakat sehingga
harta itu tidak hanya beredar di tangan orang-orang kaya saja (QS 59: 7).
Khalifah boleh memberikan harta itu kepada orang miskin saja dan tidak
memberikannya kepada orang kaya. Hal itu seperti yang pernah dilakukan
Rasulullah dalam pembagian fai’ Bani Nadhir.
Sementara itu, kepemilikan individu adalah
yang pengelolaannya diserahkan kepada individu, pada selain harta milik umum.
Kepemilikan individu harta itu terlindungi. Negara tidak boleh melanggarnya.
Tidak ada seorang pun yang boleh merampasnya, termasuk negara sekalipun.
Nasionalisasi, yaitu penguasaan negara terhadap kepemilikan individu, merupakan
bentuk perampasan dan merupakan dosa besar. Ini akan menjaga stabilitas ekonomi
dari kerakusan individu.
Memang alamiah jika persaingan akan memicu kreatifitas dan kualitas. Namun,
Khilafah akan selalu menjamin kualitas suatu produk tanpa harus melewati
mekanisme kompetisi ekonomi. Masyarakat akan didorong untuk terus bekerja
sebaik-baiknya bukan karena berkompetisi semata, melainkan karena dorongan
keimanan untuk selalu bertanggung jawab atas pekerjaan dan hasil produksi yang
dikeluarkan.
Selain itu, peran negara dalam Islam sangat krusial dan pokok. Negara tidak
akan berlepas tangan. Negara akan mendorong individu untuk berusaha dan
menyediakan fasilitasnya. Negara berhak melakukan kontrol ekonomi meski tidak
dapat sepenuhnya mengontrol harga pasar. Contohnya, jika harga beras tinggi di
pasaran karena gagalnya musim panen dan beras yang dihasilkan sedikit, yang
tentu saja negara tidak bisa mengontrol fluktuasi harga pasar, maka yang bisa
dilakukan negara adalah mensubsidi harga beras pada saat itu. Membeli semua
beras dengan harga saat itu yang tinggi, dan menjual lagi kepada rakyat dengan
lebih murah.
Jaminan dalam Pemenuhan Kebutuhan
Pokok Masyarakat
Kebutuhan
pokok (primer) mencakup kebutuhan terhadap barang-barang
tertentu berupa pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa-jasa
tertentu berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. Khilafah menjamin
tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara
Islam secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa. Secara
garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan
kelompok kebutuhan pokok yang berupa barang (sandang, pangan dan papan) dengan
kelompok kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan pendidikan). Pengelompokkan ini dilakukan
karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok
yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa. Untuk pemenuhan
kebutuhan pokok yang berupa barang Khilafah memberikan jaminan dengan mekanisme
tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat
menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut.Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa
pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi
kebutuhan jasa pokok tersebut.
Adapun
dalil yang menunjukkan bahwa sandang, pangan, papan merupakan kebutuhan pokok adalah nash-nash
yang berkenaan dengan pangan, sandang dan papan (perumahan) yakni:
Allah SWT berfirman :“Dan kewajiban ayah adalah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik…” (TQS. Al-Baqarah
:233)
“Anak Adam tidak mempunyai
kebutuhan selain dari sepotong roti untuk menghilangkan laparnya, seteguk air
untuk meredakan dahaganya dan sepotong pakaian untuk menutup ‘auratnya.Dan
lebih dari itu adalah keutamaan.” (Al-Hadits)
“Tempatkanlah mereka (para istri)
di tempat tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian (TQS. Ath-Thalaq:6)
Demikian
pula jasa-jasa keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang
merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya.
Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah
dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh
aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban
bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang
menjamin pelaksanaannya. Untuk dapat melaksanakan semua ini, maka haruslah ada
jaminan keamanan bagi setiap warga negara. Demikian pula dengan kesehatan,
tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktivitas sehari-hari
tanpa di mempunyai kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya.Karena kesehatan
juga termasuk ke dalam kebutuhan jasa yang pokok yang harus dipenuhi setiap
manusia.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa
keamanan dan kesehatan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda
Rasulullah saw : “Barangsiapa yang bangun
pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan
hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (Al-Hadits)
Sedangkan dalil yang menunjukkan
bahwa jasa pendidikan adalah merupakan kebutuhan pokok, adalah karena tidak
mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, terlebih
lagi di akhirat kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk
mencapai kesejahteraan tersebut. Dalam hal ini Rasululah saw bersabda : “Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan)
dunia hendaklah ia mempunyai ilmu, barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan)
akhirat hendaklah ia mempunyai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya
(kebahagiaan dunia dan akhirat) maka hendaklah ia mempunyai ilmu.” (Al-Hadits)
Tidak
akan mungkin seseorang dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat tanpa
adanya ilmu. Dan ilmu pengetahuan tidak mungkin diperoleh tanpa adanya
pendidikan. Karena
itulah maka pendidikan sebagai sarana untuk menuntut ilmu termasuk juga dalam
kebutuhan jasa yang pokok.
Jaminan
Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang dan Papan)
Untuk menjamin terlaksananya
strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan, maka Islam telah
menetapkan beberapa hukum yang berperan untuk melaksanakan strategi
tersebut.Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara
bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan
strategi tersebut. Adapun
tahap-tahap strategi tersebut adalah :
(1) Memerintahkan kepada setiap individu bekerja agar
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
Agar
semua kebutuhan pokok (primer) tersebut bisa terpenuhi secara menyeluruh serta dimungkinkan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelangkap (sekunder dan tersier), maka
barang-barang kebutuhan yang ada harus bisa diperoleh oleh manusia sehingga
mereka dapat memenuhi seluruh kebutuhan-kebutuhan tersebut.Sementara
barang-barang pokok tersebut tidak mungkin diperoleh, kecuali apabila mereka
berusaha mencarinya. Karena itu, Islam mendorong manusia agar
bekerja, mencari rizki dan berusaha.Bahkan Islam telah menjadikan hukum mencari
rezeki –khususnya bagi orang harus menangggung diri sendiri– adalah sebuah
kewajiban sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
(2) Kepala keluarga diwajibkan menafkahi kebutuhan pokok
orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Menurut
Az-Zein (1981), kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut telah
ditetapkan oleh syara’ atas orang-orang tertentu. Kewajiban memberi nafkah kepada isteri yang berupa
pangan, sandang dan papan adalah merupakan kewajiban setiap suami.
(3) Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan
pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan.
Jika orang-orang yang wajib bekerja
telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan sementara
ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara
wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar
orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang
menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda :“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia
akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Juga,
dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan, bahwa ada
seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw akan
memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai
sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil
(kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Kemudian Rasulullah
saw memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu, yang
diambil sendiri oleh beliau. Kemudian
beliau serahkan kepada orang tersebut. Beliau perintahkan kepadanya agar ia
pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan dan bekerja di sana, dan nanti
kembali lagi memberi kabar tentang keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang
itu mendatangi Rasulullah saw seraya mengucapkan rasa terima kasih kepada
beliau atas bantuannya. Ia menceritakan tentang kemudahan yang kini ia dapati.
Al-Badri
(1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra.
memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang
sedang berdoa kepada Allah SWT. Umar ra lalu bertanya :
“Apa yang
sedang kalian kejakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk
bekerja?, Mereka menjawab :“Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT.” Mendengar jawaban tersebut, maka
marahlah Umar ra, seraya berkata : “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal
kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian
Umar ra.mengusir mereka dari mesjid namun memberi mereka setakar biji-bijian.
Beliau katakan kepada mereka :“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”
Dari
sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah)
memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah
kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan
dan pengaturan urusan rakyat. Itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara
syar’iy, dan telah diterapkan oleh para pemimpin Negara Islam (Daulah
Islamiyah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam
dalam kehidupan.
(4) Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat
terdekat untuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu,
jika ternyata kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan
orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Jika
negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan,
namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga dan tidak mampu
mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban
nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman
Allah SWT : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknysa
dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian…”(QS.
Al-Baqarah :233)
Jika
ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi
tanggungjawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak
memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum
tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh
Islam.
(5) Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk
memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan.
Jika seseorang tidak mampu memberi
nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, baik terhadap sanak
keluarganya atau mahramnya, dan ia pun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram
yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih
kepada baitul mal (negara). Namun, sebelum kewajiban tersebut
beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak
mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang
muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya
berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini
Rasulullah saw pernah bersabda: “Tidak beriman kepadaku, tidak
beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur
dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal
tersebut.” (HR. Al-Bazzar).
Meskipun
demikian, bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sehingga
tetangganya tidak meninggal karena kelaparan. Namun untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebab memang negara (baitul mal) berfungsi menjadi
penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara
dan pengatur urusan rakyatnya.
(6) Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan,
sandang dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.
Menurut
Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan
butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.
Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang
menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu
masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara sempurna –baik
karena mereka telah berusaha namun tidak cukup (fakir dan miskin) ataupun
terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja– maka negara harus menempuh
berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Negara
dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang
merupakan kewajiban Syar’iy, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya,
sebagaimana firman Allah SWT :
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS.
At-Taubah :103)
Kesimpulan
Solusi yang ditawarkan Islam
dalam mengatasi kemiskinan, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukan
hanya pada tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim,
membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat direalisasikan.
Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan
Islam secara kaffah.
Referensi
Abdurrahman, Y. (2009, Januari 3). Sistem
Ekonomi Islam: Satu-satunya Harapan. Retrieved Februari 19, 2014, from
http://hizbut-tahrir.or.id:
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/01/30/sistem-ekonomi-islam-satu-satunya-harapan/
al-Maliki, A. (2001). Politik Ekonomi Islam.
Bangil: Al-Izzah.
An-Nabhani, T. (2004). Sistem Ekonomi Islam. Bogor:
Al-Azhar.
Kompas. (2014, Februari 13). Kemiskinan. Isu Lama Cara
Baru, p. 17.
Sihombing, M. ( 2013, Agustus 21 ). Kamus Ekonomi: Apa
Arti Rasio Gini. Retrieved Februari 19 , 2014, from Financial.com:
http://finansial.bisnis.com/read/20130821/9/157881/kamus-ekonomi-apa-arti-rasio-gini.
[1] Rasio
Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi
penduduk. Koefisien
Gini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila koefisien Gini bernilai 0
berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan
sempurna. (Sumber : Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) http://finansial.bisnis.com/read/20130821/9/157881/kamus-ekonomi-apa-arti-rasio-gini)
Comments
Post a Comment