Revision for Granted
"Bagi kalian yang hidup dalam dunia penelitian, jangan pernah takut dengan revisi. Karena revisi itu seninya meneliti. Dari revisi metodologi sampai laporan penelitian. Karena kita bekerja untuk ilmu pengetahuan, maka kita harus terbuka terhadap kritik dan saran untuk mencapai kehati-hatian," Begitulah wejangan dosen saya begitu kita selesai melakukan monitoring dan evaluasi 8 jam nonstop hari itu. Maksud baik beliau mungkin untuk menyemangati kita yang pulang hari itu, dengan segudang revisi, dan wajib bin harus diperbaiki dalam waktu singkat, sebelum monev dua hari lagi.
REVISI DAN HIDUP
Bukan, bukan tentang penelitiannya yang menarik perhatian saya.
Tapi, makna yang ada di baliknya.
Jika dalam dalam suatu bidang (misal: penelitian) saja kita tidak boleh alergi dengan revisi. Apalagi hidup.
Hidup sejatinya harus selalu siap dengan revisi.
Revisi disini saya artikan sebagai memperbaiki diri.
Bukankah untuk menjadi lebih baik, kita tidak boleh alergi dengan 'revisi'.
Bukankah mereka yang punya mental "growth" terbuka dengan perubahan yang lebih baik? Tidak menutup diri dan senantiasa memperbaiki diri dari hari ke hari?
Saat mendapat kritik dan segudang PR untuk 'revisi' mungkin kita akan menggerutu, merasa tersinggung dan sakit hati. Tapi, mari kita lihat esensinya.
Tiadalah revisi tanpa maksud untuk menjadikan sesuatu lebih baik.
Untuk menggapai surga pun kita harus rajin-rajin mengevaluasi dan ikhlas merevisi diri agar sesuai dengan apa yang Allah perintahkan.
Dalam artian, amalan baik apa yang masih perlu diperbaiki, esoknya kita siap merevisi amal kita menjadi lebih baik.
Semoga, lelah-lelah kita dalam merevisi diri menjadi lebih baik, menjadi amunisi kita kelak saat hari akhir nanti.
Wallahu'allam bishshowab
Comments
Post a Comment