NARADA SASANA
Tatapanku berkeliling. Melihat
muka satu persatu orang. Wajah-wajah teman-teman kelas tiga sma.
Ada Nara, temanku yang cantik ini
ingin mendapat satu kursi di Universitas nomor satu negri ini. Setiap hari
menekuri buku-buku rumusnya, buku latihannya, lupa makan, lupa minum, lupa
caranya untuk tersenyum. Mengikuti berbagai lomba hanya untuk menambah catatan
track recordnya. Les bimbel nomor satu
di negri ini. Itupun belum cukup, ia selalu begadang untuk belajar bahkan
sering minum kopi dan penghilang kantuk.
Apa dia pintar?
Aku rasa dia hanya rajin dan
sedikit em… ambisius.
Apa dia salah?
Tidak ada yang salah. Hanya…
Hanya apa?
“Nara, siapa yang membuatmu
begitu ingin masuk universitas nomer satu negri ini?”
“emm….”
“Dirimu sendiri? Orang tua?”
Ia menghela napas keras,
“Entahlah, yang aku tahu orang tuaku, kakakku, bahkan kakek nenekku adalah
lulusan universitas nomor satu. Semuanya. Keluargaku tak pernah memaksaku.
Tapi, Bukankah itu terlihat sedikit menggentarkan?”
“Aku mengerti,”
Airmata sedikit menggantung di
sudut mata lentiknya, yang ya tuhan bidadari pun pasti iri ingin memilikinya,
“Aku takut, sangat takut, aku tidak mampu mencapainya,” perkataannya bergetar
dan ia melanjutkan,” aku sangat takut, semua usahaku sia-sia, kau tau takdir seringkali
kejam dan licik, ia akan menghukum orang yang malah sangat-sangat
menginginkannya,”
Aku sepenuhnya mengerti.
“Ada dua orang yang aku benci,
yang pertama ia yang tidak berusaha sekeras diriku tapi dia lebih pintar
dariku, sehingga ia lebih mudah lolos ujian…” ia melirik tajam Jeda di ujung sana, “Yang
kedua, dan yang paling aku benci, orang yang tidak berusaha namun diliputi
berbagai keberuntungan.” Kali ini tanpa melirik pun aku tahu banyak teman yang
begitu. “Demi apapun, apa dunia ini akan selalu berpihak pada orang yang lebih
pintar dari yang biasa tapi tidak terlalu menginginkan sesuatu itu dengan
sangat, atau orang yang punya peruntungan bagus, dan orang punya uang banyak?
Demi Tuhan…. Apa orang-orang sepertiku
yang berusaha tapi tidak cukup pintar, tak punya cukup harta untuk menjemput
kesempatan-kesempatan lain dan tak punya peruntungan yang bagus akan selalu
terpuruk?” ia mulai menceracau dan menangis.
“Nara, seringkali orang yang tak
melayakkan diri mendapatkan rejeki lebih besar dari orang-orang yang layak. Itu
bisa saja terjadi. Sangat sering malah…”
“Iya kenapa itu bisa terjadi?”
“Entahlah, dari semua bilangan
rumit dan rumus peluang, Tuhan mengacak dan menghubungkan kita dengan takdir
yang kita dapat, kemudian memberi lagi kesempatan untuk memperbaikinya, lalu
menjatuhkan takdir lagi, lalu bergulir menjadi milik kita lagi…” aku ikut ikut
menceracau.
“…..Aku tahu itu, tapi tetap saja
mengapa?”
“Ada tiga hal yang harus kita
ingat saat kita berburu rejeki, “
“Apa itu?”
“…satu, pegang yang pertama,
untuk dapat meloncat ke tahap yang kedua, semua uang, kesempatan, peluang
adalah milikNya. Dengan kata lain, semua rejeki itu punya Allah. Pegang
itu,”
“ hemm… “ gumamnya.
“ yang kedua, teori kepantasan.
Pantaskan diri untuk mendapatkan pertolongan. Jika, kemudian teori kepantasan
mendadak bersifat anomaly. Pahamilah, ini juga kehendak Allah.”
“hemm,…”gumamnya lagi.
“Berkaitan dengan prinsip
pertama, alangkah indahnya jika kita tambahkan
kata ‘di’ dan ‘sedang’ sehingga tidak lupa diri. Jika sekarang : kita sukses,
tambahkan kata ‘di’, “kita disukseskan”, dan bubuhkan lagi kata ‘sedang’, menjadi “kita sedang disukseskan”. Dengan ini
kita akan menjadi selalu tahu diri dan lebih lapang. Pun begitu saat gagal,
“Kita sedang digagalkan,” oleh yang Maha Kuasa kita hanya sedang diletakkan
pada suatu kondisi yang sementara,”
“Hem….”
“Yang ketiga, hidup ini seperti
marathon, bukan lari cepat-cepat an. Yang menang adalah yang daya tahannya
paling kuat dan lama. Buat apa lebih cepat dari yang lain, tapi, setelah itu
mati kehabisan napas? Buat apa belajar dan berbuat baik dengan keras selama 60
tahun setelah itu korupsi. Bertahanlah…”
“Terimakasih,” ia beranjak pergi
tanpa berbalik lagi.
Dia tidak tertawa melihatku, dia
juga tidak tersenyum. Seperti kataku di awal. Sepertinya dirinya sudah lupa
cara tertawa dan tersenyum.
Aku tercenung, sebenarnya banyak
ribuan orang tertekan hanya karena nama besar keluarga, padahal ia tak pernah
dituntut demikian. Bahkan Tuhan semesta alam tak pernah menuntutnya demikian.
System pendidikan sekarang,
merenggut Naraku yang baik hatinya, yang cantik lagi rupawan, senang tertawa,
bertakwa, menjadi orang yang terenggut rasa welas asihnya berganti ketakutan
atas azas materialisme. Titel dan gengsi itu materi. Angka-angka nilai itu
materi. Sertifikat-sertifikat itu materi. Pandangan orang lain itu materi.
Materi dan materi.
Aku tahu Nara sekarat. Ia tak
lagi mengerti esensi murni perbuatan. Bahwa sesungguhnya kita harus tahu.
Selamanya hasil tak pernah menjadi hak prerogative manusia. Maka, kembali ke
poin satu. Segala rejeki milik Allah. Tugas kita hanya berusaha dan berdoa
sebaik-baiknya. Tak pernah kita dijatuhi dosa terkutuk atas hasil usaha, di
kitab lauhul mahfudz perbuatan manusia.
Nara-ku. Ia lupa tentang esensi
pandangan manusia. Bedebah dengan pandangan manusia. Persetan. Buat apa mencari
mati-matian apa yang tidak dibawa mati. Maksimal tapi bukan utama.
***
Bangkai. Aku melihat bangkai. Aku mual mencium bau
anyir, dari bangkai yang mulai membusuk.
Bangkai siapa?
Ia mati. Bunuh diri. Tanpa air
mata. Tanpa senyum. Tinggal jasadnya yang tanpa jiwa menatapku hampa.
Aku terdiam. Bangkai Nara.
Lalu, menendang bangkai itu.
Pergi.
Bah. Terimakasih pendidikan
Indonesia.
***
Kertas terkutuk itu akhirnya
ditempel. Kertas berisi penilaian-peniaian atas hasil-yang terkutuk- itu, yang
bukan atas penilaian proses, ada di depan mataku.
Narada Sasana – Tidak Lulus
Ujian Nasional.
Di sudut koridor, kulihat Nara
menatapku kosong. Lalu, bermunculan sosok Jeda dengan tatapan yang sama. Ada
Siska, ada Redo, ada…
Banyak sekali yang muncul… aku
begidik.
lalu jasad mereka mengambil tas yang terserak. melangkah pulang.
bah
Aku masih mengingat bangkai-bangkai
mereka.
Mengapa kalian tidak hantui
presiden Indonesia saja? Mengapa harus aku?
Bah. Brengsek.
Siapa yang harus disalahkan?
Orang-orangnya atau sistemnya?
Comments
Post a Comment