Penjaga dan Selembar Kain


Pernahkan kita ingin melakukan sebuah ‘kenakalan’ kecil? Saya pernah! Anda?
Di suatu hari, ada kakak kelas saya yang mengajak saya untuk datang ke perpus. Seperti semua peraturan perpus (yang saya tahu) tidak membolehkan makan dan minum di dalam perpus. Meskipun, saya sudah tahu. Tapi, tetap saja pengen menyelundupkan botol minum saya. Saya masukin ke dalam saku lah si botol berukuran kecil ini. Meskipun, episode penyelundupan ini berhasil tapi saya tidak menemukan sebuah meja pun yang sepi. Ugh… menyebalkan. Apalagi, semua mahasiswa tampak serius dan tentu saja tidak terlihat memegang makanan apapun seperti saya. Perasaan kecut menghampiri.  Padahal kalau mau cuek bebek saja, saya bisa dengan muka enteng dan baby face (hahaha) meneguk milk tea yang dingin dan
menyegarkan tenggorokan. Paling resikonya ditegur. Dipelototin.
Namun, akhirnya saya urungkan niat melakukan hal yang melanggar peraturan itu karena beberapa hal :
1.       Saya adalah wanita berkerudung dan berjilbab
2.       Tidak ada seorang pun disana yang tampak punya niat yang sama. Semua tampak nyaman menikmati keadaan yang tertib lagi tentram.
3.       Kondisi perpus yang tidak punya celah-celah untuk makan (hahaha)
4.       Ada penjaga perpus di setiap sudutnya.
Begitu saya menemukan tempat duduk ternyaman, saya merenungkan hal ini.
Ternyata, ada banyak hikmah yang terselip.
Dari poin satu saja, saya adalah wanita berkerudung dan berjilbab, namun sebagai manusia biasa, tentu saja saya selalu punya kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang salah (bisa jadi diterjemahkan dosa). Hanya saja selembar kain tebal ini (kerudung), membuat saya berpikir dua ribu kali.  Banyak pertimbangan-pertimbangan yang berkecamuk, seperti Apa kata orang-orang tentangmu nanti? Khususnya, bagimanana jika mereka mengeneralisir semua orang berkerudung itu nakal?  Atau orang berkerudung akhlaknya sama saja dengan yang tidak berkerudung? Tidak punya akhlak baik walau berkerudung?  Bagaimana…bagaimana…bagaimana….?
Ini menunjukkan, kekuatan sebuah kerudung dan jilbab. Kekuatan sebuah symbol dan status.
Kita bayangkan analogi terbalik, apabila saya tidak berkerudung dan tidak berjilbab. Mungkin dan bisa jadi, tidak ada pertimbangan karena pakaian. Karena, tidak ada ‘pakaian’ yang secara tidak langsung menjaga saya.  Saya tak punya penjaga pertama.
Disini saya menarik kesimpulan, bisa jadi saya belum benar dan baik sepenuhnya (dan tak akan pernah mungkin), hanya keputusan saya untuk mengenakan symbol-simbol ketakwaan menjadi penjaga dan pendorong tersendiri bagi saya untuk berbuat takwa. Alasan yang mengatakan saya belum siap mengenakan pakaian syar’I karena saya belum sholih adalah alasan belaka. Karena, saya sudah membuktikannya, saya malah terdorong menjadi lebih baik karena pakaian ini. Setidak-tidaknya saya jadi punya penjaga walau hanya selembar kain.  J.
Selain itu, ada dua hal lain yang membuat saya hari itu tidak jadi berbuat nakal. Yaitu, kondisi kondusif dan orang-orangnya.
Ini menunjukkan ketika sebuah ruangan (katakanlah perpus) sudah punya system dan aturan yang baik lagi penjaganya yang kompeten, maka terbentuklah kondisi yang kondusif dan tertib, sehingga orang-orang di dalamnya pun berputar sesuai dengan aturan yang berlaku. Semua komponen tersebut akhirnya membentuk sebuah system dan kesadaran bawah sadar. Dimana akan terjadi kondisi lanjutan yaitu ‘kontrol sosial’. Control social inilah yang akan menjadi penjaga kedua dalam bentuk informal setelah system yang secara formal terbentuk (Fakhirah, 2014).
Tereret…
Intinya adalah, saya ga jadi berbuat ‘nakal’ gara-gara segan dengan tertib dan rapinya kondisi disini. Jadi, malu sendiri kalau berbuat nakal. Semua orang di dalamnya ‘yang sudah terinternalisasi system dan menjadi pengontrol sosial’ di perpus, secara otomatis akan memelototi saya. Dan ini akan menjadi efek jera tersendiri bagi siapapun seperti saya yang ingin nakal, hehe.
Disini saya kembali mengambil pelajaran.
Sebuah kondisi yang sholih (benar) akan tercipta dari dua buah komponen utama, yaitu sistemnya dan orang-orangnya. Keduanya harus saling bersinergi menguatkan satu sama lain.
Sebuah kondisi yang sholih, yang lahir dari system sholih akan menghasilka individu-individu yang sholih pula. Serta lebih jauhnya, akan membuat segan dan malu bagi individu-individu yang tidak sholih. Yang akhirnya, akan memaksa mereka untuk turut menjadi sholih secara langsung maupun tidak langsung. (Robbaniy, 2014).

Begitulah analisis campur renungan saya pagi ini. Semoga bermanfaat…
Oh ya, semua sumber adalah fiksi belaka. Hehe…..




Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...