Ruang


Kita sama-sama membisu! Diam menunggu waktu mencair di antara kita. Nihil. Pelajaran yang aku tahu, cair itu datang apabila ada kehangatan di atas titik beku. Lalu, bagaimana, hangat itu datang apabila derajat beku semakin turun.
Aku beringsut pergi tanpa lagi peduli. Berharap kebekuan ini Cuma mimpi yang lalu besok, ‘blas’ hilang.
“Ruang…!” Kamu memanggilku gemetar.
Aku bergeming.
Aku memang ruang, tapi detik ini aku tak memiliki lagi ruang untukmu.
***

Ruang pergi. Ia meninggalkan hadiah yang pahit, yaitu punggungnya yang menjauh tak tergapai.
Rasa sesal meluap tak terperi.
Selama ini selalu ada ruang untukku bercerita.  Saat bertumpuk-tumpuk kejadian seru datang  dan aku selalu tahu kemana aku akan bercerita. Ruang yang paling aman untuk mencurahkan rasa.
Selama ini selalu ada ruang untukku menangis. Saat bedebah-debah itu mencideraiku, aku selalu tahu kemana aku harus berlari. Selalu ada ruang untuk saat-saat terburukku.
Selama ini selalu ada ruang untukku bersembunyi. Ruang memberiku rasa nyaman untuk menghindar. Ruang selalu hadir di saat aku ingin menghilang.
Selama ini selalu ada ruang untukku tertawa. Ruang yang melegakan.
Selama ini selalu ada ruang saat aku tak ingin diganggu siapapun.
Selalu ada ruang ada untukku.
Kali ini tak ada lagi ruang itu. Karena satu hal yang seharusnya tak ku lakukan. Mulai mencari ruang yang lain. Dan ruang pun pergi. Aku tergugu. Hatiku butuh ruang untuk menangis.
***
aku 
di ujung ruang, mencari ruang dan sedang berada di ruang.


dalam
antologi saja "Sang ruang". 

Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...