LOVE IT PROPERLY
Jurnalistik adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari hidupku. Dan semua orang tahu itu. Namun, kenapa dia
meragukannya?
***
Love it Properly,
Cintai sewajarnya,
Jangan pernah macam-macam denganku, Zwanisha.
Jika tidak engkau akan mendapat tuah sial dariku. Ini tidak main-main, setiap
orang yang tidak suka padaku, membenciku, menganggapku aneh, seringkali semakin
sering bertemu denganku. Semenghindar apapun mereka, dia dan kamu. Semakin
benci, semakin sering dibenturkan oleh waktu dan peristiwa denganku. Bukan karena aku
mempunyai mantra ajaib. Tapi karena
ini adalah sunnatullah.
***
Hei, aku nggak main-main. Aku percaya bahwa
Tuhan itu Maha Bijaksana. Semakin kita
tidak menyukai sesuatu, semakin Allah akan terus berusaha membenturkan hati
kita supaya menjadi lunak. Begitulah yang aku percaya. Dan itu selalu
terjadi di sekitarku, dengan diriku sendiri atau terjadi pada orang lain. Awas, bencilah sesuatu sewajarnya saja. Jika
tidak, engkau akan semakin sering dipertemukan agar hatimu melunak selembut
kapas.
Aku Zwanisha sangat suka menulis, suka membuat
puisi, suka membuat cerpen, juga menulis novel,
sesekali membuat artikel. Intinya aktivitas tulis
menulis tidak bisa dipisahkan dari hidupku. Karena seperti itulah aku adanya,
maka pada awal kelas dua SMA ini aku memilih Jurnalistik sebagai ekskulku. Yang
pasti aku anggap akan benar-benar mengembangkan sayap dan bakatku.
Cerita tentang seperti itu sebenarnya
biasa-biasa saja. Lalu, bagaimana jika aku ternyata sangat tidak akur dengan
ketua ekskul Jurnalistik, si Ega, anak seorang wartawan media terkenal. Huh,
ini lain lagi ceritanya.
Masuk ekskul Jurnalistik bukan karena
eksistensi, tapi karena memang aku sangat senang disana. Tapi, jadwal ekskul
Jurnalistik pada setiap selasa sore itu berbenturan dengan jadwal Liqa’ku yang
sudah ada sejak satu tahun yang lain. Apa daya, prioritas harus ditetapkan.
Akhirnya, Liqa’ adalah poros kehidupanku, jadwal lain.
“ Zwan….! Kamu keluar dari ekskul
Jurnalistik?” seru Sasal, temenku satu ekskul. Cewek manis bermuka imut ini
salah satu temen yang produktif memproduksi tulisan-tulisan baik secara kasar
maupun soft.
Aku mengangguk lemah, nggak bersemangat,
keluar ini juga bukan karena aku nggak suka ekskul ini.“Kenapa?!!!” Tanyanya
lagi dengan suara yang tinggi.
Aku menghela napas, “ Ya, prioritas Sal. Ada
yang lebih penting untuk didahulukan,” Sasal mengangguk.
Ia pasti mengerti, aku yakin. Karena dia juga
punya jadwal Liqa’ sepertiku.
“Udah bilang ke Ketua Jurnalnya?” kata Rara,
ketua divisi akhwat di ekskul Jurnalistik.
“Belum,
sebenernya aku masih ragu, tapi…. Memang keputusan harus diambil,” kataku
lirih.
Di luar guntur berdentum, cuaca mau hujan. Kami bertiga tetap bertahan diluar kelas.
“Jadi
anggota pasif gimana?” Sasal kembali bertanya. Tetesan air hujan mulai mengenai
bahunya. “Pindah yuk…” kataku sambil menarik Sasal dan Rara.
“Nggak
boleh, kan…. ,” kataku setengah berlari menuju kelas, diikuti Sasal dan Rara
disamping kanan kiriku. “Soalnya, kan
Cuma aku yang izin begini, nanti bikin yang lain iri,”
“Iya, hasil
rapat terakhir kemarin emang nggak diperbolehkan ada anggota pasif,” tambah Rara.
“Coba nego
dulu aja sama Pak Ketu,” usul Sasal. Aku mengangguk membenarkan usul Sasal.
“Tapi, kalau
emang nggak bisa nego,the last choise ya resign…. Gimana lagi,”
dengan mencoba sok tegar, aku mengatakan
sesantai mungkin. Padahal kalau mau tahu, gimana hatiku…..BERAT….dan sedang
galau. Seperti cuaca di luar, hujan lebat disertai Guntur besar.
“ Pilih yang
pahalanya paling gede, Insya Allah…” aku menambahkan. Diamini keduanya.
Tiba-tiba,
Sasal menjawilku, “itu..tuh…Pak Ketu…”
sontak aku dan Rara menoleh. Aku mendengus tidak bersemangat. “Katanya
mau nego?!”
Aku menoleh
pada cowok bersweater abu-abu bergaris merah yang sedang berjalan keluar dari
kelasnya itu. Sumpah, melihat tampangnya aku jadi nggak bersemangat. Mengingat
ketua Ekskul itu termasuk orang yang sensitive. Salah ngomong bisa berabe dunia
akhirat. Sekilas teringat beberapa perseteruan dengan dia tentang masalah
angkatan. Duh, sensitive kayak cewek deh beliau.
Kata orang (
bukan kata aku, karena aku nggak ikut ngomong ) Ega termasuk muka most
wanted di kalangan para cewek ( most wanted kayak teroris aja). Asal tahu aja, selain most wanted mukanya
karena ‘ganteng’ ( aku mendengus…._), ia juga penyandang predikat gombalers…
gimana nggak, ketika ada tugas jurnalistik apa-apa dia bakal ngelimpahin ke
cewek.
“Cewek kan
lebih rapi, lebih rajin gimana kalau cewek yang ngerjain tulisan mading…?”
(gombal 1) dan kita semua udah kebal.
“ Cewek ya
yang ngerjain reportase, kalau cowok kan …eng..pokoknya cewek aja
gimana…bla…bla,,” kata-kata selanjutnya udah terbang entah kemana…. ( gombal 2) dst.
“Ya udah gih
sana,” bahuku ditepuk, menyadarkanku kembali kalau aku sedang berbincang dengan
tiga orang kawanku itu.
“Temenin
dong,”
“ Kita, lagi
mikirin inception….ekskul handmade,” kata mereka serempak….
“Yah….dasar,
aku minta temenin Riva aja deh,” seruku kecewa. Segera aku meminta Riva
menemaniku, dia setuju. Sebuah misi untuk resign dimulai.
Setelah itu,
aku beranjak menuju kantor. Meminta untuk bicara dengan Ega sebentar. Langit
diluar benar-benar kelam, hujan semakin deras, lintar dan guntur beradu, kilat menyambar. Ini bukan
animasi atau efek dramatisasi. Tapi, emang inilah yang terjadi dengan alam.
Seperti mengerti keadaan hatiku.
“ Maaf, Ga….
Saya sejak sebelum masuk Ekskul
Jurnalistik, sudah punya jadwal di Hari Selasa. Jadi, karena itu saya mohon
perizinan buat jadi anggota pasif,” lhoh……kenapa bahasaku
jadi baku gini… ah,,,bodo amat.
“Jadwal apa
memang….?” Tanyanya datar. aku susah menjawab.
“Eng…jadwal
….jadwal…jadwal…..( mau ngomong Liqa’ tapi…kok kesannya sok banget)..yang
syar’I kok…”
“ Emm…kursus
gitu?” tanyanya. Aku menggeleng. “Bukan,
tapi sejenisnya…”
“ Ya,
bukannya nggak boleh…,” ia menahan kalimatnya. Menggaruk-nggaruk kepala
sebentar.
“Saya
mengerti, ini ditakutkan membuat yang lain iri,” kulihat ia menggangguk, aku
sudah memprediksi apa yang akan dikatakannya. Tapi, tetap saja aku kecewa.
Seandainya , alternative menjadi anggota pasif diterima mungkin aku akan tetap
bertahan disana. Namun, apa daya… kenyataan berkata lain.
“ Ya, nanti
dianggap ada diskriminasi, mentang-mentang kamu jadi diizinkan, yang lain
tidak,” katanya lalu kami terdiam lama. Pikiran berkecamuk berbagai macam
kejadian. Namun, hasil inilah yang keluar.
Aku menghela napas berat, “ Maaf, kalau
begitu… saya harus memilih salah satu maka saya izin untuk mengundurkan diri,”
“Ehm…
baiklah, tapi, kalau ada acara terbuka Jurnalistik kamu boleh ikut. Anak Jurnal
tetap menerima karya-karyamu… “
“Terimakasih
atas pengertiannya,” aku berkata lirih lantas berbalik pulang.
“Ayo,
Riv….,” bisikku pelan, entah Riva mendengarnya entah tidak. Aku tidak peduli.
Uh…bijak
sekali kata-katanya jadi terharu. Aku
bisa bernapas lega. Meskipun rasanya separuh jiwaku pergi. Aku berjalan gontai
tanpa rasa, rasanya seperti sedang disuntik bius dan sedang dalam keadaan tidak
sadar. Melayang. Ya, benar ada yang hilang.
Saat seperti
itu, aku lupa kalau aku dan dia itu bagaikan air dengan minyak. Tidak bisa
disatukan, cukup bersisian.
“ Bagaimana sudah bilang?” Sasal menepuk bahuku,
mengembalikanku menapak diatas bumi.
“Hem,
begitulah… “ jawabku tidak bersemangat… ( atau jelasnya sangat-sangat tidak
bersemangat).
“ Hasilnya?”
kejarnya lagi…
“ Resign…”
Tampak raut muka
Sasal tampak sedih, “Yah, kamu….”
“Maaf….”
Hanya itu yang bisa aku ucapkan, “ Tapi, tidak apa-apa, semoga Allah mencatat
ini sebagai sebuah lompatan besar menuju Ridha Allah,”
“Benar…” Rara
tiba-tiba menimpali dari jauh.
“Liqa’ is
priority, kawan. Poros kehidupan kita,” mendengar itu aku kembali bersemangat.
Dengan mengepalkan tangan ke udara, “ Bismillah, semoga Allah menggantinya
dengan yang lebih baik.
Aku mencoba
mengihklaskan, bukankah orang besar adalah ia yang pandai berkorban?
***
“Zwan… kenapa
keluar?!” Bu Ari, Wakasek kesiswaan menanyakan agak panic. Wakasek kesiswaan
yang satu ini memang sangat dekat dengan kami. Berbagi cerita, berbagi masalah
dan makanan (hahahaha)
“Memang
kenapa, Bu? Ada apa?” setengah hati aku menjawab tentang hal itu kembali.
Ehm…sepertinya belum ikhlas seratus persen. “Memang Ega bilang apa ke Ibu?”
“Coba, dia
marah-marah ke saya!?” kata Bu Ari seraya memelankan suaranya.
“Masa sih,
Bu?” aku jadi balik Tanya. “Gimana marahnya?”
“Dia bilang
Zwan ngeremehin Jurnalistik, sok banget, sok sibuk,”
Aku serasa
ditindih godam besar, sesak!!! Sangat! Tidak bisa bernapas!
“Emang apa alasan
Zwan keluar?” lanjut Bu Ari menanyakan maksud awal.
“Ibu tahu
sendiri, jadwal saya sejak jaman kapan tahu itu memang buat Liqa’. Saya nggak
bisa mengorbankan Liqa’ …,” jawabku
seadanya.
“Zwan, nggak
ngomong yang sebenernya kalau ada Liqa’?” Tanya Bu Ari lagi.
Aku
menggeleng, “Buat apa? Dia nanti kalau nggak ngerti bisa salah sangka lagi.
Predikat saya bisa tambah lagi jadi ‘sok alim’,” kataku pesimistis.
“ Yah,
setidaknya menjelaskan yang sebenarnya,” sambung Bu Ari memberi saran.
“ Biar waktu
yang menjawab, deh….” Aku mengangkat
bahu pasrah.
Kringg…… Bel
berbunyi tanda masuk kelas.
“Saya ke
kelas dulu ya,” aku pamit untuk meninggalkan kantor. Sebelum keluar aku sempat berpapasan dengan
Ega. Begitu melihatku tatap matanya menyiratkan sesuatu yang lain. Matanya
seperti berkata, “Dasar sok!”
Aku menarik
napas sedalam-dalamnya. Membiarkan ia melewati sisi kananku begitu saja. Dengan
aura ketidak nyamanan.
***
Cintailah sesuatu yang kamu cintai sewajarnya
saja, niscaya suatu hari ia akan menjadi musuhmu. Bencilah sesuatu sewajarnya
saja, niscaya kelak ia akan menjadi temanmu.
Imam Ali bin Abi Thalib.
Satu bulan berlalu, aku merasa aneh setiap melihat ekskul Jurnalist
sedang melakukan kegiatan. Ada perasaan rindu namun juga merasa itu bukan
tempatku lagi. Aku sedih. Namun, aku selalu berharap Allah memberi satu
kebaikan. Pahala karena telah memprioritaskan ukhrowi. Amien ya Allah.
Suatu hari yang cerah, “Zwan!!!” Sasal meneriakiku semangat.
Aku mendongak dari buku yang aku baca,” Ada apa?”
“Coba tebak! Aku bawa berita untukmu...” kata Sasal menggebu-gebu. Aku
tertawa ringan. Sasal pasti bawa berita gembira buat aku.
“ Apa ya...kamu dapet uang saku
lebih bulan ini?”
“ Bukan...!”
“ Kamu menang lomba nulis!”
“Bukan juga tapi AAAMIIEENN!”
Aku tertawa lagi, pipi Sasal kalau sedang senang memerah. Lucu.
“Ekskul jurnalist ganti hari...”
“Trus...” kataku datar, padahal kalau kalian mau tahu. Huah, rasanya
meledak seperti kena dinamit dan diluncurkan keluar angkasa. Terbang.
“Yah, kok poker face sih kamu!” serunya kecewa.
Aku tersenyum sok bijak, “Sal, emang menurutmu etis kalau aku keluar
terus masuk lagi? Lucu lah, Sal,”
“Yah, sapa tahu boleh dan layak dicoba kan?”
“Nah, aku kayak nggak berpendirian gitu kan,” bantahku.
“Kan kamu khudur syar’i karena bertepatan dengan jadwal lain, kalau
nggak bertepatan artinya kamu bisa dong. Dan itu udah cukup untuk masuk lagi,”
Aku mendesah mempertimbangkan. “Yah nanti kupikirkan lagi,”
***
Aku duduk memojok di sudut ruangan, berharap tak ada yang menyadari
kehadiranku selama acara berlangsung. Aku memperhatikan saja, Ega sedang
cuap-cuap di depan kelas. Membimbing kegiatan ekskul Jurnalist. Tiba-tiba,
“Oh, ya ... sepertinya ada wajah baru di ujung sana!” aku tergagap,
seantero kelas jadi terpusat padaku. Oh...oh...oh... aku jadi linglung.
“Saya ucapkan selamat datang kepada wajah baru yang lama. Selamat
bergabung kembali!” ucapnya, yang kurasa dari tatapan dan senyum di wajahnya ia
benar-benar tulus bilangnya.
Aku mengangguk tanda mengiyakan. Terima kasih sambutan singkatnya
walaupun kurasa itu tidak perlu. Dan kupikir aku akan menarik kembali semua
azas praduga negatifku buat dia. Karena kita tidak bisa menghakimi seseorang
berdasarkan sisi luar dia saja, atau menghakimi pribadi karena prasangka dan
perasaan kita saja.
Oh, ya. Aku belajar
sesuatu, cintailah sesuatu sewajarnya saja, karena siapa tahu kelak ialah
musuhmu atau sebaliknya. ^_^
***
Zwan
Trying to be positive
thinker.
***
Comments
Post a Comment