PENGEMIS KAMIS


“Assalamualaikum, Bah...Umi...sepuntene...(permisi),”
“Bah, nyuwun(minta)...Bah! seikhlasnipun(seikhlasnya)...sakwelase(belas kasihannya)...” terdengar suara orang meminta-minta dari luar rumah.
Sekarang hari apa? Ah, benar, sekarang hari kamis. Lastri mendesah pelan. Ia terusik oleh suara yang rutin hadir di hari kamis itu.
Namun, sampai sekarang ia tak pernah senang ketika suara itu datang. Ia beranjak sejenak untuk mengintip. Ia menduga pemandangannya sama saja seperti setiap hari kamis yang lalu-lalu. Dan memang betul. Didepan rumahnya yang masih berdinding bata alakadarnya, karena masih belum punya uang untuk membuatnya jadi dinding seutuhnya. Berdiri kira-kira enam orang berbagai usia. Ada yang berusia lanjut, remaja, anak kecil bahkan masih dalam gendongan. Berpakaian khas namun layak, menengadahkan tangan untuk meminta-minta. Sungguh tidak punya malu. Bahkan dari mereka ada yang bertubuh segar lagi tambun, ada juga remaji yang turut serta berupa cantik dan tidak kurang suatu apapun untuk bekerja.
“Assalamualaikum, ba....” mereka mengucap salam kembali. Lastri juga kembali menghela napas merasa terusik. Yang mereka cari selalu Abah. Bukan Lastri atau Uminya.
“Ba, Sakwelase, Ba!”
“Umi, mi...wonten tiang njaluk-njaluk niku!(ada orang minta-minta itu!),”Lastri berkata pada Uminya sedang sibuk memasak di pawon bersama rewangnya.
Wis, celuken Abahmu kono!(udah, panggilkan Abahmu sana!),”
Tasik teng wingking, Mi! Mboten saget diganggu!(masih di belakang, Mi. Nggak bisa diganggu!),”
“Wis...tala..nduk. celuken, pasti gelem teko Abahmu iku! Kandanono ae onok fans ne de’e!(Udah pokoknya panggil saja, pasti mau datang Abahmu itu! Bilangin aja ada fansnya),”
“Ah, Umi iso ae!(Ah, Umi bisa saja!)” Lastri tertawa mendengar kata-kata Uminya itu. Ia bergegas memanggilAbahnya itu. Abahnya sedang membuat adonan tahu.
“Bah, wonten fans teng ngajeng! Mriksani panjenengan!(Bah, ada fansnya di depan! Mencari Anda!)”
“Iso ae seh nduk...nduk...!(Bisa saja sih, nak...nak...)” Abah tertawa mendengar perkataan Lastri. “Kenapa nggak Lastri saja yang menemui mereka?” tanya Abah, masih sibuk mencampur aduk kedelai setengah jadi. Tidak kunjung bergegas, semakin membuat suara-suara di depan rumah bertambah riuh.
“Eng...bawaannya sebel, bah” jawab Lastri jujur. Ia sebenarnya masih tak habis pikir kenapa Abahnya itu baik sekali dengan orang-orang seperti itu.
“ Ayolah, pekerjaan Abah masih lama, nanggung kalau cuma ditinggal sebentar,”  Abahnya memperlihatkan pekerjaannya yang hampir selesai. Lastri mengangguk tanda mengiyakan.
Nah, iku jenenge mbarepe Abah sing ayu!(Nah, itu baru namanya sulungnya Abah yag cantik)”  kata Abah membesarkan hati Lastri seraya mengangsurkan seribuan berjumlah enam lembar.
Lastri lalu bergegas menemui para penengadah tangan itu. Mengangsurkan uang enam ribu ke salah satu dari mereka. Ia memaksakan diri untuk tersenyum lalu bergegas menutup pintu. Bermaksud kembali melanjutkan aktivitas membantu Uminya membuat adonan kue basah untuk dijual. Belum sampai Lastri di pawon, suara ketuk pintu terdengar bersahutan dengan suara yang sama seperti beberapa menit sebelumnya.
Abah....Assalamualaikum...Bah,”
Lastri menghentak kesal, “ Opo maneh karepe seh?(Apa lagi maunya, sih?)”   setengah hati ia berbalik untuk menemui mereka.  Begitu pintu dibuka, pemAndangan dan struktur orang-orangnya yang dilihatnya tidak juga berubah.
“Mbak, arthanipun kirang kale ewu...(Uangnya kurang dua ribu...)” dengan percaya diri mereka berani berkata begitu. Membuat Lastri menganga kaget, wajahnya berubah masam.
Dikei ati nggrogoh rempela panjengan-panjenengan niku. Pun, sampun wangsulpun bu...sampun,(dikasih hati minta rampela kamu kamu itu. Sudah, sudah, pulang sudah)”  kata Lastri menahan sebal. Berharap mereka segera berlalu.
Namun, sayang seribu sayang, mereka seperti membantu disitu. Tak kunjung bergerak selangkah pun untuk menjauh dari pekarangan rumahnya itu. Lastri juga menutup pintu tak mau tahu. Masuk rumah dengan mengomel sebal. Sampai membuat ayahnya datang tergopoh-gopoh.
“Ada apa, nduk? Muring-muring ra karuan!(Marah-marah nggak jelas!)
“ Tuh, bah. Mereka masih di depan pintu, mogok, nggak pulang. Katanya kurang dua ribu!”
Ayahnya memAndangnya kemudian tertawa, “ Oalah nduk, ngono ae kok nesu!”
Lalu, beliau meneruskan langkah keluar rumah, Lastri tahu Abahnya itu pasti akan memberikan uang dua ribu seperti yang diminta.
“Tuh, masalah udah selesai kan?” canda Abah, Lastri tetap manyun sebal sambil melanjutkan pekerjaannya.
“Abah kasih dua ribu?” Lastri bertanya was-was.
Abahnya tersenyum, “ Lima ribu,”. Apa yang dikhawatirkan Lastri terjadi. Selalu seperti ini dan Lastri selalu tak habis pikir.
***
Seperempat jam kemudian,
“Ba, sak welase ba...!”
Di depan rumah Lastri kembali bergerombol orang-orang penengadah tangan kloter kedua.
“Ba, nyuwun...nyuwun...ba...,”
“Aba...Aba... nyuwun... sak ikhlasipun,”
Kali ini sahut-menyahut lebih provokatif. Sepertinya lebih banyak.
Lastri menghela napas sambil berdecak sebal, “datang lagi...datang lagi,”. Ia menghentikan aktivitasnya lalu berjalan menuju jendela, mengintip ke depan rumah. Ia diam-diam menghitung jumlah penengadah di depan rumahnya.
“Tiga...lima...enam...tujuh...sebelas,” hitungnya dalam hati. Ia merogoh sakunya. Diberi seratus rupiah saja perorang, pikir Lastri. Kemudian, ia membuka pintu. Mengangsurkan uang seribu seratus rupiah kepada para penengadah itu.
satus edang ya...(seratusan-seratusan ya, bagi-bagi)”Lastri berusaha tersenyum semanis mungkin.
Ya...ampun mbak, dino ngene, satus gak iso gae opo-opo mbak, es ae lima ngatusan siji,(Ya..ampun mbak, hari gini, seratus nggak bisa buat apa-apa, es aja lima ratusan satu)” celetuk salah satu dari mereka. Muka Lastri yang tadi tersenyum langsung drastis berubah menjadi kecut.
Njaluke piro lek ngono?(Kalau gitu minta berapa?)” tanya Lastri menahan geram. Namun ia masih berusaha menyabar-nyabarkan diri.
Lima ngatus lah(lima ratuslah) minimal, mbak,” kata mereka lagi.
“ Nggak ada, udah sana pulang, “ akhirnya Lastri mengucap kata yang sebenarnya tidak ingin ia katakan.
Abahne pundi, mbak?(Abahnya mana, mbak?)” eh...mereka malah mencari Abahnya.
“Nggak ada,” kata Lastri berbohong terlanjur sebal.
“Bohong! itu ada sandal dan sama motornya,” tangkas salah satu dari penengadah cepat sambil menunjuk sepeda motor yang terparkir disamping rumah. Lastri menepuk jidat, “Pandai sekali para penengadah ini,” sengit Lastri dalam hati.
“Ya udah tunggu!” Lastri masuk, menutup pintu dan menemui Abahnya.
“Bah, sebelas orang, koyo jumlahe pemain bola ae iku. Dipikir kate tanding’a!(kaya jumlahnya pemain bola aja itu, emang dipikir mau tanding ya!)”Abah tersenyum mendengar kata-kata Lastri, kemudian bergegas mencuci tangan lalu beranjak menemui para penengadah.
“Nduk...nduk... meseme tho nduk, ngene ae kok ngelu,(senyumlah nak, gini aja ko pusing!)” ujar Abah setelah menemui para penengadah. Lastri kepalang sebal, hingga ia tetap manyun.
“Abah...sih! Kenapa Abah mau-maunya ngasih mereka, rutin lagi. Mereka itukan pemalas. Mereka masih sanggup bekerja dengan tenaganya. Abah bisa meminta mereka untuk melakukan sesuatu, lalu baru Abah beri uang,”
Rungokno iku jare mbarepmu!(dengerkan itu kata sulungmu!)Umi juga nggak ngerti. Mereka itu kan minta-minta bukan karena nggak mampu. Tapi, karena profesi. Mending Abah kasih yang beneran miskin. Tetangga, tetangga juga ada yang jauh lebih miskin,” Umi nimbrung ikut mengomel. Umi dan Lastri memang tidak pernah suka dengan fenomena setiap kamis pagi itu. Biasanya kalau Abah tidak ada, Umi akan keluar dan meminta mereka untuk membereskan pekarangan dan kebun dulu kalau mau dapat uang. Kalau tidak ya tidak usah.
Kalau tidak ada Umi dan Abah, Lastri malah tidak menghiraukan mereka sama sekali. Sehingga Umi dan Lastri dijuluki ‘pelit’ oleh para penengadah. Lantas karena enggan mereka pergi sambil mengomel. Berbeda dengan Abah yang bahkan sepertinya mengenal mereka satu persatu.
“Bukan Lastri gak seneng Abah bersedekah, tapi kan kita harus bijak saat memberi. Mana yang harus diberi mana yang harus diajari,” kata Lastri.
Lelaki bermata teduh itu tersenyum hangat menatap Lastri.
“Bukan Abah tidak bijak, ini hanya persoalan memberi...”
“Tapi, Abah tidak mendidik mereka, malah membuat mereka nyaman,”  potong Lastri cepat.
“Abah sudah pernah meminta mereka untuk bekerja paling tidak bantu-bantu sedikit, sayang. Tapi, memang dasarnya mereka itu miskin, bukan miskin harta. Tapi miskin mental. Mereka tidak malu dengan profesi mereka,”
“Abah juga rutin berbagi ke tetangga kok, Mi,” kata Abah lagi.
“Lah, itu sudah tahu. Ya, sudah nggak usah dikasih lagi, Bah. Apalagi ekonomi kita juga biasa-biasa saja, bahkan lebih sering seret,”
Nduk, nduk., Sing sugih iku sing ngekeki opo sing njaluk?(Nak, nak, yang kaya itu yang ngasih atau yang minta?)”tanya Abahnya retoris, “Ini bukan persoalan layak atau tidak diberi, ini hanya persoalan berbagi ke sesama. Selama kita masih punya, berbagilah, Opo kene nggak oleh nduk ngekeki sing sugih? Oleh kan...apa kita nggak boleh nak ngasih orang kaya? Bolehkan... Abah melihat siapapun dia baik yang kaya ataupun yang miskin, tidak ada salahnya kita berbagi rizki kepada mereka. Pada hakikatnya, tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Siapapun yang tangan diatas dialah yang lebih kaya hatinya, kaya hartanya, kaya mentalnya begitu sabda Rasulullah,”
Lastri terdiam, “ Terserah Aba saja, Lastri lebih suka ngasih pengamen daripada Cuma para penengadah,”
“Suatu saat kamu akan mengerti nduk,” kata Abah.
Rungokno iku jare Abahmu!(dengerkan itu kata abamu!)” ujar Umi, berbalik haluan.
Leh yoopo seh Umi iki?(Heh, gimana sih Umi ini?)”  gumam Lastri sebal, muring-muring(marah-marah).
Beberapa menit kemudian, terdengar suara memanggil-manggil lagi.
“Bah, badhe nyuwun bah...!(Bah minta bah)
Sak welase, Bah...”
Lastri menutup kuping, “Abah, dipriksani fans ne panjenengan!(Ba, dicari fansnya lagi tuh!)” sambil berkata keras ke arah belakang tempat Abahnya bekerja.  Lastri berharap ini kloter terakhir hari ini. namun, sepertinya hanya harapan. Karena, biasanya para penengadah akan berbagi informasi kediaman siapa yang loyal. Dan sudah menjadi rahasia umum, kalau Abah adalah orang yang paling loyal di kampung ini.
***
Akhir tahun ini, pendapatan Abah meningkat drastis, tahunya laris manis. Sampai Abah dapat membeli mobil sedan second murah untuk urusan bisnis. Mobil itu baru berumur lima hari saat hari Kamis tiba. Dan terjadi fenomena yang mencengangkan mata.
“ Abah, Assalamualaikum, sak welase....”
Sak welase, sak ikhlasipun,” suara-suara rutin setiap hari Kamis itu. Kembali bersahut-sahutan. Semakin bergemuruh. Lastri tergopoh-gopoh menuju jendela, mengintip berapa orang penengadah yang berada di depan. Begitu melihat mereka. Lastri terbelalak kaget. Itu berjumlah sekitar dua puluhan penengadah, berkumpul mengelilingi sedan putih yang terparkir di depan rumah. Ya Ampun....
“ABAH....!” Lastri memanggil Abahnya gemas.
“Ada apa, nduk...?”
Biasa bah, Fans!”Abah mendengarnya tertawa khas. Lalu, mengikuti menuju latar rumah. Suara riuh bersahut-sahutan. Seperti benar-benar fans yang melihat idolanya.
“Sedan anyar yo, Ba! Wah duike munggah pisan kudune, tambah sugih ngene,(Sedan baru ya, Bah! Wah, uangnya harus naik juga ini, tambah kaya gini,)”
Abah tersenyum, “ Yo, dungane ae,(Ya, do’anya saja)”
Lastri melengos, meninggalkan Abahnya bercengkrama dengan para penengadah.
“Suatu saat kamu akan mengerti,” terngiang kata-kata Abahnya. Lastri tercenung lama.
Bertahun-tahun kemudian, fenomena ini terus terjadi. Bahkan, hari Kamis terakhir hidup Abah. Abah masih terus memberi. Dan fenomena luarbiasa terjadi lagi. Namun, kali ini membuat Lastri terenyuh. Penziarah dari kalangan penengadah membeludak banyak sekali. Mereka berbagi cerita tentang betapa baiknya Abah. Betapa luar biasanya Abah. Teringat wajah Abah yang selalu tersenyum menghadapai para penengadah. Ia telah belajar banyak.
“Saya sekarang pengusaha dengan omzet jutaan,” salah seorang lelaki paruh baya menghampirinya dengan mata berkaca-kaca. “Dulu, saya adalah pengemis yang diberi modal oleh Abah, Abah selalu menasehati kami semua, uang yang didapat setiap kamis lebih baik dikelola kembali, ditabung untuk modal usaha.” Kata lelaki berkulit legam tersebut.
“Saya juga ingin mengembalikan uang yang telah saya minta dari orang-orang termasuk Abah,”
Lastri terenyuh haru, ia menerima sebuah amplop coklat berisi uang. Namun buru-buru Lastri menolak.
Seorang wanita paruh baya juga menghampiri Umi, “Umi, saya mulai hari ini akan melaksanakan nasehat Abah agar berhenti mengemis. Abah sudah terlalu baik pada saya. Semoga dengan begitu, bisa jadi pahala buat Abah,” Umi yang mendengarnya menitikan airmata.  
Lastri belajar sesuatu dari Abah. Tiba-tiba, ia rindu sosok hangat itu.  Dadanya terasa sesak akan rindu.
Inti dari hidup adalah berbagi kebaikan. Yang paling sering berbagi ialah yang patut disebut orang kaya. Kaya tidak selalu dinilai dengan uang. Bukan begitu, nduk....?
***
“Bunda, kenapa sih Bunda suka ngasih-ngasih pengemis nggak kere itu? Mereka kan nggak miskin, Bund. Aria aja lihat mereka habis ngemis, jalan-jalan di mall. Ganti baju Bund!” Aria manyun memandang Bundanya setelah memberi lima ribuan kepada seorang pengemis. Aria juga protes kenapa uang yang diberikan Bunda ke pengemis itu sama dengan uang jajan Aria.
Lastri tersenyum lama menatap wajah Aria yang masih kelas enam SD itu. “Sini, nak... Bunda kasih tahu kenapa,”
Sambil mengusap-usap kepala anaknya itu. Lastri menjawab layaknya Abah pernah menjawab. Ia berharap anaknya lebih cepat mengerti daripada dirinya.
***

15 Februari 2012, 19,32
Merindu Abah di tanah rantau




Comments

Popular posts from this blog

Akses Tulisan Fakhi? Di sini...